LUDUS & PRAGMA

5. Philia - Cinta yang penuh kasih sayang.



5. Philia - Cinta yang penuh kasih sayang.

0  Bel masuk kembali berdering setelah kiranya dua puluh menit berlalu membiarkan seluruh siswa bebas dari jam pembelajaran yang untuk mereka si cerdas berotak emas adalah momen bahagia sebab mereka bisa mengekspresikan diri melalu angka dan kata berteori, namun tidak untuk mereka si dungu yang berotak tumpul sebab momen seperti itu bagaikan sebuah momen saat mereka diseret masuk ke dalam sebuah penjara penuh dengan siksa yang rasa sakitnya terus mengerogoti dalam diri mereka. Intinya, jam pelajaran itu membosankan juga sedikit mengerikan jika guru killer yang mengampu.    
0

  Di kelas berbentuk persegi dengan satu papan tulis dan beberapa bangku berpasang dengan satu meja yang menjadi sekat antar satu pasang kursi dengan kursi-kursi yang ada di depannya inilah gadis cantik bernama lengkap Davira Faranisa itu berada. Davira memilih tempat duduk di tengah-tengah. Tidak terlalu depan juga tidak berada di barisan paling belakang. Bukan apa-apa, gadis itu hanya tak suka jikalau ada guru yang membutuhkan bantuan dari siswa atau siswinya, maka yang duduk di depanlah yang akan kena imbasnya. Ya ... kalau-kalau hanya disuruh mengambil atau membantu si guru dalam kesulitan. Kalau disuruh untuk maju ke depan kelas dan mengerjakan soal yang sumpah demi iblis dari neraka manapun, soal itu sangat sulit hingga Davira saja malas untuk membaca soalnya apalagi mencoba untuk menjawab dan memecahkan soal itu, maka matilah ia di tempat.     

  Juga jikalau Davira duduk di bangku paling belakang, ia tak ingin kena fitnah dari guru killer kala ulangan dilaksanakan dengan kalimat teguran seperti ini. "Hei! Kamu yang di belakang sendiri! Kamu menyontek ya?!"     

  Brengsek dan menyebalkan memang guru yang asal menuduh begitu.    

  "Hei! Hei! Ayo kembali ke bangku kalian!" teriak seorang wanita dewasa berkerudung cokelat tua yang senada dengan seragam kerjanya itu. Tubuhnya sedikit tambun dengan pipi cubby yang merona sebab ia poleskan blush on merah muda di atasnya. Alisnya hitam legam dan bibirnya merah merona, percaya deh, kalau si guru itu lebih mirip dengan wanita-wanita yang bekerja di belakang meja bar hanya saja pakaian si guru itu terbilang tertutup dan sopan.    

  Semua penghuni kelas sontak kembali ke bangkunya masing-masing dan mengunci rapat mulu mereka agar si guru tak memberi khotbah panjang kali lebar sama dengan luas.     

  Tatapan seluruh siswa dan siswi yang menghuni kelas awalnya tertuju pada tubuh tambun sedikit pendek dengan beberapa tumpuk buku dalam dekapannya, sekarang teralih pada remaja tampan berperawakan jangkung dan poni naik yang membuat julukan si keren nan tampan patut disematkan padanya.    

  "Kenalin, dia Arka," tukas si guru sembari menunjuk remaja yang kini berdiri di depan kelas dengan gaya cool-nya.    

  "Arka kenalin diri kamu." Guru itu melanjutkan.     

  "Gue Arka Aditya. Gue pindahan dari kelas IPA-2. Gue dipindah karena ... ya gak tau deh, dipindah aja," katanya sembari sejenak menimbang-nimbang kalimatnya. Jujur saja, Arka juga tak tahu kenapa namanya tiba-tiba menjadi satu-satunya nama yang harus dioper ke kelas baru padahal ia saja baru masuk ke kelas dan mengenal beberapa teman yang ada di sana.     

  "Arka dipindahkan sebab kelas IPA-2 terlalu penuh muridnya. Dan sini, kita kurang satu murid," terang guru itu sembari menunjuk satu bangku kosong di pojok ruangan menunggunakan ujung spidol yang ia pegang.    

  "Arka kamu bisa duduk di—"    

  "Aku mau duduk di samping Davira, Bu." Arka menyela. Sejenak diliriknya Davira yang baru saja mengerutkan sisi kedua mata bulatnya kemudian menatap si guru dan tercengir kuda.    

  "Boleh 'kan, Bu?" tanyanya memohon.    

  Guru di sisinya itu menggeleng. "Kamu gak lihat kalau ada Davina di sana?"     

  "Aku bisa pindah kok, Bu. Santai aja." Bar-bar. Begitulah sifat seorang Davina Fradella Putri jikalau seseorang mendeskripsikan watak si gadis berambut panjang yang selalu ia biarkan terurai itu.     

  "Dav, kok lo gitu sih? Gak setia kawan banget!" Davira mengerutu. Menarik tangan Davina yang baru saja ingin mengemasi barang-barangnya.    

  "Ye! Emang lu setia sama gue?" kekehnya kemudian. Melepas perlahan genggaman tangan Davira kemudian tersenyum aneh padanya.    

  "Gue ikut seneng, Ra. Akhirnya lo punya gebetan." Davina menggoda. Mencubit pipi gadis di sebalahnya itu kemudian sigap mengemasi barang-barangnya.    

  "Hei, pangeran Arka! Duduk gih, keburu gue berubah pikiran." Davina melirik bangku yang kini ia biarkan kosong. Tersenyum kuda pada Arka setelah sukses membuat kelas ribut dengan kata 'pangeran' yang diucapkan untuk menyeratai nama Arka di belakangnya.    

  Arka mengangguk. Berjalan mendekat dan mengabaikan si guru yang kini berdecak untuk kelancangan dua penghuni kelas itu. Anak metropolitan jaman sekarang, memang pada brengsek dan kurang ajar!    

  Arka berjalan ringan. Mengabaikan tatapan beberapa gadis yang jelas tertuju pada paras tampannya. Siapa sih yang bisa mengabaikan paras tampan nan fisik mumpuni yang hampir mendekati kata sempurna seorang remaja? TIDAK ADA. Ya, Tidak ada. Jika ada, itulah yang patut disebut gadis dungu tak pandai mengambil peluang.    

  "Hai, Ra. Long time no see," katanya lirih. Meletakkan tas ransel hitam miliknya di atas meja. Davira meringis kemudian kembali merubah ekspresi malasnya, please deh ya ... kita baru bertemu beberapa menit tadi, Arka Arditya yang paling ganteng sejagat raya!    

  "Oke, kita lanjutin pelajaran. Untuk Arka, bisa kamu gabung dulu 'kan sama Davira?" Guru itu kembali menyela. Seperti biasanya, menunjuk ke arah muridnya dengan ujung spidol hitam dalam genggamannya.     

  Ya memang kalau tidak menunjuk pakai ujung spidol, emang mau nunjuk pakai apa? Pakai moncong pistol? 'Kan serem.    

  "Kita lanjutin materi stastika yang kemarin anak-anak!" ujarnya menyeru. Seluruh siswa dan siswi yang ada di ruangan mendengus bersamaan. Seakan mereka telah menyesal sebab memutuskan kembali masuk ke dalam kelas setelah bel sekolah nyaring dibunyikan.    

  Ya, siapa memang yang suka dengan pelajaran rumit dan membosankan seperti matematika? Ada, yaitu orang-orang yang juga rumit dan membosankan. Seperti, seorang Arka Aditya.    

  ***LnP***    

  Kiranya hampir tiga jam berlalu Arka juga Davira menghabiskan 'momen' bersama untuk menghitung angka-angka brengsek yang nilainya tak karuan itu. Kini, saatnya mereka untuk meletakkan sejenak lelah dan menguapkan rasa kantuk dengan bersandar pada kursi kayu yang sedari tadi menyokong tubuh berat mereka.    

  Jam istirahat kedua, tengah hari datang dan bagi mereka si anak manja yang diberi bekal makan berupa sayur empat sehat lima belum tentu sempurna itu mengeluarkan bekalnya. Menyantap sembari berbicangan ringan dengan obrolan yang tak terlalu berarti. Untuk mereka yang suka berbincang dengan Tuhannya, datanglah mereka ke masjid dan menjakankan kewajibannya. Lalu, untuk yang tergila-gila dengan aroma sedap masakan ibu kantin, inilah saatnya untuk bersesak-sesak ria demi semangkuk nasi soto atau bakso dan segelas es teh manis dan es jeruk yang mengugah selera makan.     

  Tidak untuk si dia yang malas untuk menggerakkan jiwa dan raganya, Davira Faranisa. Gadis itu melirih meletakkan kepalanya di atas meja sembari sesekali menghela napasnya berat. Davira lelah, serius. Ini adalah hari pertama kegiatan pembelajaran penuh dilaksanakan. Ia harus bangun pagi-pagi buta dan pulang saat senja menyapa.     

  Lelah, tapi kata ibu dan ayahnya tak ada perjuangan yang tak melelahkan. Jadi, jangan ngeluh! Jalani apa yang ada sekarang ini.    

  "Ra, Lo gak laper gitu?" Arka menyela sembari mengoyangkan ringan tubuh Davira. Gadis itu ... mengumpat.    

  "Dih, Ra. Serius lo gak pengen makan?" tanyanya lagi tanpa ada kata menyerah setelah umpatan lirih yang sebenarnya Arka tak terlalu jelas mendengar itu dikeluarkan oleh mulut Davira Faranisa.    

  "Mending makan sama gue, Ka." Davina datang dengan seplastik es cokelat di tangan kirinya. Dalam genggaman tangannya ada tempe goreng yang membuat Arka mengulum salivanya berat.    

  "Lo mau?" Davira menawarkan.    

  "Dih, jijik tau gak! Suruh makan bekas gigitan, Lo."    

  "A-elah! Gigitan cenayang kek gue tuh membawa berkah tau gak sih?" kekeh gadis itu sembari kembali menyeruput es cokelatnya.    

  Arka menggeleng. Ia benar-benar tak mengerti mengapa si gadis 'mageran' seperti Davira Faranisa bisa berteman akrab dengan gadis titisan lelembut begini.     

  "Serah lo deh," sahut Arka kembali mengoncangkan tubuh Davira. Sumpah demi apapun, ia sejenak mengira kalau Davira mati dengan posisi tengkurap sebab kelelahan menghitung ratusan angka brengsek beberapa waktu lalu.    

  "Brisik lo pada!" sela Davira tiba-tiba menyentak. Arka terkejut dengan tingkah gadis kurang aja di sisinya itu.    

  Gadis itu bangkit. Mendorong kursi kayu yang lalu menunduk untuk menatap Arka yang kini menegadah guna membalas tatapan Davira.    

  "Lo mau ke mana?"    

  Davira mendengus. Menjitak kasar kepala remaja yang masih duduk rapi di atas kursinya itu. "Lo itu ya, Ka! Dari bocah sampek sekarang gak pernah berubah. Gangguin gue mulu!" decak Davira di bagian Akhir kalimatnya.    

  "Mau ke kantin, haus," pungkas gadis itu mendorong meja kayu di belakangnya untuk memberinya celah berjalan keluar dan meninggalkan Arka di tempatnya. Berjalan santai menuju ambang pintu.    

  "Hei, Ra! Gue ikut!" katanya sedikit menyeru kemudian bangkit dan berlari kecil untuk menggapai tubuh mungil Davira Faranisa.    

  "Davina, Lo gak ikut?" Arka menoleh pada gadis yang masih mematung tertinggal di tempatnya berdiri.    

  Davina menggeleng sembari menunjukkan es yang sedikit mencair dalam plastik di genggaman tangan kirinya. Tempenya juga belum semua habis, jadi tak ada alasan untuknya pergi mengekori Davira juga Arka Arditya.    

  Kedua berjalan ringan menyusuri lorong sekolah. Sesekali Arka menoleh pada gadis berupa ayu yang masih fokus pada tatapannya memandang lurus jalanan ramai di depannya. Kemudian, ia tersenyum. Lebih tepatnya tersipu sebab Davira yang terlihat begitu cantik jika dipandang dari dekat.    

  "Lo mau beli apa, Ra?"     

  Davira diam. Tiba-tiba langkahnya berbelok menginjak rerumputan yang menyelimuti tanah basah di bawahnya. Arka sedikit kalang kabut dengan ubahan langkah Davira yang terkesan tiba-tiba itu. Dalam bayangannya, ia akan pergi ke kantin yang memang sengaja dibangun di kawasan anak-anak junior kelas satu guna memisahkan mereka dari sesakan tubuh jangkung dan tambun para seniornya. Akan tetapi, gadis itu berbelok. Memilih jalan lain untuk pergi ke tempat lain juga. Jalan itu, melalui tengah lapangan.     

  "Lo mau jajan di mana?" Arka kembali menyela. Davira sedikit mendongakkan kepalanya untuk memberi isyarat pada si tampan Arka bahwa koperasi—kantin yang dibangun lebih nyaman dengan AC dan lantai ber-ubin bersih dan sistem pembayaran layaknya minimarket— lah yang menjadi tujuannya saat ini.    

  "Kantin sana rame, gue gak suka." Davira tiba-tiba beralasan.     

  Arka mengangguk. "Gue ikut aja deh."    

  "Lo boleh ke sana kalau lo butuh makan," tutur Davira dengan nada cuek. Gadis itu memang begitu. Cuek dengan segala kalimat singkat dan peringai dinginnya. Namun percayalah, jika sudah mengenal seorang Davira Faranisa dan kau membuat gadis itu nyaman berada di dekatmu, gadis itu adalah tipe-tipe gadis yang manjanya luar biasa.    

  "Arka?!" panggil seseorang menyela langkah keduanya. Arka menghentikan langkah sepasang kaki jangkungnya. Menoleh pada perawakan tubuh sempurna berbonus wajah tampan yang tidak bisa dibantah lagi, bahwa ia adalah 'cogan' barunya SMA Amerta Bintari.    

  Davira ikut terhenti yang sebenarnya gadis itu sendiri pun tak tahu, mengapa ia harus berhenti juga saat ini?    

  Davira menoleh. Remaja yang berjalan bersama seorang gadis itu adalah Adam. Siapa nama lengkapnya kemarin? Ah, Adam Liandra Kin. Si kapten basket tampan idaman mantan teman sebangkunya, Davina Fradella Putri.    

  "Lo mau ke mana?" tanyannya berbasa basi.     

  Davira memasang wajah malasnya. Entahlah, yang diberi pertanyaan saja tak keberatan untuk tersenyum dan menjawab sembari menunjuk koperas di depannya, namun Davira yang hanya mendengarnya saja malas dengan basa basi tak berguna seperti itu.    

  "Cewek baru lo?" tanyanya lagi.    

  Arka terkekeh. "Dedemit gini jadiin cewek," katanya sembari mengacak puncak kepala Davira. Gadis itu mendegus kesal. Menyibakkan kasar tangan Arka yang terus saja mengerecokki dirinya.    

  Adam melirik wajah jutek Davira. Wajah itu ... sangat menggemaskan.    

  "Udah lah, gue mau pergi." Davira menyela. Memutar tubuhnya lalu berjalan menjauh dari Arka yang masih kokoh untuk meladeni kehadiran Adam dan satu gadis asing di sisinya. Dalam tebakan Arka, inilah gadis yang dimaksud Adam kala masa orientasi siswa baru dilaksanakan. Si Kayla Jovanka. Cinta pertama—Ah bukan, tapi target pertama ke-playboy-an seorang Adam Liandra Kin.    

  ...To Be Continued...


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.