LUDUS & PRAGMA

4. Remaja tampan, Ludus.



4. Remaja tampan, Ludus.

0  Ruangan berbentuk persegi dengan satu bilik ganti kecil di sudutnya inilah yang akan menjadi tujuan awal sepulang sekolah dan tujuan akhir selepas bertanding melawan musuh di medan perang. Senior yang dulunya menghuni tempat ini kala jam istirahat tiba dan selepas jam-jam pembelajaran usai dilaksanakan hanya meninggalkan seragam kebanggaan tim basket SMA Amerta Bintari serta beberapa piala kejuaran yang berjajar di atas meja besar sisi ruang ganti kecil bertirai hitam itu.    
0

  Di sinilah, Adam—si kapten basket baru— bersama teman-temannya berada setelah berpanas-panasan mempromosikan dirinya dan timnya di depan seluruh penghuni sekolah. Riuh suara kaum hawa sudah tak lagi terdengar sesaat setelah si-host menutup acara dengan ramah dan tepuk tangan yang meriah. Adam sudah resmi menggantikan seniornya yang purna tugas sebab ujian nasional akan dilaksanakan beberapa bulan lagi—sebuah ujian penentuan yang diperuntukan bagi mereka-mereka si pejuang kelulusan dan sebuah perguruan tinggi favorit.    

  "Lo mau ke mana, Dra?"    

  Seorang remaja yang baru saja ingin menarik seragamnya dari gantungan baju di sisi tembok ruangan itu menoleh.    

  Ia melirik sekilas ruang ganti yang sudah tertutup rapat tirainya. Kemudian menunjuk ke arah pintu sembari sedikit mendongakkan kepalanya. "Beli es teh sambil nunggu keringet gue ludes," jawabnya dengan entang. Teman yang ia beri jawaban hanya mengangguk-anggukan kepalanya mengerti.    

  "Gue ikut," sahut seseorang yang baru saja merogoh satu sisi tas dan mengeluarkan dompet lalu memasukkannya ke dalam saku celana pendek miliknya.    

  "Gue juga." Seseorang menyela. Keluar dari bilik ganti dengan seragam putih abu-abu yang begitu cocok dikenakan oleh tubuh jangkung sedikit berisi itu. Wajahnya tampan, khas anak Jakarta idola para kaum hawa. Dengan poni naik dan sepasang alis hitam legam yang sedikit menyiku di ujung sisinya. Hidungnya tak terlalu mancung, standarnya orang Indonesia dan kulitnya pun begitu. Semua yang ada dalam diri remaja yang kali ini berjalan mendekat setelah meletakkan seragam basketnya di atas meja itu adalah khasnya orang Indonesia. Tak ada campur tangan orang luar negeri dalam riwayat kelahirannya itu.    

  Dia, Arka Arditya. Teman si Pragma, Davira Faranisa.    

  "Lo mau beli es teh juga?" Candra menyahut kala remaja di sisinya itu menghentikan langkahnya lalu memasukkan ke dua tangannya ke dalam saku celana panjangnya.    

  "Es jeruk," kekehnya ringan.    

  Kemudian, mereka bertiga berjalan meninggalkan ruangan. Menyisakan beberapa teman sebaya yang hanya fokus dengan aktivitas mereka masing-masing. 'Rebahan' dan bermain ponsel sembari menghilangkan lelah dan keringat yang membasahi tubuh mereka.    

  ***LnP***    

  Riuh sebab jam-jam inilah yang membuat kantin diserbu puluhan siswa. Entah mereka ingin membeli atau hanya sekadar duduk sembari bercengkrama ringan sebab ruang kelas yang panas jika siang sudah datang menyapa. Di sinilah Adam dan dua orang temannya berada. Menatap dari jarak yang cukup jauh keriuhan yang ada. Pria berponi tipis dengan potongan rambut cepak ala tentara itu mengulum salivanya berat. Sungguh, ia tak tega membiarkan tubuh krempengnya masuk menerobos kerumunan itu.    

  "Masih mau es jeruk, Ka?" Candra akhirnya bersuara. Remaja jangkung yang berdiri di belakang itu hanya diam sembari berdeham ringan. Panas, sumpek, dan sesak. Itulah yang mungkin akan dirasakan oleh mereka kala memutuskan untuk meneruskan niat masuk ke dalam kerumunan hanya demi segelas es teh dan es jeruk. Untuk Adam, ia bahkan tak tahu harus membeli apa nantinya.    

  "Cari kantin lain aja." Adam menyahut kemudian. Memutar jangkung berotot pepak itu lalu mengambil langkah pertama untuk meninggalkan tempat yang sudah mirip dengan pasar malam yang beberapa minggu lalu ia datangi bersama adik kandungnya.    

  "Emang ada kantin lain?" tukas Candra menarik lengan Adam. Remaja itu melirik jari tangan Candra yang mencengkram erat lengan Adam.    

  Remaja itu menyibakkannya kasar. "Homo bego!" pungkas remaja itu tegas.    

  Arka terkekeh kecil. Memang, ia baru beberapa minggu mengenal Adam juga Candra. Namun, perlahan ia mulai hapal sifat aneh kedua teman se-team seperjuangannya itu.    

  Kalau Candra itu tipe anak yang santai dalam segala macam situasi dan kondisi apapun. Selalu bisa mencairkan suasan tim yang baru saja dibentuk satu minggu lalu itu kala semua tegang dengan rasa lelah selepas latihan dari siang hingga menjelang petang. Dia sedikit lucu dengan candaan receh dan humor murahannya. Kalau ada kompetisi humor receh kelas atas, mungkin ia akan jadi pemenang utamanya.    

  Kalau Adam? Adam itu tipe remaja labil yang menyukai hal-hal baru. Seperti tempat baru, tantangan baru—itulah yang menjadi dasar remaja tampan bertubuh atletis itu mendaftar sebagai ketua tim basket— bahkan, gadis baru aliyas Adam ini sedikit playboy. Dengan wajah tampannya tentu tak membuat permasalahan besar bagi gadis-gadis yang ini dekat dengannya. Diduakan? Hal yang lumrah meningat wajah tampan adalah modal remaja ini untuk mendekati gadis-gadis di SMA Amerta Bintari.    

  "Ada kantin di belakang sekolah. Sepi sih, tapi isinya senior belagu semua," jelas Arka sembari ikut memutar tubuhnya.    

  Adam berdecak. "Ketimbang mati karena sesak napas di sini 'kan?" pekiknya kemudian.    

  Arka juga Candra mengangguk-anggukkan kepalanya. Menurut saja pada kapten baru mereka ini.    

  "Loh, Adam ya?" Seorang gadis menyela langkah ketiganya. Entah mengapa, pesona seorang kapten itu memang tiada duanya. Melihat tak hanya Adam yang berwajah tampan di sini. Ada Arka juga Candra meskipun si remaja berambut cepak itu tak setampan Arka juga Adam.    

  "Minta fotonya dong, Dam." Gadis itu merengek. Bergelayut manja di atas lengan kiri Adam.    

  "B-boleh," lirih remaja jangkung itu berusaha melepaskan jari jemari gadis yang kini sialnya, turun dan mencengkram kuat pergelangan tangan Adam.    

  Memang, Adam bisa dikatakan seorang playboy yang suka bergonta-ganti pasangan dengan alasan bahwa semua gadis yang bersamanya adalah teman dekat yang mungkin saja ia butuhkan kalau dirinya sedang berada dalam kesulitan. Akan tetapi, Adam tak suka jika gadisnya 'murahan' seperti ini.    

  "Fotoin gue dong," pintanya menyodorkan ponsel miliknya pada Arka. Remaja itu hanya menurut. Toh juga, cepat ia menerima dan memotret mereka berdua, cepat selesai juga segala permintaan gadis aneh ini.    

  Gadis itu kembali bergelayut manya di atas lengan kiri Adam. Memeringkan kepalanya sembari tersenyum kuda ke arah kamera.    

  Percayalah bahwa Adam juga si gadis itu adalah bahan tonton yang akan menjadi topik hangat di kalangan siswa dan siswi bahkan senior mereka nanti.    

  Adam Liandra Kin—begitulah orang memanggil nama lengkapnya. Remaja jangkung dengan tubuh berisi yang tak bisa dikatakan gemuk ataupun tak patut disebut si krempeng yang kurang asupan gizi. Fisiknya bisa dibilang pas dan sempurna. Tak kurang tinggi juga tak kurang dalam hal proporsi tubuhnya. Wajah Adam? Jangan diragukan jika menyinggung soal wajah. Paras remaja inilah yang membuatnya sukses dengan segala macam gelar yang disandangnya sekarang ini. Seorang playboy yang selalu mengejar wanita berparas cantik. Di wajahnya, terlukis indah mata elang dengan sepasang bulu mata lentik dan alis garis bewarna hitam legam untuk membatasi poni belah tengahnya dengan sepasang lensa pekat yang teduh sedikit tajam jikalau bertatap dengan lawan bicaranya. Bibir Adam merah muda tipis dengan lesung pipi kiri yang muncul kala senyum merekah di atasnya. Kulitnya putih bersih tak ada luka apapun yang mengotori tubuh berperawakan jangkung itu. Jika Adam bersuara, bariton adalah jenis nada suaranya. Menenangkan juga menyejukkan hati sebab suara seksi yang meluluhkan hati para kaum hawa itu.    

  Adam baik. Ia bukan playboy kelas kakap yang brengsek pada semua wanita. Ya, katakan saja Adam itu playboy berhati mulia. Ia hanya mendekati perempuan yang mantap dalam hatinya saja. Kalau-kalau seseorang memergokinya sedang berjalan dengan gadis asing lainnya, ia akan menjawab dengan nada santai. "Dia yang ngajak gue, gak baik nolak ajakan cewek. Kasian, ntar nangis."    

  Ya, sedikit brengsek memang. Tapi bagi Adam, yang brengsek itu kalau seorang playboy yang hobi bermain di atas tubuh wanita lalu meninggalkannya setelah puas meluapkan napsu bejatnya.    

  "Eh, Adam tuh!" tunjuk seorang gadis pada perawakan jangkung yang sedang asik 'bermain' bersama gadis lain.    

  "Dih, minta foto segala!" gerutunya kemudian. Melirik sejenak gadis sebaya bersurai pekat yang jatuh terurai di atas punggungnya.    

  "Lo mau gue fotoin?" jawabnya berbasa-basi. Gadis itu—Davina— mengangguk cepat. Merogoh ponsel yang ada dalam saku rok pendeknya.    

  "Cepetan!" ujarnya memaksa. Ia berlari meninggalkan temannya yang masih mematung kaku di tengah lapangan.    

  "Dav! Gue cuma ber— Argh! Sial!" umpatnya lirih. Mau tak mau sekarang ia harus berjalan menyusul temannya yang kegirangan itu. Bak dapat rejeki nomplok yang jatuh menimpa wajahnya—begitulah kiranya keadaan Davina saat ini.    

  "Hai Adam!" sapanya dengan nada antusias. Davira mengekori dari belakang. Berhenti dan menatap sejenak perawakan jangkung berwajah tampan yang benar-benar tampan itu. Lalu, memusatkan tatapannya pada remaja sebaya berseragam sama—putih dan abu-abu— yang juga ikut menatapnya.    

  "Hai, Ra," sapanya kemudian. Davira ikut tersenyum mendapat sapaan dari Arka yang sebenarnya baru saja ia lihat batang hidungnya setelah beberapa minggu berada di dalam lingkungan SMA Amerta Bintari.    

  "Lo kenal dia?" Adam menoleh pada Arka. Sejenak melirik Davira yang sama sekali tak menoleh pada wajahnya. Jujur saja, Adam heran dengan gadis yang bisa dikatakan cantik jelita ini. Sebab semua gadis yang mendekat atau bahkan hanya berpapasan dengannya pasti menoleh atau paling tidak melirik wajah tampan miliknya itu. Akan tetapi tidak untuk Davira Faranisa.    

  "Temen gue sejak kecil." Arka menjelaskan singkat. Baik Adam maupun Candra hanya mengangguk-anggukan kepalanya tanda mengerti.    

  "Kenalin gue Davina dan ini teman gue, Davira." Davina menyela. Mengulurkan tangannya pada Adam sembari tercengir kuda.    

  Adam meraihnya. Ikut mengembangkan senyum tipis yang sumpah demi apapun itu sangat melelehkan.    

  "Boleh minta fotonya gak kayak cewek tadi?" lanjutnya sembari menunjuk punggung gadis yang masih berjalan sembari ber-haha-hahi sebab baru saja dapat rejeki nomplok—foto bersama Adam.    

  "Iya," jawabnya singkat sembari mengangguk.    

  "Buruan gih." Davira akhirnya menyahut. Menyenggol punggung temannya untuk menyegerakan aksi tak bergunanya itu.    

  "Iya sih, bawel."    

  Siapa yang bawel? Davira? Sumpah ingin Davira jitak juga kepala teman sebangkunya itu.    

  Davina memutar tubuhnya. Berjajar dengan tubuh jangkung Adam sembari merangkulnya erat. Tangan kirinya tegas terangkat dengan memberikan heart-sign menggunakan jari jemari lentik bercat kuku merah muda itu.    

  "Senyum!" ucap Davira sedikit meninggikan nada bicaranya kala wajah kaku dilukiskan oleh seorang Adam Liandra Kin. Gadis itu sejenak melirik Adam sembari memberi contoh pada si remaja itu untuk memberikan sedikit senyum di wajah kakunya itu.    

  Adam menatapnya. Wajah cantik dengan penuh anugerah kesempurnaan. Wajah gadis yang kini fokus dengan layar ponsel milik Davina itu sangatlah cantik. Matanya bulat, alisnya melengkung bulan sabit dengan bibir ranum yang sedikit tebal di bagian bawahnya. Pipinya sedikit cubby meningkat tubuhnya yang mungil sedikit berisi. Tak gemuk, hanya berisi. Bagi Adam 'tubuh seperti itulah' yang menjadi body goals untuknya. Sangat, sangat menawan hati.    

  Siapa namanya tadi? Ah, Davira. Ya. Davira. Mulai saat ini, Davira adalah salah satu incaran seorang Adam Liandra Kin. Remaja tampan itu menargetkan seorang gadis yang baru saja ia temui. Adam jatuh hati kepada Davira Faranisa pada pandangan pertama. Sebagai bentuk implememtasi bahwa cinta pada pandangan pertama itu benar-benar ada. Dan inilah momen itu. Momen yang menjadi garis awal untuk kisah si pragma, cantik jelita juga untuk si Ludus berparas tampan dengan sifat sedikit brengsek yang mengakar dalam dirinya sejak ia dinyatakan lahir di dunia—Adam Liandra Kin    

  ...To be Continued...


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.