LUDUS & PRAGMA

15. Penolakan indah dari si cantik.



15. Penolakan indah dari si cantik.

0  Adam berjalan mendekat kala semua yang ada di sana menatapnya heran. Bagaimana remaja itu bisa berdiri sembari menangku tangannya rapi di atas perut di sana? Dia seorang jin dedemit yang bisa menghilang hanya dengan cara menjentikkan jari dan meninggalkan kepulan asap sebagai salam perpisahan? Iklah rokok kali, ah!    
0

  "Lo ngikutin gue?" Arka menyela langkah remaja yang kini celingukkan untuk mencoba melirik apa dan siapa yang ada di dalam rumah Davira. Rumahnya kecil, tak mewah seperti kediamanan yang dibangun dengan jerih payah dan keringat ayahnya itu. Gaya ruangan yang sempat dilirik Adam-pun tak seperti gaya rumah orang-orang kaya yang bisa dikatakan selevel dan sederajat dengannya —tapi tunggu, bukan itu yang diperdepatkan dalam hati dan pikiran remaja itu. Dengan siapa Davira tinggal di rumah tak mewah juga tak sederhana berlantai dua dengan halaman kecil dan satu bagasi di sisinya ini? Ayah dan ibu? Ayah saja? Atau ibu saja? Entahlah. Sepertinya gadis itu sedang sendirian saat ini.    

  Dejavu! Itulah yang dirasa oleh remaja berjaket jeans kala melihat Adam melakukan hal yang sama saat seperti di depan rumahnya tadi. Sekarang, ada satu pertanyaan besar ... Adam memang 'kepo' seperti itu 'kah?    

  "Hm. Gue ngikutin, lo," akunya pada Arka. Melirik remaja sebaya dengannya kemudian menatap Davira dengan sisi pipi yang masih memerah. Adam tak perlu berbasa-basi seperti Arka sebelumnya. Sebab, ia tahu benar bahwa gadis cantik itu sedang tidak dalam keadaan baik setelah indisen penamparan yang terjadi padanya.    

  Tapi sumpah demi apapun, fokus Adam kini beralih pada lekukan tubuh Davira Faranisa yang terlihat begitu jelas ketika gadis itu hanya menggunakan balutan kaos tipis dan celana ketat panjang yang menutupi seluruh bagian kakinya hingga jatuh tepat di sepasang mata kakinya.    

  --dan bentuk tubuh itu ... Adam menyukainya!    

  "Kamu dateng karena mau tanggung jawab?" Davira menyela. Lirih suaranya membuyarkan fokus Adam juga Arka yang sedikit tak percaya Davira akan bertanya demikian.    

  "Lupakan. Kamu boleh pergi!" ketusnya melanjutkan.    

  Arka menyeringai. Ini baru Davira yang ia kenal!    

  "Enggak, kok." Adam menyahut. Sedikit tertawa dengan nada meremehkan. Davira, salah mengartikan kedatangan remaja itu rupanya.     

  Adam memasukkan satu tangan berototnya ke dalam saku celana jeans pekat yang ia kenakan. Melirik Arka yang sejenak mengerutkan kedua sudut matanya. Si brengsek ini, sangat menyebalkan!    

  "Aku cuma mau tau rumah kamu aja," sambungnya tersenyum simpul.     

  "Buat apa?" Arka menyela. Mengambil langkah kemudian sigap memasang tubuh kekarnya untuk melindungi Davira. Tunggu, tunggu dulu. Jangan salah paham dengan mengira Adam akan menculik Davira. Menjadikannya gadis simpanan yang bisa ia 'pakai' jasanya sewaktu-waktu kala ia membutuhkan hiburan. Atau Adam akan melukai Davira untuk meninggalkan bekas luka di tubuh gadis itu. Tidak, Adam bukan remaja seperti itu. Ia hanya tersenyum. Dengan senyum manis yang sumpah demi apapun itu sangat meluluhkan hati.     

  Jadi, Arka-lah yang sedikit berlebihan kali ini.    

  "Biar bisa dateng sendirian tanpa ngajak Arka," kekehnya kemudian.    

  Davira membulatkan matanya sejenak. Baginya, tawa Adam terdengar mengerikan saat ini. Seperti seorang psikopat gila yang menertawai korbannya yang sekarat.    

  "Gak usah dateng!" sahut Davira lantang. Sedikit menggeser tubuh Arka agar ia bisa menatap dengan benar paras tampan Adam Liandra Kin.    

  "Kamu tidak akan diterima di sini," pungkasnya mendesis di bagian akhir kalimat.     

  Adam bungkam sejenak. Menatap Davira yang masih memberi tatapan aneh kepadanya, katakan seperti tatapan sendu sedikit marah juga takut tergambar jelas di paras ayu gadis itu sekarang ini.    

  "Aku pasti datang," tutur Adam dengan nada ringan.     

  "Aku akan membawa cemilan biar diterima kehadiranku nantinya." Adam melanjutkan tersenyum simpul kemudian mengulurkan tangannya. Melambai ringan dengan senyum kikuk yang menjadi akhir ekspresi sebelum akhirnya remaja itu memutuskan untuk membalik tubuhnya dan melangkah pergi meninggalkan Davira juga Arka di sana.     

  Davira menatapnya. Setiap langkah yang diambil oleh Adam untuk meninggalkan rumahnya.     

  --dan tiba-tiba, langkah itu terhenti. Sigap tubuh kekar remaja itu berputar. Lalu hal gila terjadi pada Davira.    

  "Davira Faranisa! Senang mengenalmu!" teriaknya lantang.     

  Davira membuka matanya lebar. Ia ingat kalimat aneh yang diucapkan Adam saat pertemuan pertamanya dengan Adam di depan kedai jus di pasar malam. Salam kenal. Davira ingat jelas kalimat singkat itu setiap bertemu dengan Adam Liandra Kin.    

  Sebelum ini Davira tak bisa memahami dengan benar maksud dan tujuan Adam tiba-tiba mengatakan itu dulu. Akan tetapi, saat ini Davira mengerti bahwa kalimat itu adalah kalimat pembuka bagi pria itu memulai untuk 'mengejar' seorang Davira Faranisa. Lalu, kalimat lantang yang diteriakkan olehnya baruan itu adalah ... sebuah kode. Kode yang memberi isyarat pada Davira bahwa Adam telah mantap memutuskan akan benar-benar bermain 'kejar-mengejar' bersamanya.    

  Remaja itu kembali memutar tubuhnya. Melangkah jauh dari posisi Davira yang masih mematung rapi di tempatnya sembari sesekali tersenyum ringan.     

  Tunggu, untuk apa Davira tersenyum? Itulah pertanyaan yang ada di dalam kepala Arka Aditya kala lensanya tak sengaja menemukan hal aneh yang terlukis di wajah gadis itu. Senyum, dan senyum itu untuk seorang ludus brengsek, Adam Liandra Kin.    

  "Lo senyum?" tegur Arka tiba-tiba. Davira mendongak. Cepat senyum yang terlukis di atas bibir tipisnya itu memudar. Hilang tak berbekas kemudian menggeleng tegas untuk menampis segala kecurigaan yang ada dalam diri Arka saat ini.    

  "Lo gak balik?" tanya Davira mengalihkan tatapannya.     

  Arka menggeleng. "Enggak!" sahutnya tegas kemudian menerobos masuk ke dalam rumah Davira. Sepi, bak kastil minimalis yang lama tak ditempati. Arka memutar tubuh jangkungnya. Mematap Davira yang baru saja menutup pintu rumahnya dengan pembelaan bahwa ia tak ingin udara dingin masuk dan membekukan tulang belulangnya nanti.    

  "Mama lo gak ada?"    

  "Enggak, lembur katanya. Paling balik nanti tengah malem." Davira menyahut tanpa mau menatap Arka dengan benar. Berjalan dan mengabaikan keberadaan remaja itu begitu saja. Davira menarik kursi kayu yang sebelumnya rapat dengan meja besar di sudt ruangan. Mengeluarkan semua isi kantong kresek besar yang baru ia bawa dari dalam minimarket.     

  Arka berjalan mendekat. Sejenak melirik semua camilan yang ada di atas atas meja. Lalu, ia mengangguk paham. Bukan untuk Davira, namun untuk kalimat Adam yang baru beberapa detik lalu ia dengar. Ternyata sebab cemilan sialan ini lah, Adam mengatakan kalimat itu. Seperti sebuah godaan untuk membuat Davira setidaknya tersenyum kecil.    

  "Gue mau itu!" tunjuknya pada salah satu cemilan yang ada di sisi Davira.     

  Arka ikut duduk. Tak mengindahkan segala perubah ekspresi Davira yang jelas menatapnya dengan penuh kemalasan.     

  Renyah kunyahan keripik yang baru saja masuk ke dalam mulut remaja tampan bertubuh jangkung itu kini seakan menggema memenuhi ruangan sebab tak ada obrolan yang berarti di antara keduanya saat ini. Davira fokus dengan roti basah dan sekaleng soda yang ada dalam genggamannya. Sesekali berdecak kesal sebab rasa cokelat yang terlalu manis ia rasakan menyentuh permukaan lidahnya. Davira tak suka cokelat, tapi bodohnya ia membeli roti rasa cokelat. Sebab kata penjual minimarket, rasa kesukaannya sudah habis di borong seseorang sebelumnya. Masa bodohlah, yang terpenting sekarang perutnya kenyang untuk segara bisa menyambut larut malam tiba juga waktu tidur datang menyapa.     

  Arka melirik Davira. Gadis itu sangat cantik, cantik yang natural dengan polesan lip balm tipis dan bedak bewarna senada dengan kulit putih susunya itu. Ia tersenyum. Ingin rasanya Arka mendekat dan mencium lembut pipi sedikit cubby yang menggemaskan itu, akan tetapi ia menahannya saat ini. Sebab jika tidak, bisa saja Davira mencoret namanya dari daftar sahabat untuk diajak berjuang melawan masa depan.     

  "Ra?" lirihnya memangil.     

  Gadis di sisinya bungkam. Tak menyahut juga tak merespon apapun.     

  "Ra, lo denger 'kan?" tanyanya sembari menyenggol sisi kaki gadis di sisinya itu.    

  Lagi-lagi gadis itu diam. Tak mau mengubris Arka yang kokoh mencoba untuk mencuri perhatiannya.    

  "Ra! Tuli lo!" pekiknya sedikit berteriak.     

  Davira kali ini menoleh. Berdeham ringan. Kemudian melempar rotinya di atas meja. Menarik kaleng soda dan meneguk setengahnya. Kembali meraih kepirik yang ada di genggaman Arka lalu memakannya. Gadis itu mengembangkan senyum kikuk sembari sedikit menyipitkan matanya. Ekspresi itu, berarti Davira sedang malas jika diganggu.     

  Akan tetapi bukan Arka Aditya namanya kalau tak kokoh mengusik kehidupan gadis itu. Ia menarik kursinya. Lebih dekat pada Davira juga agar gadis itu memberikan segala fokus untuknya.    

  "Apasin lo," tukas Davira meletakkan jari telunjuknya di atas dahi lebar Arka. Sedikit mendorongnya agar posisi Arka kembali ke semula—dengan jarak tak jauh juga tak sedekat seperti sekarang ini. Sebab jujur saja, Davira sedikit tak nyaman jikalau malam-malam begini, hanya berdua saja, dan suasana yang sunyi sepi bak kota mati, remaja yang sudah menjadi sahabatnya sejak kecil ini melakukan hal bodoh yang bisa saja membuat suasana canggung datang menggantikan suasana sepi tak berpenguhi seperti saat ini.    

  "Lo suka Adam?" tanyannya tanpa berbasa-basi. Davira bungkam. Menyipitkan kedua mata bulatnya, alih-alih membulat sebab terkejut.     

  Gadis itu menyungingkan senyumnya. "Buat apa gue suka dia?"     

  "Lo senyum tadi," sahut Arka kemudian.    

  Tatapan Gadis itu kembali menatap Arka. Lagi-lagi mengembangkan senyum picik sembari menepuk pundak remaja itu pelan. "Karena gue muak," ketusnya menjawab.     

  Arka menatap Davira. Ekspresi gadis itu penuh dengan kebohongan!    

  "Kalau gue suka sama lo?" ujarnya tiba-tiba.     

  Davira membuang tatapannya. Kembali memutar tubuhnya menghadap meja dan meraih sekaleng soda lalu meneguknya habis.    

  "Ra?" Lagi-lagi Arka membuka suara baritonnya.     

  Davira mendesah ringan. Meletakkan kasar kaleng soda yang ada di genggamannya. "Jangan bikin gue canggung sama lo, Ka!"     

  "Lo sahabat gue," sambung Davira menjelaskan singkat.    

  "Jadi lo—"    

  "Gue ngasih tawaran yang lebih bagus dari hanya sekadar pacaran, lo mau?" Davira berbasa-basi.     

  "Mau gak lo jadi sahabat gue sampaek kakek nenek?" tanyannya dengan nada lirih. Mata Gadis itu sedikit sayu. Pipinya memerah dan wajahnya sedikit pucat.    

  Arka melirik kaleng yang ada di sisi Davira. Memutar kaleng itu dan--    

  "Lo mabuk gegara minum ini?" sentak Arka sesaat setelah mengetahui kandungan alkohol ada di komposisi minuman Davira.     

  Remaja itu bedecak. Bangkit dari kursinya kemudian mencoba untuk membopong tubuh gadis itu. "Gue anter ke kamar lo, dan gue yang beresin ini. Kalau mama lo tau—"    

  "Gue gak mau kehilangan lo, Ka. Lo sahabat terbaik gue. Lo lebih berharga dari seorang pacar atau seorang ayah, paman, ataupun kakak laki-laki." Davira kini mulai merancau. Membuat remaja di sisinya sejenak menghentikan aktivitasnya.    

  Ah, benar! Davira membenci susunan keluarganya sendiri. Tak semua, gadis itu begitu mencintai mamanya tapi tidak untuk papanya. Davira membenci laki-laki itu dengan segenap jiwa dan raganya.     

  Kalian tahu bagaimana Davira menunjukkan kebenciannya pada sang ayahanda? Dengan menuliskan status sang ayah dalam biodata saat dirinya masuk ke sekolah menengah pertama dengan sebuah status kematian. Ya, dalam akunya, papa Davira sudah meninggal.    

  Lalu, Gadis itu membenci segala bentuk macam laki-laki di dunia ini. Kecuali, satu. Arka Aditya.


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.