LUDUS & PRAGMA

21. Hari Buruk Untuk Peringai Buruk.



21. Hari Buruk Untuk Peringai Buruk.

0  Davira memelankan langkahnya. Berjalan gontai menyusuri jalan setapak halaman kecil rumahnya ini. Jujur saja, hari ini benar-benar sedikit berat untuk gadis berdagu lancip dengan tubuh semampai itu. Arka menghilang saat jam pulang sekolah tiba. Tiada kabar seakan hilang ditelan bumi. Ia harus pulang sendirian dan sialnya, ia bertemu dengan Adam. Seakan semesta sudah mengatur semuanya guna menegur Davira Faranisa bahwa tak semua laki-laki itu brengsek, ia mendengar kisah Adam secara singkat. Berpisah dengan remaja itu sesaat setelah satu pertanyaan terlontar dari mulut seorang Adam Liandra Kin.     
0

  Bus datang dan memisahkan mereka berdua. 'Menarik' tubuh semampai gadis itu untuk membawanya pulang ke rumah sebab senja akan datang setelahnya. Di dalam bus, Davira bertemu dengan adik Adam. Raffa, ya itulah nama panggilan anak laki-laki berwajah identik dengan 'abangnya' itu. Entah siapa nama panjangnya. Namun, dalam tebakan Davira pastilah ada unsur nama 'Liandra Kin' di dalam namanya itu.    

  --dan kini, saatnya ia beristirahat. Tidak total, sebab nanti malam ada tugas rumah yang harus ia selesaikan masalahnya. Tak hanyak, sih. Memang hanya 10 soal, namun jikalau 10 nomor itu berisi kalimat-kalimat pertanyaan yang tak masuk di akal seperti kimia yang dijabarkan soalnya menggunakan bahasa inggris. Gila 'kan? Ya. Memang gila!    

  "Baru balik, lo?" Seseorang menyela langkah gontainya. Davira menghentikan langkah kakinya. Memutar tubuhnya malas dan menatap remaja yang baru saja menginterupsi segala ketenangan yang ada di dalam situasi rumahnya.     

  "Lo masih hidup?" Davira membalas dengan nada malasnya.     

  Arka—remaja yang sedari tadi, entah sejak kapan ia duduk bersemedi di dalam gazebo yang dibangun di sisi halaman rumah Davira— bangkit dari posisinya dan berjalan mendekat sembari terkekeh kecil.    

  "Iya deh, Ra. Maafin gue ya." Arka memohon. Menautkan kedua telapak tangannya di depan wajah tampan miliknya itu.     

  Davira menyipitkan matanya. "Kok gak kabarin gue?"     

  "Gini, Ra ...."    

  "Oke gue maafin," sahut gadis itu kembali berjalan menuju ambang pintu. Mengabaikan Arka yang kini berdecak lirih kemudian tersenyum aneh.     

  Davira, memang begitu! Selain malas bergerak dan beraktivitas yang bisa menguras tenaganya, ia juga malas kalau disuruh mendengar penjelasan dari orang lain. Sebab baginya, yang sudah ya sudah. Perkara ia marah atau tidaknya, memutuskan untuk memaafkan atau tidaknya, itu bergantung pada situasi dan kondisi yang terjadi padanya.    

  Gadis itu merogoh kantong rok abu pendeknya. Merogoh kunci rumah dan memasukkan kunci itu ke dalam lubang kunci. Memutarnya beberapa kali hingga terdengar bunyi 'klek' yang menandakan bahwa pintu sudah bisa dibuka saat ini.    

  Davira masuk, diikuti dengan Arka yang megekori gadis itu dari belakang. Ia melempar tasnya asal. 'Membanting' tubuhnya kasar di atas sofa besar tengah ruangan. Arka yang sedari tadi mengekori langkah gadis itu kini ikut duduk sembari menatap segala aktivitas Davira yang jelas memberi isyarat padanya bahwa Davira sedang benar-benar kalut saat ini.    

  "Lo naik bus 'kan, Ra?" sela Arka kemudian.    

  Davira menarik napasnya. Membuangnya kasar kemudian melirik Arka yang baru saja menyandarkan tubuh jangkungnya di atas sofa.    

  "Ke sininya gue jalan kaki," jawabnya mendengus kesal di bagian akhir kalimatnya.     

  "Iya deh gue yang salah. Lo mau gue traktir?Gue belum makan dari tadi siang." Arka menawarkan. Merogoh saku celana abu-abu panjang yang ia kenakan untuk mengambil ponsel yang ada di dalam sana.    

  Davira hanya mengerang ringan. Sejenak memijat kepalanya kemudian lagi-lagi menghela napasnya kasar dan helaan itu, mengundang fokus dari Arka Aditya.     

  "Lo baik-baik aja 'kan, Ra?" Arka menyela. Menarik tangan gadis itu untuk bisa mematap dengan benar paras ayu Davira yang jujur saja, terkesan sedikit lesu sore ini. Arka yakin, raut wajah Davira ini bukan sebab kesalahannya yang pergi menghilang tak ada kabar di jam pulang sekolah dan sebab itu Davira harus menunggu bus, berdesak-desakan untuk mendapat tempat duduk di sana, lalu harus menyimpan dan mengabaikan lelah dengan berjalan kaki menuju ke rumahnya.     

  Ada yang salah yang sudah menimpa gadis itu sesaat sebelum dirinya dinyatakan sampai ke kediamannya. Apapun itu, pastilah sesuatu yang benar-benar mengoncang dirinya.     

  "Adam punya adik cowok?" Davira akhirnya kembali menginterupsi. Sejenak menatap Arka yang tiba-tiba mengerutkan kedua sudut matanya. Keningnya samar mengernyit. Tatapannya tajam sedikit menelisik.     

  "Kenapa tiba-tiba bahas Adam?"    

  "Tadi gue ketemu sama adiknya dia," tukasnya mempersingkat.     

  Arka kini bangkit dari posisi duduknya. Meletakkan ponsel yang ada dalam genggamannya itu di atas meja. Mendekat ke arah Davira kemudian mengusap puncak kepala gadis itu.    

  Aneh! Arka tiba-tiba saja memperlakukan Davira bak seorang bocah yang sedang merajuk minta dibelikan permen manis di toko sebelah. Davira menarik kepalanya menjauh dari telapak tangan remaja yang kini duduk dekat denganya itu.    

  Arka tersenyum. "Ra, please ...."    

  "Lo mendadak sinting?" Davira merespon dengan nada ketusnya. Sedikit bergeser bukannya jijik sebab Arka yang mendekat padanya, namun ia hanya tak nyaman dengan perasaannya saat ini.    

  "Gak usah ikut campur sama urusan Adam lagi," pintanya dengan nada melunak.     

  Davira menyungingkan senyum seringai di atas paras ayunya. Terkekeh kecil kemudian menghembuskan napasnya pendek nan kasar.     

  Oke, Arka mulai berisik banyak omong sekarang ini!    

  "Kapan gue ikut campur urusannya Adam?" tanya gadis itu memprotes.     

  "Baru aja."     

  "Gue cuma tanya, tentang adiknya—"    

  "Lo sendiri 'kan yang bilang kalau dia brengsek. Lo sendiri yang bilang kalau gak akan pernah deketin Adam apapun alasannya." Arka kini mulai meninggikan nada bicaranya. Seakan mulai muak dengan kemunafikkan seorang Davira Faranisa.     

  "Gue cuma tanya, Arka!" Davira ikut membentak. Sejenak menatap pria yang ada di sisinya itu.     

  Arka membuang tatapannya. Lagi-lagi ia mendengus. Entah apa yang ada dipikiran gadis itu saat ini. Namun, sikap Davira terhadap Adam mulai berubah sedikit demi sedikit.     

  "Gue gak suka kalau lo mulai tertarik sama dia." Arka berterus terang. Kembali memutar tubuhnya untuk menghadap gadis yang masih kokoh dengan posisi nyamannya—duduk di atas sofa sembari menyilangankan kedua tangannya rapi di atas perut.    

  "Kenapa lo gak suka? Toh, juga ini adalah hidup gue. Mau gue suka sama siapapun itu urusan gue, Ka!" Davira menjelaskan dengan nada ketus. Jujur saja, Gadis itu sedikit tak suka jika seseorang masuk dan mencampuri urusan pribadinya. Arka memang sahabat satu-satu dan terbaik yang ia milik sejak dirinya menginjak usia kanak-kanak. Meskipun sempat terpisah jarak dan mengalami perbedaan waktu, namun keduanya tetap saling bersua kabar memalui pesan elektronik atau sekadar mengirim surat. Akan tetapi, sahabat sedekat apapun itu pastilah mempunyai batasannya sendiri dan Arka, baru saja melampaui batasannya!    

  "Jangan-jangan, hanya karena lo suka sama gue?"     

  Deg! Perasaannya tersentuh. Lebih tepatnya sedikit tersenggol setelah Davira melontarkan pertanyaan itu dengan nada ketus nan dingin miliknya. Tatapannya pun tak bersahabat. Senyumnya perlahan hilang seiring dengan tubuh semampainya yang bangkit berdiri.    

  Setelah kalimat tanya itu terlontar dari mulut seorang Davira Faranisa, Arka akhirnya mampu menyimpulkan sesuatu yang sejenak mengganggu dalam batinnya.     

  Malam itu, Davira tak mabuk. Gadis itu tak berbicara asal untuk menutup percakapan mereka malam itu. Malam itu ... Davira menolak perasaannya.    

  Arka mengulum Salivanya berat. Kembali menatap Davira dan berkacak pinggang di depan gadis itu. "Caraku mencintai bukan dengan menghancurkan untuk memiliki, Davira," katanya menjelaskan.     

  Gadis itu menyeringai. "Lalu?"    

  "Karena mungkin saja apa yang ada dalam diri Adam akan membuatmu kembali membuka luka lama dan aku benci melihatmu begini," lirihnya melunak.    

  Gadis itu merubah ekspresi wajahnya menjadi sayu. "Aku tak menyukai Adam sejauh ini," elaknya kemudian.     

  Tak bertanya pasal arti kalimat penjelas yang dilontarkan sahabatnya itu pada Davira? Tidak. Sebab Davira sudah mengerti apa yang dimaksudkan Arka Aditya dalam kalimatnya itu, bahwa luka yang diperoleh Adam maupun Davira ... Sama.    

  "Aku tak menyukainya—"    

  "Tapi kamu tersenyum," sahut Arka kemudian.     

  Davira mendongak. Menatap dengan benar sepasang lensa pekat nan teduh milik Arka Aditya. Gadis itu menaikkan kedua sisi alisnya. Sedikit terkejut dengan kalimat yang baru saja meloncat keluar dari celah bibir tipis remaja jangkung berjaket jeans itu.    

  "Malam itu ... kamu tersenyum." Arka kembali mempertegas kalimatnya.     

  Davira menunduk kemudian. Mencoba menghindari kontak mata dengan remaja jangkung berhidung lancip ini. Sebab, Arka benar. Malam itu ... Davira tersenyum.     

  "Benarkah kamu tersenyum karena aku?" Seseorang menyela dari ambang pintu yang terbuka lebar. Baik Arka maupun Davira menoleh bersamaan.    

  Perawakan jangkung dengan fisik sempurna dan wajah yang tak perlu diragukan lagi sudah berdiri tegap menghalangi sinar senja yang mencoba menerobos masuk. Davira membelalakkan matanya sesaat tersadar siapa yang baru saja menyela obrolannya bersama Arka.    

  Adam Liandra Kin. Remaja brengsek itu sudah mematung bak balok es di sana. Tersenyum kuda sembari melambai canggung pada Davira Faranisa.    

  "Benarkah kamu tersenyum?" tanyanya mengulang sesaat tidak ada respon yang ia dengar dari mulut Davira Faranisa.    

  Gadis itu bungkam. Tak ingin berkomentar atau menanggapi pertanyaan dari Adam saat ini.    

  "Ngapain lo di sini?" Arka menyela. Berjalan mendekat ke arah Adam yang hanya diam sembari melipat kedua bibirnya ke dalam.     

  "Mampir?" tanya Arka lagi.    

  Adam menggeleng. "Memastikan Davira pulang dengan selamat," ucapnya tegas. Melirik Arka yang jelas menyipitkan kedua matanya curiga lalu memusatkan tatapannya kepada gadis yang kini membulatkan matanya tegas.    

  "Sepertinya dia baik-baik saja," imbuh remaja itu tersenyum manis.    

  Arka masih diam sebab tak mengerti apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh kapten basket-nya ini. Dirinya mengkhawatirkan Davira? Untuk apa? Adam tau Davira pulang sendirian hari ini? Ah, benar. Lesunya wajah Davira pastilah berhubungan dengan kapten brengseknya ini.    

  "Gue liat dia jalan sendirian ke halte bus, gue tawarin tapi dia gak mau gue anter, jadi gue ke sini—"    

  "Dimengerti!" sahut Arka dengan nada dingin. Tak merubah ekspresi juga raut wajahnya.     

  "Lo bisa balik sekarang," lanjutnya mengusir Adam dengan halus.     

  Adam mengangguk. Menatap Davira yang hanya diam seakan di rumah sederhana nan elegan miliknya inilah, Arka bisa berkuasa penuh tanpa merasa 'tak enak hati' pada si tuan rumah sebab sudah mengusir tamu si tuan rumah.    

  "Sampai bertemu lagi, Davira." Adam menutup kalimatnya dengan manis. Sejenak ia menatap gadis yang masih membisu dengan tatapan nanar miliknya, kemudian menatap Arka dengan tegas. Sumpah demi apapun, Adam sedikit membenci Arka saat ini.    

  Karena kebencian yang mulai tumbuh untuk seorang Arka Aditya inilah yang membuat Adam Liandra Kin semakin gigih untuk merebut dan menguasai hati dingin seorang Davira Faranisa. Seakan ingin menunjukkan bahwa waktu ... bisa membalikkan semua keadaan yang ada.     

  ...To be Continued...


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.