LUDUS & PRAGMA

12. Ludus bukan untuk Pragma.



12. Ludus bukan untuk Pragma.

0  Adam terdiam kala menyadari satu hal kecil yang ia lewatkan, Ah benar! Yang ia temui saat ini adalah Davira si gadis jutek nan pendiam berseragam abu-abu.    
0

  "Kalian pada ngapain?" Seseroang menyela keduanya. Adam memutar tubuh jangkungnya, sedangkan untuk Davira kini ia menatap remaja yang baru saja menginterupsi dengan suara bariton khas miliknya.     

  "Lama banget sih, Lo!" Davira menggerutu. Tanpa mau melirik Adam lagi, ia berpaling. Tubuh semampai sedikit mungil miliknya itu berputar. Melangkah menjauh dari dua remaja yang sama-sama tampan, akan tetapi jikalau dibandingkan, Adam lah yang memiliki paras dan fisik yang lebih mumpuni tanpa cacat sedikitpun.    

  "Ra! Tungguin gue dong!" katanya sedikit berteriak.     

  Davira mengabaikan. Tak mau memutar tubuhnya juga menoleh atau bahkan menghentikan langkahnya sekarang. Toh juga, untuk apa? Arka mempunyai kaki jenjang bukan? Percaya deh, kalau beberapa detik lagi pasti remaja itu sudah bisa menggapai tubuh Davira.    

  "Gue cabut sama cewek gue dulu, Dam," sambungnya sembari menepuk pundak Adam. Remaja di sisinya tertegun sejenak. Ia tak salah dengar 'kan? Arka barusan menyebut Davira dengan julukan 'cewek gue'?    

  "Tunggu, apa maksud lo ngomong kayak gitu?"    

  Keduanya diam sejenak. Arka tersenyum licik pada Adam kemudian kembali menepuk pundak remaja setara tinggi dan setara usia dengannya itu.    

  "Lo suka sama Davira?" lanjutnya kala Arka hanya diam tak mau menjelaskan maksud dan tujuan kalimatnya barusan.    

  "Pikir aja sendiri, gue yakin lo gak goblok-goblok amat 'kan?" gumamnya sembari tertawa kecil nan singkat. Melangkah meninggalkan Adam yang masih kaku dengan wajah tegangnya.    

  Bangsat! Selain brengsek, Arka juga si bangsat gila dengan senyum picik yang membuat siapapun ingin menampar si remaja jangkung berponi naik itu.     

  --dan Adam melihat semuanya, Arka mempercepat langkah kaki jenjang bersepatu hitam putih itu. Berlari kecil adalah keputusan terakhirnya untuk menyegerakan tujuannya mengapai tubuh semampai milik Davira Fanisa.     

  Sialnya lagi, remaja itu memberi rangkulan manja. Seakan mendapat respon negatif dari si gadis, Davira menyibakkan kasar lengan berotot yang jatuh kasar di atas lehernya. Bukannya Davira jijik atau tak mau berdekatan dengan Arka, namun ini adalah lingkungan sekolah. Meskipun Davira adalah tipe gadis yang tak peduli dengan omongan sekitar tentang baik buruk yang ada dalam dirinya, akan tetapi tetap saja, tak sopan jikalau ia melakukan 'adegan mesra' di dalam lingkungan sekolah begini.    

  "Lo ngapain aja sih di dalem?" Davira bertanya dengan nada ringan sedikit menyelipkan nada memprotes sebab Arka tak tepat akan janjinya pada Davira. —Gak lama kok bentar aja—Begitu kiranya kalimat terakhir yang diucapkan remaja itu sesaat sebelum punggungnya hilang masuk ke dalam ruang basket.    

  "Ya maaf, tadi nge-chek list daftar buat seleksi official basket," katanya beralasan. Lagian memang benar kok, kalau Arka melakukan hal ia katakan pada Davira tadi. Hanya saja, sedikit dengan selingan basa-basi bersama Candra juga teman lainnya. Katakan saja membahas sesuatu dengan topik pembicaraan yang hanya anak laki-laki lah yang bisa memahaminya. Jadi, percuma saja Arka menceritakannya pada Davira.     

  "Lain kali kalo ada apa-apa ambil sendiri deh! Males gue nemeninnya," sungut Davira dengan nada kesal.     

  Arka tersenyum. Menoleh pada Davira lalu mengacak kasar puncak kepala gadis yang hanya tak terlalu tinggi jika dibandingkan dengannya itu.    

  "Dih, gitu aja ngambek," gumam Arka padanya.    

  Davira mendengus. Lagi-lagi menyibakkan kasar tangan berotot pepak dari atas kepalanya. Gak sopan! Dasar remaja brengsek!    

  "Abis lo nyebelin."     

  "Ra?" Arka memotong topik pembicaraan mereka dengan sebuah panggilan lirih yang diakhiri dengan helaan napas panjang dari Arka Aditya.     

  Tanpa menghentikan langkah, Davira menoleh. Sejenak melirik belokan lorong di depan yang nantinya akan membawa keduanya untuk sampai di parkiran depan sekolah.    

  "Lo tertarik sama Adam?" tanyannya tiba-tiba. Kali ini langkah sepasang kaki ramping itu terhenti. Menatap sejenak Arka kemudian menapuk pundak remaja itu dengan kasar.     

  Bibir merah muda Davira mengerucut. Sepasang alis cokelat melengkung bulan sabit miliknya hampir tertaut dan dahinya samar berkerut.     

  Pertanyaan itu ... tak berdasar.    

  "Lo paling tau 'kan cowok tipe apa yang gue benci?" tanyannya berkelit.     

  Arka mengangguk. Kembali melanjutkan langkahnya yang diikuti oleh sepasang kaki ramping milik Davira. Keduanya berbelok di ujung pertigaan lorong. Sejenak diam dan hening membentang menyertai langkah keduanya.    

  "Cowok brengsek," sela Arka kemudian. Tiba-tiba? Tidak. Ia menjawab pertanyaan Davira barusan.     

  Davira melirik sembari tersenyum singkat. "Dan Adam brengsek," lanjutnya menimpali.    

  Arka terkekeh. "Lo sendiri aja gak tau definisi cowok brengsek. Semua cowok lo sebut brengsek 'kan?" tanyannya sembari terus memusatkan langkahnya untuk maju ke depan.    

  "Tapi Adam gak se-brengsek itu, tau." Arka kembali menyela langkah keduanya. Diliriknya Davira yang hanya diam sembari menarik sisi bibir merah mudanya.     

  "Tau dari mana lo? Lo aja juga baru kenal dia 'kan?"     

  "Lo sendiri juga? Tau dari mana kalau Adam itu brengsek?" kelit Arka memutar balikkan pertanyaan.    

  Langkah keduanya kini kembali berbelok. Menuju ke tengah lapang untuk memilih jalan alternatif terdekat agar segera sampai di kawasan parkir depan sekolah. Katakan saja, Davira juga Arka sedang 'potong kompas' untuk segera sampai ke tujuan mereka.    

  "Kita itu sama, sok tau," kekeh Arka kemudian tertawa ringan di bagian akhir kalimatnya. Davira menoleh. Benar, itulah kesamaan mereka berdua. Sok tahu, padahal tak tahu apapun.    

  Ada lagi persamaan Davira dan Arka Aditya? Ada, dan cukup banyak.    

  Dari kejauhan, seseorang mengamati kedekatan mereka bedua. Perbincangan Arka dan Davira hanyalah basi-basi sebenarnya, namun jika seseorang menatap keduanya dari kejauhan, orang itu akan salah mengira bahwa Davira dan Arka adalah sepasang kekasih yang sedang saling merayu satu sama lain sekarang ini.    

  --dan Adam adalah salah satu dari orang itu. Adam sekarang tahu bagaimana rasanya cinta pada pandangan pertama yang berawal dari tatapan fisik dengan fisik. Lalu, ia juga paham sekarang ini, bagaimana rasanya mencemburui seseroang bahkan orang itu tak tahu bahwa kita sedang memberi cemburu padanya. Sesak, sedikit miris.     

  "Awas bola matanya loncat keluar loh," ujar seseorang menyela fokus Adam. Remaja itu menoleh. Gadis cantik lah yang menyela dirinya saat ini, Kayla Jovanka.    

  "Lo udah selesai ngobrol sama temen lo?" Adam menyahut. Sejenak melirik tas ransel biru muda dengan gantungan boneka kecil yang ia berikan untuk sekadar memberi tanda pada Kayla bahwa hari itu —hari di mana Adam memberikan boneka kecil sebagai gantungan tas milik Kayla— adalah hari pertama kedekatan mereka yang sampai sekarang entah, hubungan apa yang sedang mereka jalani saat ini.    

  "Udah baru saja. Lo sendiri? Udah kelar ngurusin basketnya?" Kayla berjalan maju. Sekarang posisi mereka apik berjajar sembari melempar tatapan jauh ke tengah lapangan. Ada Davira juga Arka yang sudah berada di sisi lapangan basket, dan sebentar lagi tubuh keduanya akan hilang sebab gerbang keluar sudah menunggu mereka.    

  "Lumayan, besok lagi," jawab Adam singkat.    

  "Kok lo gak daftar jadi official basket?" Adam kembali melanjutkan kalimatnya.    

  Gadis itu mengembangkan senyum tipis di atas bibir merah muda miliknya. "Buat apa?"    

  Adam menoleh sejanak. Sekilas, lensa pekatnya memotret paras ayu oriental milik Kayla Jovanka. Memang sih, jika dibandingkan dengan Davira Faranisa, Kayla sedikit lebih cantik sebab semburat wajah oriental itu, akan terapi kembali lagi pada fakya bahwa postur tubuh tinggi krempeng gadis itu tak bisa mengalahkan semampai dan menggodanya tubuh seorang Davira Faranisa.    

  Jadi bisa dikatakan bahwa nilai tambah yang tak dimiliki seorang Kayla Jonvaka adalah pasal tubuh.    

  "Lo gak mau gitu nemenin hari-hari gue di tim basket?" tanyannya sedikit merayu.     

  Kayla menggeleng. "Cukup nemenin hari-hari biasa Lo aja," katanya terkekeh kecil.    

  "Ngomong-ngomong, lo tertarik sama tuh cewek?" tanyannya tiba-tiba. Adam kembali menoleh. Baiklah, Kaylah sudah mulai mengintrogasi dirinya saat ini.    

  "Kenapa lo bisa—"    

  "Dua kali gue mergokkin lo liatin dia dari kejauhan, sebenernya ... ini yang ketiga," tutur Kayla sembari menghela napasnya pendek.     

  Remaja jangkung itu sejenak bungkam. Pertama adalah saat dirinya menatap punggung Davira yang masuk ke dalam koperasi bersama Arka. Kedua, mungkin ... ah, ya. Dirinya ingat pagi tadi saat Arka dan Davira bermain 'kejar-mengejar' bak bocah yang untuk Adam, itu sangat menjengkelkan. Lalu, ini adalah ketiga kalinya ia tertangkap basah sedang memperhatikan Davira diam-diam dari jarak yang semakin jauh tiap detiknya.    

  "Aneh 'kan kalau gue nyimpulin lo suka sama Arka?" lanjut Kayla kala Adam hanya diam sembari terus mencoba menghindari kontak mata dengannya. Ada alasan yang jelas mengapa Kayla memberi pertanyaan acak seperti itu, sebab Davira selalu bersama Arka--dan juga, Adam selalu saja menatap keduanya dari kejauhan.    

  "Gue cuma pengen ngliatin aja, gak ada maksud lain," jawab remaja itu beralasan.    

  "Itu bukan lo," sahut Kayla menebak.     

  --dan Adam bungkam.    

  "Bukan Adam namanya kalau ngeliatin cewek tanpa ada maksud lain." Gadis itu melanjutkan. Terkekeh kecil untuk menetupi hatinya yang sebenarnya sedang retak saat ini. Jujur saja, Kayla bukan gadis bodoh yang tak tahu apa-apa dan tak bisa menyimpulkan keadaan yang sedang terjadi saat ini. Fakta yang ia tahu dari segala sikap dan gerak gerik seorang Adam Liandra Kin adalah ... remaja itu mulai tertarik dengan Davira Faranisa.    

  "Lo yakin cewek itu gak suka sama Arka?" tanyannya sembari melipat rapi kedua tangan di atas perut.     

  Adam lagi-lagi menoleh setelah tatapannya sempat teralih dari paras jelita milik Kayla.    

  "Cuma sahabatan sejak kecil? Cih, dasar munafik," gumamnya kemudian tertawa singkat.     

  "Di dunia ini, cewek dan cowok gak bisa terus-terusan berteman, Dam. Salah satu atau bahkan dua-duanya akan memiliki rasa tertarik dan ingin memiliki. Kau yakin tak ada rasa itu di antara keduanya?" Kayla kembali menjelaskan awal situasi rumit yang mungkin saja akan terjadi jika Adam meneruskan perasaannya pada Davira. Juga, Kayla tak rela sebab Adam adalah miliknya saat ini.    

  "Dan pikirkan juga soal hubungan lo sama Arka, bisa aja—"    

  "Lo ceramahin gue?" Adam menyela. Menatap paras ayu seorang Kayla Jonvaka yang jelas sedang melukiskan semburat kekhawatiran untuknya.    

  Kayla takut jikalau Adam benar-benar lepas dari genggamannya.    

  "Gue gak akan tertarik sama dia dan ninggalin lo," katanya meluruskan segala kesimpulan gadis bermata kucing itu.    

  Entahlah, Adam sendiri pun tak yakin bisa menepati janji yang asal ia ucapkan untuk memberi respon atas kalimat panjang yang diucapkan oleh gadis itu.    

  "Jangan janji, nanti gue berharap." Kayla menimpali sejenak melirik Adam yang tersenyum tipis untuknya kali ini.    

  Benar, jangan janji. Sebab Adam sendiri tak pernah bisa menepati semua janjinya pada Kayla sebelum ini. Adam brengsek jikalau di singgung pasal janji menjanji dan dalam pembelaannya, bahwa ia bukan Tuhan yang bisa mengatur apa-apa saja yang ada dan terjadi di masa depan.     

  Baiklah, jika memang hari ini ia mengatakan bahwa Davira diciptakan bukan untuk menjadi gadis yang ditakdirkan untuknya. Akan tetapi, Adam sendiri tak tahu apa yang akan terjadi padanya besok dan besoknya lagi.    

  Tidak ada yang tahu jika Tuhan sudah membolak-balikkan hati manuska 'kan?     

  Ya. Tidak ada yang tahu.    

  ...To be Continued...


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.