LUDUS & PRAGMA

14. Ludus versus Philia.



14. Ludus versus Philia.

0  Suara nyaring pintu diketuk dengan ritme sedang sukses menyita perhatian si tuan rumah untuk bergegas datang dan membukakan pintu untuk si tamu, dan betapa terkejutnya si remaja tampan pemilik rumah kala lensa pekatnya menatap sesosok tubuh berperawakan hampir mirip dengannya dengan paras yang lebih tampan dan mumpuni tentunya, dia adalah Adam Liandra Kin. Remaja jangkung itu kini sudah berdiri mematung di depan pintu rumahnya sembari tersenyum kuda. Arka melangkah maju, sedikit menyerongkan tubuhnya untuk membeli celah pada Adam agar bisa masuk ke dalam rumah —etika seorang tuan rumah yang wajib untuk mempersilakan tamunya masuk. Sebab seperti pepatah, bawa tamu adalah seorang raja. Namun pernahkah kalian berpikir mana ada raja yang berkunjung ke rumah rakyatnya tanpa membawa pasukan? Tidak ada. Jadi berhentilah untuk mengatakan bahwa tamu adalah raja! Sebab bagi Arka, tamu ya tamu. Raja ya raja.—    
0

  "Masuk, Dam." Arka menawarkan. Remaja di sisinya menggeleng samar. Lagi-lagi tersenyum kuda untuk mengekspresikan betap canggungnya malam ini.    

  Adam bertemu dengan Davira sebelum datang ke sini. Gadis yang tegas menolak tawaran pertemanan dari Adam dengan memberi jawaban menggunakan kata yang sangat singkat nan tegas —gak!— Adam marah? Oh tentu tidak! Remaja itu kini malah semakin gila jikalau menyingung pasal gadis cantik bernama lengkap Davira Faranisa itu. Dalam ambisinya hanya ada satu kalimat yang tersemat jelas untuk mengekspresikan betapa gilanya ia saat ini, dan kalimat itu adalah "Bagimana cara meluluhkan hati batu seorang Davira Faranisa." .    

  Kalau diingat lagi saat pertemuannya pertama kali dengan Davira, gadis itu sudah menunjukkan respon yang tak bisa dibilang baik. Davira mengabaikan paras tampan Adam dan mengabaikan kehadirannya. Entah apa yang ada dalam otak gadis itu mengenai seorang Adam Liandra Kin. Mungkinkah Davira hanya melihat dari sisi buruk seorang Adam yang hidup di masa remaja dengan dikelilingi gadis-gadis cantik yang menggila sebab paras tampannya itu? Sekali lagi, HANYA DAVIRA YANG TAHU.    

  "Lo gak mau masuk? Terus kenapa datang ke rumah gue?" tanya Arka sembari melirik kertas yang ada di genggaman Adam.    

  "Buat Lo," jawabnya singkat. Lagi-lagi Adam tersenyum pada Arka. Eits! Tapi jangan salah mengira jika Adam juga menyukai sesama jenis dengan terus melempar senyum ramah pada Arka. Tidak, Adam tak serendah dan tak sebrengsek itu. Ia masih waras. Otak dan seluruh sistem yang ada dalam tubuhnya masih berfungsi dengan baik meskipun terkadang sedikit 'error' karena tingkah brengseknya yang selalu saja memberi pujian dan gombalan-gombalan gila untuk kaum hawa yang sedang ada di dekatnya. Katakan saja seperti Kak Lita juga Kayla Jovanka.    

  "Surat cinta buat gue?" Arka meraih uluran tangan Adam dan mengambil gulungan kertas. Membukanya sekilas lalu menutupnya kembali.    

  "Gue kira surat cinta," tukasnya terkekeh kecil. Adam berdecak. Sesekali celingukan untuk membuat pandangannya mencoba masuk menerobos ke dalam rumah Arka.    

  "Lo boleh masuk, Dam! Gak usah celingukan kek maling gitu deh," sindir Arka padanya. Remaja itu memindah sorot matanya untuk menatap Arka. Lagi-lagi hanya tersenyum untuk memberi respon pada remaja itu.    

  "Gak ... gak! Gue langsung cabut aja. Ngomong-ngomong jangan lupa periksa daftarnya. Kita harus ngadain—"    

  "Iye bawel, lo!" Arka menyahut. Diliknya Adam sekilas kemudian kembali menatap gulungan kertas yang ada dalam genggamannya.    

  Adam memutuskan datang ke rumah Arka dan membuatnya berjumpa dengan Davira di jalan bukan tanpa maksud dan tujuan yang berarti. Hanya mau mampir dan main sembari mengobrol dengan teman barunya itu? Oh tentu tidak! Adam tak perlu melakukan hal serepot itu untuk dekat dengan teman-temannya. Kalaupun mau nongkrong ya cari tempat tongkrongan lah! Rumah bukanlah tempat nongkrong untuk kaum lelaki. Cari tempat lain, diskotik dan bar misalnya. Eh! Keceplosan.    

  Tujuan remaja itu datang ke rumah Arka adalah untuk memberikan segulung kertas bertuliskan daftar nama calon pengurus official basket yang tim utamanya diketuai oleh Adam. Kenapa tidak dipotret dan kirimkan lewat pesan online atau email aja, sih? Dasar Adam! Baiklah, pertanyaan yang bagus. Adam sebenarnya adalah tipe lelaki yang sama dengan lelaki pada umumnya, malas menulis atau membuat ketikan laporan terkait daftar yang sudah disepakati bersama timnya sebelum ini. Pria itu lebih memilih mengendarai motor gede-nya membelah padatnya Kota Jakarta yang kalau sudah malam, udara tak lagi panas bak sedang memanggang seluruh isi bumi. Dingin, seperti sifat 'doi' padanya! Davira Faranisa.    

  "Lo mau matung kek tugu monas di sini atau masuk atau pulang?" Arka kembali menyela kala keduanya hanya diam sebab tak ada lagi bahan yang bisa mereka jadikan sebagai obrolan untuk mengakrabkan suasana canggung. Dalam adegan romantis atau dramatis dan melankolis di film apapun, tak ada tuh cerita dua pria yang saling merayu satu sama lain. Sebab dari itu, tak ada yang bisa Adam tanyakan atau katakan pada Arka kalau si pemilik rumah mewah itu tak mengajukan pertanyaannya duluan. Karena yang paling mudah untuk Adam adalah memberi rayuan pada kaum hawa. Bukan memberi pujian pada kaumnya, kaum adam. Paham 'kan sekarang kenapa Adam terus saja merasa canggung pada Arka? Ya. Sebab Arka adalah kaumnya. Bukan kaum-kaum bertubuh semampai dan berparas cantik.    

  "Ngomong-ngomong lo tetanggan sama Davira?" tanyanya merespon.    

  Arka diam. Menatap Adam dengan tatapan menelisik penuh kecurigaan. "Lo ketemu sama dia di jalan?"    

  Remaja di depannya tertawa ringan, dan tawa itu ... sempurna! Tebakan yang dilontarkan Arka untuk Adam tepat sasaran kali ini.    

  "Lo gak apa-apain dia 'kan, Dam?" Arka kembali bertanya sembari mengerutkan dahinya samar. Sungguh, hatinya tiba-tiba was-was setelah mengetahui fakta bahwa Adam baru saja bersua dengan sahabatnya, Davira.    

  "Dih! Lo kira gue cowok sebrengsek itu ?" Adam menggerutu. Memprotes kalimat Arka yang terkesan sedang meremehkannya malam ini. Memang sih, Adam itu sedikit brengsek dengan peringai buruk yang hobi merayu sana sini untuk memuaskan batinnya. Tapi 'kan ... ya, gitu deh!    

  "Hm!" erang Arka sembari mengangguk. Remaja itu mengiyakan dan menyetujui kalimat Adam barusan? Ya. Bahkan dengan jawaban yang tegas. Tak ragu, salah sifat Arka adalah jujur sebagai akhlak mulia yang ada dalam dirinya. Jadi, jangan salahkan remaja itu kalau-kalau jawabannya terkadang 'ngena' banget di hati. Akan tetapi, hanya satu yang tak bisa Arka jawab dengan jujur jikalau ada seseorang yang bertanya padanya perihal perasaan remaja jangkung itu pada sahabatnya, Davira Faranisa. Mau tau apa itu? Arka akan memberi tahu kalian nanti!    

  "Gue gak ngapa-ngapain dia. Cuman tadi ...." Adam menghentikan kalimatnya kala tersadar bahwa Arka menatapnya dengan tatapan yang semakin menajam setiap detiknya.    

  "Dia kenak tampar gara-gara gu—"    

  Adam menghentikan kalimatnya saat tangan Arka tiba-tiba mencengkram bahunya kuat. Remaja diam tak berkutik sejenak untuk mencoba menerka isi kepala remaja yang sedang menatapnya dengan penuh amarah. Baiklah, Arka pasti akan memaki habis-habisan seorang Adam Liandra Kin saat ini.    

  "Lo boleh balik, Dam," katanya melepas cengkraman. Adam berdeham. Aneh? Sedikit. Jujur saja jika beberapa detik yang lalu Adam sedang mempersiapkan kalimatnya untuk menjawab segala bentuk ujaran kebencian yang mungkin akan menghujani dirinya.    

  "Gue mau pergi." Arka memutar tubuh jangkungnya. Mengabaikan Adam yang tak merespon dan masuk ke dalam rumahnya. Tubuh jangkungnya kini menarik sesuatu yang ada di atas sofa, dan itu adalah jaket miliknya. Melempar asal kertas yang masih kokoh ia genggam sebelumnya. Kemudian kembali berjalan ke arah Adam yang masih mematung di tengah pintu rumahnya.    

  "Gue bilang lo boleh pergi, Dam!" pekik Arka sedikit panik. Remaja itu berjalan melalui Adam menuju moge yang terparkir di sisi halaman rumahnya. Menyalakan mesin motornya dan memutar gas. Arka pergi meninggalkan Adam di depan rumahnya? Ya. Toh juga, bukan salah Arka sebab remaja itu sudah mengatakan dengan jelas pada temannya itu jika ia diperbolehkan pergi sebab tuan rumah sedang terburu-buru saat ini. Seperti sebuah usiran dengan nada dan kalimat yang sopan nan halus.    

  ***LnP***    

  Remaja itu menambah lagi kecepatan Moge-nya. Berbelok di ujung perempatan dengan lampu jalan yang remang menghiasi. Dalam bayangan remaja itu, Davira sedang menangis tersendu-sendu dikarenakan harga dirinya yang jatuh akibat sebuah tamparan yang jujur saja ia tak tahu datangnya dari siapa, sebab Arka belum sempat menanyakan itu pada si pemberi informasi, Adam Liandra Kin. Katakan saja seperti Arka pergi dengan penuh emosi dan semburat kekesalan serta kekhawatiran kala mendengar seseorang sudah menyakiti Davira Faranisa.    

  Arka berbelok di pertigaan dan memperlambat laju motornya. Terhenti tepat di depan pagar besi yang kokoh melindungi halaman minimalis dengan lampu indah yang menghias di setiap sisi jalan berbatu di tengah halaman rumput hijau. Arka mematikan moge-nya. Menarik kunci dan memasukkan benda itu ke dalam saku jaket jens yang ia kenakan. Remaja itu berjalan mendekati pagar, sedikit membungkukkan badannnya untuk mengintip apakah gerbang terkunci atau tidak? Jawabannya adalah tidak.    

  Remaja itu menggeser pintu gerbang. Berjalan masuk mengabaikan cahaya kuning lampu taman yang mengiringi langkah sepasang kaki jenjang miliknya.    

  Ia mengetuk pintu dengan tegas. Sedikit sumbang bila didengarkan dengan jelas. Sebenarnya ada tombol bel listik yang bisa digunakan oleh remaja itu guna memanggil si tuan rumah, namun remaja itu tak suka menggunakan benda putih kecil itu. Dalam alasannya, itu terlalu lama dan kadang tak bekerja! Budaya orang Indonesia, kalau belum teriak-teriak dan 'nggedor-nggedor' rumah orang, belum mantep rasanya.    

  Arka menunggu sesaat setelah ketukan tegas kesekian kalinya ia lakukan, dan sekarang suara gagang pintu ditekan terdengar samar di kedua lubang telinganya. Baiklah, Davira sudah merespon.    

  "Siapa— Arka? Ngapain Lo—"    

  "Lo gak kenapa-kenapa 'kan?" tanyannya menyela. Tatapannya kini teralih pada handuk kecil yang membungkus sesuatu di dalamnya yang menempel di pipi Davira. Arka meraih tangan gadis itu. Menyingkirkan handuk itu agar tak lagi menutupi separuh wajah cantik jelita milik Davira Faranisa.    

  Arka menghela napasnya pendek nan ringan. Ini ... keterlaluan!    

  "Siapa yang nampar lo?!" pekiknya tak sabar. Ia kini menatap Davira yang masih diam untuk menyesuaikan situasi yang tiba-tiba terjadi padanya.    

  Jika diringkas, begini kiranya. Di jalan tadi ia bertemu dengan si brengsek, Adam. Setelah itu seseorang menamparnya dengan keras sebab kebodohannya dengan ikut campur ke dalam masalah si brengsek itu. Setelahnya, Arka datang dan melontari dirinya sebuah pertanyaan terkait peristiwa yang baru saja ia alami.    

  Ah, ia mengerti! Adam pasti yang memberi tahunya.    

  "Gue cuma—"    

  "Makannya, tanya dulu semuanya biar jelas. Main minggat aja sih!" gerutu seseorang yang menyela dari balik ambang pintu rumah Davira.    

  Arka menoleh, begitu juga Davira yang melangkah maju untuk mencari tahu siapa yang baru saja menyela percakapannya.    

  Sialan, pria brengsek itu lagi!    

  ...To be Continued...


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.