LUDUS & PRAGMA

11. Pragma, si aneh penuh misteri.



11. Pragma, si aneh penuh misteri.

0  Adam menelisik setiap nama yang ada di sana. Berharap tak hanya Davina yang menulis, tapi juga Davira.     
0

  Akan tetapi, harapannya ... pupus. Sejenak ia menghela napasnya. Melirik Arka yang kini menatapnya penuh dengan tatapan curiga. Adam, benar-benar menargetkan Davira saat ini.    

  "Lo berharap Davira nulis di sana?" tanyanya sembari berjalan mendekat. Menarik kertas yang ada dalam jangkuan Adam. Remaja jangkung itu tersenyum ringan sejenak kemudian menundukkan kepalanya dan meletakkan fokusnya pada selembar kertas di depannya.     

  "Sayangnya cuma Davina yang nulis," sambungnya tertawa ringan. Menepuk pundak Adam kemudian berlalu meninggalkan remaja jangkung itu di tempatnya.    

  "Lo mau ke mana, Ka?" Candra menyela. Diliriknya Adam yang masih diam tak berucap apapun setelah kalimat yang sebenarnya mirip dengan 'ledekan' dari temannya jelas di dengar oleh seluruh penghuni ruangan.    

  "Balik ke kelas, bentar lagi bel masuk," jawab si remaja itu sembari memasukkan salah satu tangannya ke dalam saku celana abu-abu yang ia kenakan.     

  "Lo sahabatnya Davira 'kan?" Adam menyela. Berjalan dengan langkah ringan mendekati Arka Aditya.    

  Remaja itu mengangguk. Samar mengenyitkan dahinya sembari sejenak menautkan sepasang alis hitam legamnya.     

  "Kalau iya, emang kenapa?"     

  Adam tertawa singkat. "Gue suka sama sahabat, lo."     

  Pyarrr! Bukan, itu bukan suara piring yang tiba-tiba jatuh menyela percakapan keduanya. Akan tetapi, perumpaan yang tepat dan sedikit dibuat dengan majas hiperbola untuk mendeskripsikan betapa hancurnya hati Arka Aditya kala mendengar pengakuan dari teman yang baru saja ingin ia rekrut menjadi sahabatnya itu.    

  Bingo! Selain pengakuan Adam perihal perasaannya pada Davira yang bisa dikatakan adalah sebuah implementasi dari cinta pada pandangan pertama, Arka juga mengakuinya. Bukan pada Adam, Candra maupun teman-teman se-tim basketnya, akan tetapi pada dirinya sendiri.     

  Ya, Arka menyukai Davira Faranisa. Perasaan yang muncul tiba-tiba? Tidak. Perasaan itu sudah lama bersarang di dalam hati seorang Arka Aditya. Kiranya, sesaat setelah remaja jangkung itu menyadari bahwa meskipun Davira adalah gadis aneh yang suka menyendiri, namun ia adalah gadis yang hangat pada faktanya. Dirinya penuh cinta dan kasih sayang, bahkan bisa dikatakan bahwa Davira Faranisa itu adalah tipe gadis yang mudah 'peka' pada keadaan sekitarnya, hanya saja ia memilih diam dan tak peduli jikalau itu tak menyangkut dengan kehidupan pribadinya.     

  Dari semua fakta yang ada, Arka hanya meningat satu fakta yang menjadi dasarnya tertarik dengan Davira Faranisa, bahwa gadis itu sangatlah cantik sekarang ini. Ya, pasal fisik. Sebab munafik jikalau Arka mengatakan bahwa tak juga memandang fisik mumpuni seorang Davira Faranis.    

  "Menurut lo gimana?" tanya Adam sembari melirhkan nada bicaranya. Menepuk pundak Arka sembari tersenyum jahat padanya.    

  Arka tertawa ringan. "Apanya yang gimana?"     

  "Lo gak suka sama Davira juga?" Adam memberi tatapan tajam bak singa yang sedang membidik sang mangsa. Mencoba memastikan bahwa tak ada kebohongan yang tersirat dari dalam ekspresi seorang Arka Aditya.    

  "Lo suka sama Davira itu urusan lo. Gue suka atau enggak sama Davira itu juga urusan gue, jadi ... urusi aja urusan kita masing-masing," tukas Arka dengan penuh penekanan di setiap kalimatnya.    

  "Woii! Bro! Kok jadi gini sih, santai kayak dipantai dong!" Candra lagi-lagi menyela. Memisah acara tatap-menatap yang dilakukan oleh Arka juga Adam. Keduanya menoleh, dasar perusak suasana!    

  "Gue mau cabut ke kelas. Kalau ada apa-apa panggil gue aja," kata Arka memecah keheningan yang hampir saja menyelimuti suasana yang ada di dalam ruang yang sedikit sempit dengan satu bilik ganti di pojokannya itu.    

  --dan tak bohong jikalau Arka berkata dalam hati bahwa dirinya sangat was-was kali ini. Mendengar fakta bahwa Adam menyukai Davira sedikit membuat dirinya terganggu. Sebab, tak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan 'kan?    

  ***LnP***    

  "Arka dateng tuh, sana minggir." Davira mendorong pelan kursi yang diduduki Davina untuk membuat gadis itu sedikit terusik.     

  Davina mendengus. Selain mendorong kursinya, memang tak bisa?    

  "Lo gak daftar jadi anggota o—"    

  "Enggak." Davira menyahut kala tubuh jangkung remaja berkulit putih susu sudah berdiri tegap di sisi meja yanh menumpu kepalanya yang terasa berat.     

  Arka melirik Davina yang kini berdiri sembari terus menatapnya. "Gue daftar kok," sahut gadis itu kemudian.    

  Arka hanya mengangguk. Terserahlah untuk Davina mau bagaimana. Ia hanya peduli pada gadis yang sekarang menjadi teman satu mejanya itu.    

  "Kenapa lo gak daftar?" Arka berbasa-basi. Diliriknya Davira yang sekarang bermain dengan ujung jari jemarinya yang kasar mengetuk permukaan meja. Davira bosan, itulah asalannya ia melakukan aktivitas bak bocah aneh saat ini.    

  "Karena gue gak suka," tukasnya dengan nada lirih.    

  "Gak suka sama Adam?" Arka menyahut dengan pertanyaan yang sebenarnya melenceng jauh dari topik pembicaraan mereka saat ini.    

  "Karena gue gak suka aja," jawabnya. Kali ini gadis itu menarik kepalanya. Duduk tegap sejenak kemudian kasar menyandarkan punggungnya ke belakang.    

  "Arka," panggil Davira lirih sejenak melirik remaja yang kini menoleh untuk merespon panggilan singkat darinya.    

  "Kemarin papa telepon gue," tukasnya lagi.     

  Arka menatap Davira dengan benar kali ini. Sediki memutar tubuhnya serong lalu menyangga kepalanya miring menggunakan tangan kiri berotot miliknya. Davira, terlihat sedikit gusar kali ini.    

  "Papa ngajak gue pergi ke Jerman. Menurut lo—"    

  "Kalau lo mau pergi, pergi aja. Kalau enggak, tolak aja. So simple 'kan?" sahut Arka menebak kalimat tanya yang akan dilontarkan gadis itu padanya dan benar saja, Davira diam sebab pertanyaan yang belum ia lontarkan dengan utuh itu sudah terjawab.    

  "Dia papa yang brengsek," sahut Davira dengan nada memelan. Kembali wajahnya sedikit mununduk dan memfokuskan tatapannya pada ujung jari jemari lentik miliknya yang saling bertaut satu sama lain.    

  --dan tatapan gadis itu nanar. Arka tau, Davira menunduk sebab ingin menyembunyikan wajah bermata bulat yang amat ia yakini pasti dengan menahan air matanya untuk tak turun kala bibirnya berucap kata brengsek setelah kata 'papa' diucapkan.    

  "Emang ada cowok yang gak brengsek buat lo?" Arka menyela. Sedikit melucu meskipun sebenarnya ia tahu bahwa Davira tak akan menganggap leluconnya ada sebuah humor pemecah ketegangan—saking garing dan recehnya.    

  "Ada, tukang susu sapi langanan mama," ujar Davira dengan nada cuek seperti biasanya.    

  Arka menoleh. "Dih, itu juga brengsek karena meresin susunya sapi tiap hari."     

  --dan, Davira tertawa. Lepas, tawanya lepas tak ditahan seperti biasanya. Baiklah, Arka berhasil menghibur Davira kali ini.    

  Untuk papa Davira, tak banyak yang mengtahui di mana ayahanda gadis berparas cantik jelita itu. Orang tuanya berpisah semenjak Davira lulus dari bangku sekolah dasar. Alasannya? Tak lain dan tak bukan adalah sebuah masalah rumah tangga yang tak bisa dimengerti Davira saat dirinya baru saja menginjak usia 12 tahun saat itu.    

  Papanya 'minggat' setelah mamanya melempar segala benda yang ada dihadapan wanita itu kala Davira mengintip di balik celah pintu kamarnya malam-malam. Mamanya menangis tersendu-sendu setelah meneriakki nama papa Davira dan mengusirnya kemudian. Bak babu yang usir oleh sang majikan kala kepergok mencuri barang berharga di tempatnya bekerja, itulah kata Davira kala Arka bertanya apa yang ia lihat malam itu.    

  Jujur saja, Davira tak mengerti apapun pasal perceraian mama dan papanya itu. Yang ia tahu hanyalah, sang mama selalu mengatakan bahwa cinta manusia mudah sekali berubah seiring berjalannya waktu--dan itulah yang terjadi pada pernikahan keduanya.    

  Mamanya selalu beralasan bahwa dirinya tak lagi cinta pada sang ayahanda. Tersiksa dan merasa sesak kala melihat paras tampan berkumis tebal yang selalu tersenyum untuk menyambut paginya dulu—begitu kiranya alasan sang mama pada Davira.    

  Lambat laun, ia paham akan satu hal yang mengganjal pada dirinya. Mamanya tak sayang pada papanya lagi? Bual. Itu semua hanyalah bualan sang mama untuk membungkam mulut kecil Davira Faranisa yang selalu saja bertanya ini itu pasal keberadaan papanya dulu.     

  Sebab yang benar adalah kebalikannya. Kebalikannya? Ya. Kebalikannya.    

  Fakta bahwa sang ayahanda yang tak menyayangi mamanya adalah fakta yang ia simpulkan setelah mendengar bahwa ayahnya akan menikah lagi dengan seorang wanita yang satu tahun lebih muda darinya. Si wanita brengsek yang merebut papanya itu adalah anak orang terpandang. Bosnya, ya anak bos dari papanya.     

  Davira asal menyimpulkan? Tidak. Davira tak bodoh. Jika mamanya lah yang egois dengan membuat papanya pergi, mamanya akan segera menikah atau paling tidak mencari 'teman bermain' baru untuk menggantikan posisi papanya. Akan tetapi, fakta berkebalikan dengan ayahnya lah yang melakukan hal biadab seperti itu.    

  Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa semua laki-laki bagi seorang Davira Faranisa itu brengsek.    

  ***LnP***    

  Pelajaran telah usai, kini saatnya semua siswa dan siswi dianjurkan untuk pulang ke rumah, meskipun tak semua. Sebab yang terlalu cinta pada sekolah dan kelasnya akan menetap sejenak sampai bosan datang menjemput dan mengakhiri ke-kokohannya untuk tetap berada di lingkungan sekolah.    

  Di depan sebuah pintu yang sedikit terbuka dan menyisakan suara riuh yang terdengar samar di kedua telinganya inilah gadis itu kokoh dalam diam sembari menyandarkan tubuhnya di atas dinding sisi jendela bertirau hijau tua yang tertutup rapat. Davira menunggu seseorang untuk keluar dari dalam ruangan, dan orang itu adalah Arka Aditya.     

  Sekali lagi, Arka itu brengsek! Mengajaknya ke sini sebab sifat pikun tiba-tiba yang bersarang dalam diri remaja itu. Ia meninggalkan seragam basketnya di ruangan sempit ini. Meminta tolong pada Davira untuk menemani sejenak mengambil seragam basket dan bertanya sedikit tentang perkembangan yang terjadi setelah dibukanya rekrut member baru untuk official basket.     

  Katanya sebentar, tapi jarum jam sudah berpindah hampir seperempat putaran dari posisi awalnya. Persetanan memang remaja pikun satu itu, jika saja ia tak disuruh mamanya untuk datang dan pulang ke sekolah bersama Arka, ia tak akan mau melakukan hal yang hanya orang-orang profesional saja yang bisa melakukannya. Menunggu dengan sabar.    

  "Arka lo brengsek ya! Lama ba—"     

  Davira menghentikan kalimatnya. Sial! Benar-benar sial nasibnya sore ini. Ia mengumpati orang yang salah.     

  --dan orang itu ... Adam Liandra Kin.    

  "Arka masih di dalem," katanya lirih sembari menunjuk asal orang yang ada di dalam ruangan.     

  Tubuh jangkungnya melangkah keluar. Menutup pintu dengan lembut kemudian kembali menatap Davira.    

  "Kamu ada perlu sama dia, aku bisa pa—"    

  "Aku pulang bareng dia," sela Davira dengan nada dinginnya. Tidak, bukannya Davira sedang jual mahal sekarang ini. Akan tetapi, nada bicaranya memang begitu pada orang asing. Apalagi kalau orangnya remaja brengsek begini.     

  "Sejak kapan kamu pulang sama Arka?"    

  Davira diam. Menatap Adam sejenak, dan wajah itu sangat tampan, Tuhan! Lantas, kenapa engkau memberi sifat iblis pada remaja berwajah malaikat begini?    

  "Panggilin dia aja, tolong."    

  "Soal di pasar malem ...."    

  "Lupain. Panggilin aja Arka," sahut Davira padanya.     

  Adam diam sejenak. Ah, benar yang ia temui saat ini adalah Davira si gadis jutek nan pendiam berseragam abu-abu.    

  ...To be Continued...


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.