LUDUS & PRAGMA

8. Ludus, si gila cinta.



8. Ludus, si gila cinta.

0  "Mbak jus jambunya satu sama jus avocado-nya satu," ucap Davira memesan.    
0

  "Avocadonya jadi dua." Seseorang yang baru saja datang mengimbuhkan kalimat singkat dari Davira Faranisa. Gadis itu mennoleh. Menatap siapa yang baru saja mengambil posisi berdiri sejajar dengannya itu.    

  "Sama jus mangga juga satu," lanjutnya sembari mengacungkan jarinya.    

  Dia, Adam Liandra Kin.     

  Davira sedikit menjauhkan posisi berdirinya dari si remaja jangkung itu. Sejenak melirik Adam yang kini jelas memberi tatapan aneh padanya. Bukan, bukan tatapan aneh layaknya seorang haters pada artisnya. Akan tetapi tatapan tertegun sedikit tak percaya pada kecantikan seorang Davira Faranisa.    

  "Hai, Davira." Adam menyapa dengan nada seramah mungkin. Gadis itu menoleh padanya. Tersenyum tipis sembari berdeham ringan.     

  Meskipun senyum itu sangat tipis bahkan hampir tak terlihat, namun Adam menyukai senyuman itu.    

  "Kamu suka jus jambu?" tanyannya asal menebak.     

  Gadis di sisinya menoleh lagi. Tersenyum kikuk lalu menggeleng ringan. "Buat Arka," katanya singkat.    

  "Segitu deketnya kamu sama dia sampek tahu apa-apa yang disukai Arka tanpa tanya ke orangnya?" Adam sedikit melirih di bagian akhir kalimatnya. Sedikit berpikir sebab dalam ingatannya Davira tak bertanya pada Arka sebelum gadis itu memutuskan untuk pergi ke kedai jus.     

  Davira tersenyum ringan. "Aku udah temanan sama dia sejak kecil," tuturnya menjelaskan dengan sopan.     

  Sumpah, Davira tak tahu mengapa ia memilih menggunakan kata 'aku' ketimbang 'gue' untuk berbicara pertama kali dengan seorang Adam Liandra Kin.    

  Adam memberi tatapan teduh pada Davira sesaat setelah gadis itu menyelesaikan kalimatnya. Nada dan suara gadis itu sangat nyaman didengar oleh kedua lubang telingannya.    

  "Dan sekarang kalian sedang berkencan?" tanya Adam tiba-tiba keluar dari topik pembicaraan canggung mereka.     

  Davira tersenyum ringan mendengar pertanyaan yang membuatnya bisa menebak kehadiran Adam berdiri di sisinya dengan kedok ingin membeli dua jus untuk dirinya juga untuk si teman gadis yang entah siapa itu. Bagi Davira itu tak penting. Sebab, ia sendiripun tak tertarik untuk masuk dan mengurusi remaja brengsek seperti Adam Liandra Kin. Remaja jangkung itu ingin mencari tahu tentangnya dan mungkin saja, dirinya lah yang akan menjadi 'korban' dadi kebrengsekan seorang Adam Liandra Ki.    

  "Hei, tak semua laki-laki dan perempuan yang berjalan bersama itu artinya sedang berkencan bukan?" Davira memutar balikkan pertanyaan yang ada. Sejenak menatap Adam yang baru saja menaikkan kedua alis garisnya kemudian memusatkan tatapannya ke bawah seiring dengan aktivitasnya yang merogoh sisi tas kecilnya untuk mengambil dompet di dalam sana.    

  Gadis itu kembali menatap Adam sejenak sesaat setelah dirinya menemukan benda bewarna merah muda dengan gantungan kecil di sisinya itu. Merogoh dan mengeluarkan dua lembar uang sepuluh ribuan lalu menyodorkannya pada si penjual seiring dengan uluran tangan wanita muda penjaga kedai padanya menyerahkan dua jus yang ia pesan tadi.    

  Davira tersenyum. "Bukankah begitu?" tanya lagi. Kali ini senyumnya itu berubah menjadi senyum seringai yang membuat kesan licik terlukis jelas di atas paras cantiknya.    

  Adam mematung. Ekspresinya tak berubah sama sekali kala melihat wajah dengan senyum evil milik Davira.    

  "Kau sendiri? Siapa yang kau kencani? Gadis yang ini atau gadis yang ada di sekolah?" Davira terkekeh kecil kemudian. Kembali memasukkan dompetnya ke dalam tas slempang kecil yang menggangantung di pundak kirinya.     

  Adam ikut menyeringai. Gadis ini ... unik.    

  Gadis itu mendekatkan wajahnya di sisi telinga Adam Liandra Kin. "Kau se-brengsek itu?" lanjutnya berbisik. Kembali menarik wajahnya untuk menjauh dari Adam.    

  Lagi-lagi gadis itu mengakhiri kalimatnya dengan senyum yang kali ini terlihat lebih jelas dari sebelumnya. Mengalihkan tatapannya saat semua kalimat yang ingin ia ucapkan dan segala ekspresi yang ia tunjukkan sudah sukses gadis itu lakukan. Kini, saatnya ia pergi. Melangkah menjauh sebab tak ada gunanya lagi ia berdiri di sini. Untuk apa lagi memang? Meladeni bocah remaja menyebalkan yang sudah gila akan gadis-gadis cantik ini kah? Davira akan menolaknya dengan tegas.    

  "Mereka bukan siapa-siapaku!" pekiknya menarik pergelangan tangan Davira. Membuat tubuh gadis itu berputar seiring dengan tarikan tangan Adam.     

  Dan tarikan itu ... menciptakan jarak intim di antara keduanya. Satu titik dan sepersekian detik tatapan lensa mereka saling beradu. Untuk Davira, Adam itu memang tampan. Wajahnya tak cacat sedikitpun. Fisiknya pun bisa dibilang sempurna idaman para kaum hawa. Akan tetapi, hatinya adalah hati yang diambil dari seorang iblis penggoda. Jadi, Davira tak menyukai remaja ini apapun alasannya.     

  Dan untuk Adam, Davira adalah gadis cantik dengan dua kepribadian yang berbeda. Saat berada di lingkungan sekolah, gadis itu polos. Tak ada make up tebal yang menghias wajah ayunya. Ada sih, hanya lip balm dan bedak tipis yang bisa dibilang masih dalam batas wajar seorang remaja menghias parasnya untuk datang ke sekolah. Penampilannya pun alakadarnya layaknya gadis-gadis biasa yang tak suka bersolek untuk mempercantik diri dalam hal berpakaian. Akan tetapi saat berada di luar, gadis ini sangatlah cantik dan mempesona meskipun dirinya memang sudah cantik pada dasarnya. Kepribadian aliyas sifat yang ditunjukan si gadis pun sangat lain. Jika di sekolah, Davira terkesan cuek, pendiam, dan tak peduli dengan lingkungannya. Akan tetapi saat berada di luar begini, ia sangat manja dan penuh kasih sayang. Adam menyimpulkan hal itu dari segala tingkahnya pada Arka barusan.     

  Sungguh, ia tak tahu mana Davira yang harus ia dekati terlebih dahulu? Davira si gadis cantik pendiam berseragam abu-abu, atau Davira si gadis seksi dan mempesona yang ia temui malam ini?    

  "Kamu ...."     

  Davira mengulum salivanya berat. Mengedipkam matanya beberapa kali untuk mencoba menyesuaikan aktivitas barunya saat itu—menatap Adam dari jarak yang sangat intim.    

  "Sangat cantik," lanjut remaja itu sembari mengembangkan senyum tipis di paras tampannya.     

  Davira menyeringai. Bahkan kalimat yang terus salah terucap dari mulut si remaja sedikit brengsek selalu saja terdengar menyebalkan.    

  Tapi, apa ini?! Jantungnya kini berdetak tak karuan iramanya kala tatapan lensa mata Adam menajam padanya. Sial! Davira tak bisa mengontrol jantungnya saat ini.    

  "Davira Faranisa," tukas Adam lagi-lagi tersenyum di bagian akhir kalimatnya.    

  "Kamu adalah targetku mulai saat ini!" --Tidak, itu hanya bantin Adam yang berbicara untuk melanjutkan kalimatnya barusan. Remaja tampan itu masih tersenyum belum mengucap sepatah katapun untuk melanjutkan kalimatnya setelah memanggil nama gadis yang kini menyipitkan matanya untuk mencoba menerka isi otak remaja aneh ini.    

  "Salam kenal," katanya acak.    

  Davira melepaskan tawa singkat yang sangkat kala kalimat pendek itu lepas dari celah bibir seorang Adam Liandra Kin.     

  Lucu? Sedikit. Davira bahkan tak menyangka Adam akan mengatakan hal itu sebab yang disangka si gadis adalah Adam akan 'melecehkannya' dengan menggunakan kata-kata rayuan agar dirinya luluh.     

  ***LnP***    

  Mereka berpisah dengan Adam juga si gadis yang bersamanya tadi sebab Davira yang meminta. Gadis itu beralasan ingin jalan-jalan berdua saja dengan Arka karena ia tak nyaman jikalau ada orang asing bersama merek—Adam dan si gadis yang kiranya lebih tua dari mereka— jadi, Arka menurut. Berpamitan pada Adam juga si senior kemudian mengekori Davira yang lebih dulu berjalan menerobos kerumunan dan meninggalkannya, yang dalam gerutu Davira, Arka itu lama!    

  Arka berjalan dengan langkah sedang untuk menyamai langkahnya dengan Davira Faranisa. Gadis itu masih saja aneh dengan tingkahnya yang sesekali tersenyum simpul lalu senyum itu pudar dari wajah cantiknya. Sesekali gadis itu terkekeh kecil dan diakhiri dengan helaan napas ringan darinya.    

  Akhirnya Arka menarik tangan gadis itu. Membuat langkah Davira terhenti dan membawa tubuh gadis itu sedikit serong untuk menatapnya dengan benar. Davira diam. Bungkam tak bersuara adalah pilihannya saat ini.     

  "Lo kenapa sih? Dari tadi senyum-senyum." Arka menelisik setiap ekspresi yang terlukis di paras ayu Davira.    

  "G--gue? Gak papa," pekiknya dengan nada meninggi sebab suaranya yang tak terdengar dan kalah oleh bisingnya lagu yang baru saja diputar menggema di udara.    

  "Adam bilang sesuatu waktu di kedai jus?" tanyannya mendekatkan mulutnya di telinga kiri Davira.    

  Gadis itu menggeleng. "Gak penting omongannya!" pekiknya kembali berjalan.    

  Arka diam. Kini tatapannya jelas tertuju pada wajah Davira yang berubah aneh. Senang? Tidak. Ia hanya kembali tersenyum-senyum bak orang gila yang dapat rejeki nomplok malam ini.    

  "Kita mau ke mana lagi?"    

  Gadis itu menoleh. "Pulang!"     

  Arka menaikkan sisi alisnya. "Pulang? Kita baru—"    

  "Gue udah dapet bakso bakarnya. Makan di rumah," katanya beralasan.    

  Arka tersenyum singkat. Davira Faranisa, lagi-lagi mari pahami pemikiran aneh si gadis bernama Davira Faranisa.    

  ***LnP***    

  Bruk!!! Suara dentuman yang jelas terdengar kala remaja tampan bertubuh jangkung itu melempar asal jaket kulitnya dan mengenai permukaan meja di sisi ranjang empuknya. Ia menyalankan lampunya lalu membanting tubuhnya kasar di atas ranjang.    

  Remaja itu kini menatap langit-langit kamar yang hanya berhias satu lampu pijar yang sedikit silau jikalau ditatap dengan benar.    

  Davira Faranisa. Lagi-lagi wajah dan nama gadis itu memenuhi otak seorang Adam Liandra Kin. Gadis bisa dibilang sedikit unik sebab tingkahnya yang dingin pada Adam. Meningat hampir semua gadis sebaya dengannya yang bersekolah di SMA Amerta Bintari tergila-gila akan kehadirannya.    

  Adam melihat sisi lain dari seorang Davira Faranisa malam ini. Gadis yang cantik dengan polesan sempurna yang menambah kesan ayu pada wayahnya. Cara berpakaiannya pun tak "cupu-cupu" amat seperti layaknya anak metropolitan pada umumnya. Bahkan, Davira itu tergolong gadis yang mengerti tentang style dan cara berpakaian.    

  Jika dilihat dari jarak yang sangat intim seperti saat di kedai jus tadi, gadis itu benar-benar cantik dengan mata bulat, hidung standar, bibir mungil yang menebal di bagian bawahnya juga sepasang alis cokelat muda yang melengkung bulan sabit. Tatapan matanya teduh membuat siapapun yang menatap si gadis enggan mengalihkan wajahnya.    

  Dan malam ini, Adam terpesona pada seorang Davira Faranisa.     

  Lalu Kayla? Entah. Pikirkan gadis itu belakangan. Toh juga, Adam tak pernah memiliki hubungan yang spesial dengan gadis itu. Adam tak pernah mengikat dirinya pada satu gadis sebab itu merepotkan.    

  Jikalau ditanya sejak kapan Adam menjadi playboy dengan sifat ludus dalam hal mencinta begini, belum lama—itulah jawabannya. Kiranya kala dirinya dinyatakan telah lulus dari usia 16 tahun dan berselang setengah tahun hingga dirinya mulai tertarik dengan lawan jenisnya.    

  Mendekati satu gadis dan terpesona dengan gadis lain. Begitulah cara Adam mencintai. Bukan, baginya itu bukan kesalahan dalam seseorang 'bermain' cinta. Hanya saja remaja labil memang suka begitu.    

  Adam menarik selimut tebalnya. Setelah memutuskan untuk menghantar Kak Lita selepas dirinya berpisah dengan Arka juga Davira, ia pulang ke rumah. Ingin merenungkan tentang siapa itu Davira—itulah alasan yang ia bangun dalam dirinya sendiri.     

  Dan di sinilah ia berada. Di dalam kamar pribadinya yang di dominasi dengan benda-benda kesukaannya. Di tempat inilah Adam merenung sembari menatap langit-langit kamarnya.    

  Dalam renungannya, hanya satu kesimpulan yang remaja jangkung berparas tampan itu dapatkan. Bahwa Davira itu sangat cantik dan mempesona. Kali ini bukan pasal fisik saja. Akan tetapi pasal peringai si gadis yang terkesan unik dalam menyikapi pertemuan mereka.    

  Selanjutnya Adam memutuskan untuk mulai mencoba 'mencintai' ... ah tidak, mulai 'menargetkan' Davira Faranisa dan menyudahi permaiannya bersama Kak Lita—si senior cantik yang sempat mencuri perhatiannya.    

  Ya, Davira Faranisa. Adam akan mulai mencari tahu dan mencari peluang mengenai gadis itu.    

  Sekarang, remaja itu paham beginilah rasanya jatuh hati pada pandangan pertama. Sebelumnya Adam tak pernah? Pernah. Akan tetapi, kali ini lain. Jikalau biasanya si gadis-gadis lah yang menghubungi dan mencari tahu tentangnya duluan, namun kali ini Adam lah yang harus berusaha lebih keras untuk tahu siapa dan bagaimana itu Davira Faranisa.    

  Gadis dungu cinta 'kah? Mengingat ia tak pernah melihat si gadis tertarik dan tergila-gila dengan remaja tampan manapun, bahkan Arka yang menurut Adam, remaja yang menjadi wakilnya itu lumayan tampan juga.     

  Atau Gadis bodoh yang pura-pura tak mencintai dan mengabaikan perasaannya?     

  Entahlah. Hanya Davira Faranisa sendiri yang bisa menyimpulkan bagaimana perasaan yang ada di dalam dirinya. Tugas Adam hanyalah mencari tahu saat ini.    

  ...To be Continued...


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.