Inevitable Fate [Indonesia]

Bersiap Menjadi Gelandangan



Bersiap Menjadi Gelandangan

0Whatever happens, I'll leave it all to chance     
0

I have to find the will to carry on     

- The Show Must Go On by Queen -     

=========     

Setelah dokter dan perawat pergi, Nathan Ryuu mendatangi Reiko di kamar itu. "Sebentar lagi obat akan datang. Minumlah obat dulu sebelum tidur, yah!" Ia bersiap pergi lagi.     

"Umm ... ano ...." Reiko menatap ragu-ragu pada Nathan Ryuu sebelum lelaki itu mencapai ambang pintu.     

"Ada apa?" Nathan Ryuu menoleh ke belakang.     

"Biaya dokternya ...." Bagaimana enaknya ini? Reiko bertanya-tanya dalam hati. Tapi dia sudah memantapkan diri akan keputusannya.     

"Tidak usah kau pikirkan, Nona Arata." Nathan Ryuu seakan paham apa yang mengganjal di pikiran Reiko dan dia balik badan hendak meneruskan langkahnya.     

Tapi, Reiko buru-buru berkata, "Aku akan membayarnya!"     

Sekali lagi, langkah Nathan Ryuu terhenti dan sedikit menoleh ke belakang untuk berkata, "Sudah kubilang, tidak usah kau pikirkan mengenai itu."     

"Tidak bisa begitu! Mana mungkin dokter tadi tidak dibayar?" Reiko pun bersikeras.     

Entah apakah Nathan Ryuu harus tertawa atau menangis. Apakah gadis itu berpikir dia tidak memberikan biaya sebelum sang dokter pergi?     

"Tuan ...."     

"Aku sudah membayarnya, jadi kau tak usah mencemaskan mengenai itu."     

"Kalau begitu aku akan membayarmu!"     

"Aku tidak butuh."     

Reiko sudah hendak mengatakan hal lain, tapi Nathan Ryuu sudah keburu mencapai pintu dan menutupnya, meninggalkan Reiko sendirian saja di ruangan itu.     

"Dia tak butuh? Mana bisa begitu? Aku tak boleh berhutang apapun padanya! Tentu saja aku harus membayar dia!" keluh Reiko. "Uffsshh! Sakit ...." Ia mendesis sambil meringis ketika bergerak dan luka lebam di tepi dadanya tersentuh lengan.     

Tak berapa lama, Bu Meguro datang kembali ke kamar yang ditempati Reiko sambil membawa nampan berisi segelas air putih dan obat. "Nona, minum obat dulu, barulah tidur."     

"Um, baiklah." Reiko patuh dan mulai duduk, menerima gelasnya dan meneguk sedikit. "Auffhh!"     

"Nona, kau baik-baik saja?" Wajah cemas Bu Meguro langsung nampak saat mendengar Reiko mengaduh.     

"Um, tidak, aku tidak apa-apa. Hanya ... sakit di bibirku ketika kena air." Ia lupa kalau bibirnya pecah dan terluka. Itulah kenapa terasa menyengat di sana ketika dia minum.     

"Hgh, jahat sekali yang melakukan ini kepada Nona." Bu Meguro terlihat emosional melihat kondisi wajah Reiko. "Semoga dia mendapatkan balasan yang berkali lipat dari apa yang Nona dapatkan."     

"A-aha ha ha, Ibu, tak usah emosi karena orang seperti itu. Yang penting aku masih selamat. Ini hanya luka ringan, nanti juga akan sembuh." Reiko justru menghibur pelayan paruh baya itu.     

Menghela napas sekali lagi, Bu Meguro menyerahkan dua macam pil kepada Reiko.     

Untuk urusan pil atau kapsul, itu bukanlah benda aneh bagi Reiko. Meskipun dia menghindari sakit agar tidak perlu mendatangi dokter, tapi dia terbiasa mengonsumsi pil herbal dari kecil hingga remaja.     

Jikalau dia sakit ringan seperti pilek atau demam, orang tuanya akan memberinya obat bebas yang murah. Dengan begitu, bisa menghemat biaya ke rumah sakit atau dokter.     

Namun, inilah kali pertama bagi Reiko menjamah obat yang diresepkan dokter. Benar-benar obat dari dokter, yang kemungkinan tidak akan dia temukan secara bebas di apotik.     

Setelah memakan dua pil obatnya, Reiko menyerahkan gelas yang telah berkurang setengahnya ke Bu Meguro. "Aku akan istirahat dulu, Bu."     

"Panggil saja Meguro."     

"Namaku ... Nanako. Tidak mungkin aku memanggil langsung nama Ibu. Aku akan panggil ... Bu Megu, bagaimana?" Reiko masih ingat nama palsu yang dia berikan kepada Nathan Ryuu.     

"Baiklah. Nah, selamat beristirahat, Nona. Jika membutuhkan sesuatu, tekan saja itu."     

Reiko mengikuti arah telunjuk Bu Meguro dan melihat benda seukuran bedak compact di atas meja nakas yang memiliki antena kecil dan tombol di permukaannya. Apa itu?     

Seakan mengetahui pertanyaan Reiko, Bu Meguro berkata, "Itu adalah alat pemanggil yang langsung tersambung ke saya. Nona bisa mencoba menekannya."     

Tak perlu disuruh dua kali, Reiko menekan tombol tersebut dan benda seperti jam tangan di pergelangan tangan kiri Bu Meguro pun berbunyi: biipp ... biipp! Cukup keras.     

Rupanya tombol itu terhubung secara sinyal dengan alat seperti jam tangan di tangan sang kepala pelayan. Reiko memiliki pemikiran, pasti alat itu saling terhubung hanya dalam radius rumah ini saja.     

"Ahh, baiklah. Aku mengerti." Reiko tersenyum ke pelayan tua itu dan berkata lagi, "Terima kasih untuk kebaikan Bu Megu."     

"Nona harus lebih berterima kasih pada Tuan Ryuu." Bu Meguro mengingatkan sambil tersenyum, menyebabkan keriput di ujung matanya nampak lebih jelas.     

Sebelum pergi, pelayan itu menaruh obat-obat tadi di meja nakas dan mengisi gelas itu dengan air putih secara penuh, siapa tahu saat Reiko terbangun, dia ingin minum.     

Setelah Bu Meguro pergi, Reiko membuka lagi matanya yang sebelumnya dia pejamkan saat Bu Meguro hendak keluar kamar. Ia menatap langit-langit tinggi di ruangan itu.     

"Hghh ... kenapa nasibku bisa begini?" Reiko mendesah sambil terus menatap ke atas. "Apes sekali aku mendapatkan majikan seperti Tuan Yamada sialan itu! Huft! Uang jerih payahku seminggu bekerja pun lenyap! Lelaki jahat!" rutuknya pada Yamada Shoichiro.     

Memikirkan dia ditipu oleh Yamada Shoichiro dan seakan bekerja gratis tanpa dibayar selama seminggu, membuat Reiko tersia-sia. Padahal dia membutuhkan uang. Tapi apabila harus ditukar dengan harga diri dan tubuhnya, mana mungkin dia rela!     

"Mama ... Papa ... apakah aku memang ditakdirkan hidup susah? Apakah aku ditakdirkan selalu gagal menggapai apa yang aku mau?" tanyanya pada langit-langit meski pikirannya menampilkan bayangan sang ibu dan ayah yang telah tiada.     

"Tidak mau! Aku tidak mau menyerah meski takdirku buruk dan nasibku selalu tidak beruntung. Aku akan terus mencari keberuntungan itu!" Ia mengepalkan tangannya ke udara ketika mengucapkan itu.     

Kembali, dia membayangkan alangkah lebih nyamannya jika ayah dan ibunya masih hidup.     

Mata gadis itu mendadak mulai basah. Dia lekas mengusapnya meski harus mengaduh kesakitan ketika menyentuh pipinya. "Ya ampun, memangnya seberapa banyak lelaki sialan itu memukulku, sih?" Ia pun urung menangis.     

"Ohh, tidak! Aku lupa mengambil dompet dan ponselku di tas!" Reiko langsung teringat akan barang dia di dalam loker konbini milik Yamada Shoichiro. "Hah! Ya ampun, aku sampai lupa masih tertinggal di sana! Apakah sudah hilang? Atau mungkin dibuang lelaki bandot itu? Huft, sial sekali aku ini ...."     

"Sepertinya aku harus bersiap-siap menjadi gelandangan nantinya. Hmhh!" gumam Reiko sebelum dia benar-benar memejamkan mata dan tertidur.     

Sebenarnya dia masih ingin berpikir lagi, tapi rasa lelah setelah apa yang menimpanya hari ini membuat otaknya tidak bisa berpikir lagi dan kantuk benar-benar menguasai saat tubuhnya menyerah ingin beristirahat.     

Di kamarnya, Nathan Ryuu sedang duduk di kursi menghadap ke meja kecil tempat dia terkadang menulis memo atau sekedar berselancar di internet.     

Nathan Ryuu sudah menyiapkan segala sesuatu yang telah dia rencanakan. Apa itu?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.