LUDUS & PRAGMA

3. Si Cantik, Pragma.



3. Si Cantik, Pragma.

0  -Kilas balik. Jakarta, 15 Maret 2017-    
0

  Masa orientasi siswa baru telah usai dilaksanakan. Hari-hari berat yang menyiksa diri dengan menguras tenaga dan memeras pikiran sudah selesai adanya. Kini resmi sudah semua remaja yang masuk sebagai calon murid di SMA Amerta Bintari menjadi siswa dan siswi yang sudah diakui adanya oleh pihak sekolah. Nama mereka sudah tercatat sebagai nama anak didik yang dilindungi segala hak dan kewajibannya oleh pemerintah negara.    

  Semuanya saling mendekati satu sama lain. Mencoba membangun relasi meskipun canggung adalah kalimat awal yang tercipta di antara mereka. Mereka bukan bocah lagi yang bisa bersenda gurau dengan santainya untuk saling mengenal kepribadian masing-masing. Semua yang ada di sekolah itu adalah remaja. Usia yang sudah lulus dari masa kanak-kanak dan baru saja mau menginjak masa dewasa.     

  Gengsi, begitulah jikalau ditanya pasal mereka yang saling terdiam satu sama lain pada lawan jenisnya. Malu, itulah yang sering dikatakan mereka-mereka si introvert yang tak pandai bergaul. Namun, bagi si gadis bersurai pekat itu, dua kata yang menjadi alasan paling populer kala dirinya berkenalan dengan orang itu tak ada gunanya.     

  Ia hanya tak suka ... tak suka pada keramaian dan orang-orang baru yang memperkenalkan dirinya sembari memasang topeng di atas wajah asli mereka. Ya, palsu. Gadis itu membenci semua kepalsuan yang dibangun atas dasar sebuah keinginan membentuk relasi yang besar di dalam pergaulan remaja.     

  Gadis itu memilih diam di pojok kelas dengan earphone yang menyumbat kedua lubang telinganya. Masa orientasi yang membelengu segala kebebasannya selama berhari-hari itu akhirnya telah usai, lelah sudah menguap kemarin malam bersama hilangnya cahaya senja. Merebahkan tubuhnya di atas kasur dan memejamkan rapat lalu hilanglah kesadaran gadis itu. Ia pergi ke dunia mimpi. Bertemu panggeran tampan yang memuja kecantikan agungnya.     

  Dan sekarang, ia diminta untuk berlelah-lelah dengan mengeluarkan suara seraknya guna memperkenalkan diri pada mereka—si asing yang bahkan tak ingin mendekati gadis itu duluan— yang begitu banyak jumlahnya itu? Gadis itu menggeleng. Sangat merepotkan. Toh juga, nanti bakalan kenal sendiri seiring dengan berjalannya waktu.    

  "Hai! Kok kamu gak gabung sama mereka sih?" tunjuk seorang gadis pada sebuah kerumunan kaum hawa yang sedang asik bersenda gurau. Yang gadis itu herankan adalah bagaimana bisa mereka mengenal satu sama lain secepat itu padahal waktu saja baru terhitung beberapa jam. Belum ada satu hari.    

  Gadis yang diberi pertanyaan melepas earphone-nya perlahan. Sejenak menatap kerumunan yang ada jauh di depannya.     

  "Kamu sendiri?" tanyannya lirih. Ia meletakkan novel tebal yang ada dalam genggamannya.     

  "Gak suka aja," jawab gadis itu kemudian.     

  "Siapa namamu?" lagi-lagi gadis itu bertanya. Sok akrab, begitulah kesannya saat ini.    

  "Davira. Davira Faranisa," jawabnya singkat. Gadis itu—Davira— melirik name tag yang sudah terpasang rapi di dada kanan gadis sebaya dengannya itu.    

  "Nama kamu Davina?" lirihnya bertanya. Gadis yang kini duduk di depannya setelah memutar bangku kayu itu hanya mengangguk sembari tersenyum.    

  "Kaget sih, nama kita hampir sama," ujarnya tersenyum kuda.     

  Davira hanya ber-haha singkat sebab jujur saja ia tak tahu harus menjawab apa lagi.    

  "Kita bisa temenan 'kan?" Gadis itu mengulurkan tangannya sembari tersenyum kuda. Davira menerimanya. Sejenak ikut tersenyum dan mengangguk-anggukan kepalanya. Lagi-lagi, Davira kaku pasal kenal berkenalan.    

  Setelah itu waktu merubah semua kepalsuan yang ada dalam diri Davina maupun Davira. Sifat baik dan buruk tak lagi mampu ditutupi oleh peringai pura-pura baik yang dilakukan oleh keduanya.     

  Davina dan Davira menjadi seorang yang saling dekat satu sama lain. Tak banyak yang bisa diceritakan dari keduanya. Hanya pasal waktu yang mampu merubah kata panggilan sopan 'aku dan kamu' berubah menjadi 'lo dan gue' layaknya orang metropolitan bergaul.     

  Davina selalu ada di manapun Davira berada. Namun, tak semua yang dilakukan oleh Davina, ada Davira di sana. Gadis itu masih dalam sikap introvert-nya. Yang tak suka ramai dan keributan. Yang lebih suka melakukan hal-hal berguna ketimbang melakukan aktivitas sia-sia yang bisa saja menguras tenaga dan pikirannya. Bisa dikatakan Davira Faranisa itu sedikit pemalas jikalau disuruh begerak di atas posisi nyamannya. Kalau orang Jakarta bilang, Davira itu 'mageran' banget.    

  ***LnP***    

  "Dav, Lo gak pergi ke lapangan?" suara nyaring seorang gadis membuyarkan fokusnya dalam berhitung urutan angka demi angka yang membuat bibirnya mengumpat tak henti-hentinya. Persetanan memang guru fisika itu, sudah tahu Davira bodoh dalam berhitung di atas logika masih saja menyerahkan permasalahan itu padanya.     

  "Nanti gue nyusul. Lo duluan," usirnya tanpa mau menatap Davina dengan benar.     

  Gadis di depannya itu berkacak pinggang sembari berdecak ringan. Sahabatnya satu ini menang monoton jikalau diminta untuk bersenang-senang 'bersama' jajaran pria tampan di tengah lapangan basket.    

  "Buruan, vira!" sentak gadis berambut pekat itu sembari menarik buku yang ada dalam jangkauan Davira.    

  "Lo keterlaluan banget sih, Dav. Balikin!" katanya menggerutu.     

  "Ntar gue dimarahin Pak Otong!" lanjutnya menyentak.     

  "Pak Otong?" Davina melunak kala nama asing itu disebut oleh bibir merah muda Davira. Tangannya sigap membalik buku yang ada di depannya. Tak salah, ini buku pelajaran terseram yang bisa dikatakan lebih seram dari rumah hantu di pasar malam minggu lalu —pelajaran fisika—.    

  "Pak Hendri," lirih Davira menyahut kemudian. Gadis yang tadinya berkacak pinggang itu melunak. Tertawa kecil kemudian menarik kursi dan duduk di sisi Davira.     

  "Jelasin, kok bisa Otong?" bisiknya. Davira meliriknya sekilas.    

  Kebiasaannya kumat lagi, Kepo!    

  "Mukanya kek sotong, jadi gue panggil otong. Puas?" Davira menatap sejenak gadis sebaya dengannya itu. Diam sejenak, saling tersenyum dan terkekeh kecil kemudian. Selanjutnya, tawa lepas mengakhiri obrolan mereka tentang si guru yang kata Davira, bentuk wajahnya itu mirip saudara cumi, Sotong.    

  "Ayo keluar," katanya menyela tawa Davira. Gadis itu hanya menatap dengan bungkam yang menjadi pilihannya saat ini.    

  "Di luar ada pameran orang ganteng," lanjut gadis itu sembari menyenggol bahu Davira. Sedikit menggoda sahabat barunya itu. Kalau-kalau saja dengan kalimat hiperbola yang diberikannya untuk si gadis introvert itu bisa mengubur dalam jiwa 'mager' yang ada dalam rohnya.    

  "Tugasnya belum selesai, Dav." Davira kembali mengelak. Melepas rangkulan tangan si sahabat baru itu dari lengannya. Davina lagi-lagi mendesis untuk mengekspresikan betapa monotonnya hidup seorang Davira Faranisa. Ia hanya hidup dengan kata belajar dan menenangkan diri dengan menjauhkan pribadinya dari dunia luar. Bukan, Davira bukan anak anti sosial yang menutup dirinya bak membangun sebuah tembok besar yang dijadikan penghalang untuknya dengan dunia luar. Davira hanya seorang gadis yang 'malas bergaul'. Baginya, membentuk relasi besar itu sangat merumitkan. Katakan saja semakin besar lingkupnya, maka semakin besar pula resikonya.    

  Bukan tentang hal-hal mengerikan seperti saling membunuh sebab kesalahpahaman atau saling meracuni sebab tak suka dengan gayanya bergaul. Resiko yang dimaksud Davira cukup sederhana. Ia hanya tak mau jikalau menambah teman itu sama artinya dengan menambah musuh nanti jikalau fase berteman sudah selesai.    

  Gadis itu hanya ingin hubungan yang netral-netral saja. Seperti layaknya kedekatan gadis itu dengan Davina Fradella. Ia hanya dekat, tapi tak ingin berbagi banyak layaknya sahabat yang digadang-gadang oleh Davina beberapa minggu lalu itu.    

  "Kerjain nanti aja. Gue juga belum, Vira," rengeknya kemudian. Gadis di sisinya berdecak. Sumpah, telinganya gatal mendengar rengekan itu.    

  "Oke, gue ikut," sahut Davira memotong segala aktivitas alay yang dilakukan oleh lawan bicaranya.    

  Davina tersenyum kuda. "Nah, gitu dong."    

  ***LnP***    

  Riuh sedikit rusuh sebab teriakan kaum hawa yang disatu padukan dengan ledekan kaum pria yang mencoba mengejek dengan menirukan suara teriakan lawan jenisnya itu. Davira mendesah, ini yang tak ia sukai. Ribut, riuh, dan rusuh. Kata yang paling menyebalkan untuk seorang Davira Faranisa.     

  "Lo nyuruh gue nonton apa?" pekik Davira pada gadis yang kini mengeluarkan ponsel dalam saku rok abu-abu pendeknya.    

  "Cowok ganteng," tunjuknya pada jajarang pria berseragam olah raga yang begitu asing untuknya.    

  "Ganteng 'kan? Gue gak bohong?" lanjutnya lagi. Kali ini tangannya terjulur jauh. Jari jemarinya seakan membidik pada layar ponselnya untuk sekadar mengambil beberapa gambar.    

  "Sori gue telat," ucap seserong kemudian. Samar suaranya terdengar di telinga Davira sebab jaraknya yang sedikit jauh dari jajaran pria yang kalau dalam bahasa Davina itu adalah sebuah pameran karya indah Yang Maha Kuasa.     

  "Arka," gumam Davira kemudian. Gadis di sisinya menoleh cepat. Menurunkan ponselnya lalu menatap Davira curiga.     

  Davira sudah membidik 'mangsa'nya?    

  "Lo kok tau—"    

  "Dia temen masa kecil gue. Mamanya bilang kalau kita satu SMA, tapi semejak MOS sampek sekarang gue belum lihat dia," ujar Davira menjelaskan.     

  Gadis di sisinya hanya bergumam sembari mengangguk-anggukkan kepalanya. "Lo ngincer yang itu?" tanya Davina kemudian.    

  Davira menyungingkan senyumnya. Harusnya. Wajar saja jikalau ia mencintai Arka sebab parasnya tampan. Fisiknya pun mumpuni. Ditambah dengan segala prestasi non akademik yang membuatnya menjadi idola kala duduk di bangku sekolah menengah. Akan tetapi, Davira tak merasakannya.     

  Baginya, Arka tetaplah Arka. Si teman masa kecil yang syukur-syukur masih awet hingga ia remaja.    

  "Kalau gue yang itu," sahut Davina kala gadis di sisinya hanya diam. Gadis bermata bulat itu menunjuk satu remaja yang berdiri di ujung kanan barisan. Seragam yang ia kenakan sedikit berbeda. Jika teman sejajarnya itu hanya menggunakan seragam basket biru tua dengan celana pendek selutut dan kaos tanpa lengan yang dihias dengan tulisan angka besar di punggungnya itu, remaja yang ditunjuk oleh Davina sedikit berbeda. Dia memakai sebuah rompi berwarna oranye. Seakan memberi tanda bahwa dialah si kapten yang akan membawa dan mengatur anak buahnya untuk berperang nantinya.    

  "Lo suka sama cowok hanya dengan sekali tunjuk?" Davira menyela. Sedikit tersenyum miring untuk keanehan yang dilakukan oleh Davina.    

  "Dia ganteng. Jadi gue suka," elaknya pada Davira sembari terkekeh kecil.    

  "Lo sendiri? Mau deketin siapa tadi namanya ...."    

  Davira menoleh. "Enggak. Gue gak nglakuin hal-hal yang bakalan sia-sia doang nantinya," jawabnya dengan nada ringan.    

  "Cinta gak menguntungkan buat gue ke depannya. Jadi, skip aja." Gadis itu melanjutkan. Menatap sejenak Davina yang hanya diam sembari menautkan kedua alisnya.    

  Dasar pragma!    

  "Ck, lo mah ... gak seru, Ra." Davina hanya bisa mengakhiri kalimatnya dengan sebuah senyum manis. Teman dekatnya satu ini memang terlalu realistis dalam memaknai sesuatu.     

  Biasanya, Davina akan setuju-setuju saja dengan pemikiran realistis seorang Davira Faranisa. Akan tetapi, untuk pasal cinta ia menolaknya dengan tegas.     

  Cinta adalah hal yang bisa dikatakan realistis juga perlu sedikit bumbu halusinasi. Jika disuruh memilih majas, hiperbola adalah majas yang tepat untuk mendeskripsikan, apa itu cinta? Setiap kata dan kisah yang dilukiskan juga diukirkan oleh setiap pasangan yang sedang berbunga-bunga hatinya itu adalah sebuah bualan. Yang jika kau memaknainya, maka itu kau sebut sebagai pujian dan kata-kata romantis seseorang untuk menghadiahi kata-kata pada pasangannya. Akan tetapi jika kau mengabaikannya, itu akan menjadi bualan dan omong kosong semata.    

  "Jadi lo suka yang mana?" tanya Davira acak kala hening sejenak membentang di antara keduanya. Tak benar hening, sebab suara riuh masih simpang siur terdengar untuk menyorakki setiap aktivitas, kata, dan mimik wajah jajaran remaja tampan di tengah lapangan itu.    

  "Kaptennya," sahut Davina tegas.     

  Keduanya saling tatap. "Gue yakin gue bisa luluhin hatinya," sambung Davina dengan nada mantap.    

  Gadis di sisinya terkekeh kecil. "Hei girl! Ini dunia nyata. Bukan novel yang sedang ditulis oleh seorang penulis alay yang melankolis sifatnya. Bukan juga drama penuh konflik yang sedang disorot kamera dengan kita adalah tokoh utamanya," tukas Davira pada gadis sebaya yang parasnya tak kalah cantik dengannya itu.    

  "Kalau gue bisa?" tantangnya.    

  Davira menarik wajahnya. Menghela napas pendek lalu menepuk perlahan pundak teman sebangkunya itu. "Berarti Tuhan lagi baik sama lo," pungkasnya.    

  "Oke, gue bakalan dapetin hatinya Adam."    

  Davira menoleh. "Adam?"    

  "Namanya. Kapten Adam Liandra Kin."    

  Davira mendengarnya. Nama yang indah, dan ... Davira Faranisa menyukai nama itu.     

  ...To be Continued...


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.