LUDUS & PRAGMA

10. Daftar Nama Tak Ada Cinta.



10. Daftar Nama Tak Ada Cinta.

0  Di kelas inilah lagi-lagi Davira menghabiskan waktunya untuk mempelajari kata-kata berteori, angka-angka brengsek dan bahasa-bahasa yang hanya Bahasa Inggris yang masuk ke dalam otaknya—tidak dengan bahasa lain seperti Jerman dan Prancis.     
0

  Gadis itu memainkan ujung penanya untuk menggores tajam dan menari indah —yang kadang dipercepat gerakannya atau kadang diperlambat— pena hitamnya di atas kertas. Ia menyangga dagunya dengan tangan kiri dan sesekali tersenyum tak karuan sebab sesuatu masuk ke dalam pikirannya. Pertemuannya kemarin dengan Adam.    

  Sumpah demi apapun, Davira terus saja memikirkan kalimat 'absurd' si remaja jangkung itu yang mengakhiri pertemuan singkat mereka di depan kedai jus --dan kalimat itu adalah "Salam kenal."    

  Gila? Tidak. Davira tidak menganggap seorang Adam Liandra Kin adalah remaja gila yang tiba-tiba datang padanya dan mengucapkan kalimat seperti itu, toh juga Adam tak ada salahnya dengan mengucapkan kalimat seperti itu. Hanya saja, itu lucu. Sebab moment yang tidak sesuai.    

  "Listik itu dibagi menjadi dua. Kira-kira apa saja itu? Davira! Jawab." Seseorang menyela lamunannya. Gadis itu sedikit menengadah. Diliriknya si guru yang kini menatapnya aneh. Kesal? Sedikit. Wajah keriputnya sedikit menampilkan semburat kekesalan kala salah satu muridnya yang asik 'bermain' dengan duniannya sendiri di saat dirinya sedang mengoceh pasal materi yang ada.    

  Jangan salahkan Davira juga, dong! Toh, Davira tak menyuruh si guru berdiri di sana dengan menyumbangkan suaranya guna membuat murid-muridnya pintar 'kan?    

  Davira bungkam sejenak. Mau menjawab apa? Dirinya sendiri saja tak tahu apa yang ditanyakan si guru berkumis tebal itu padanya.     

  "Statis dan dinamis," bisik Arka padanya.    

  Gadis itu menoleh sejenak. Ah, itu jawabannya.    

  "Statis dan dinamis, pak!" pekik Davira sedikit membesarkan volume suaranya.     

  Guru itu manggut-manggut seakan mengiyakan jawaban dari Davira yang sebenarnya, Arka lah yang menjawab itu. Davira hanya ikut-ikut saja, kau tau.    

  "Lo kenapa sih, Ra? Nglamun aja." Arka menyela dengan nada lirihnya kala melirik si guru yang sudah memutar tubuhnya dan sekarang papan tulis putihlah yang menjadi korban kekejam ujung tumpul spidol dan keganasan goresan yang dilakukan oleh si guru untuk lebih jelas lagi dalam menjelaskan.     

  Davira kali ini menoleh pada Arka. Ekspresi remaja itu ... aneh.    

  "Gak papa-papa. Cuma sedikit gak fokus aja," tutur gadis itu beralasan sembari tercengir kuda padanya.    

  Arka diam. Davira aneh dan suka melamun sejak kemarin malam di pasar malam tepat setelah pertemuannya dengan Adam Liandra Kin dan dalam tebakan Arka, remaja brengsek yang menjabat menjadi ketua tim basket yang ia naungi itu pastilah mengatakan sesuatu pada Davira Faranisa. Lalu, 'sesuatu' itu sekarang menjadi rahasia antar dirinya juga Davira Faranisa yang membuat gadis itu menndapat hobi baru, melamun.    

  "Gak mau cerita sama gue gitu, Adam ngomong apa semalem?" Arka kembali melanjutkan. Kali ini tatapannya beralih. Sejenak menarik buku tulis yang ada di depannya lalu membuka buku itu dan terhenti tepat di lembar kosong yang memberinya tempat untuk mencatat segala yang ingin ia catat di kertas kosong bergaris biru muda itu.    

  Davira melirik. Kini mengikuti aktivitas Arka dan sejenak mengabaikan pertanyaan dari si remaja tampan di sisinya.    

  "Ya udah kalau gak mau—"    

  "Salam kenal," Davira menyahut. Arka menghentikan aktivitas menulisnya. Mendongakkan wajahnya menatap seorang gadis berparas ayu yang masih fokus pada tulisan tangannya yang tergolong rapi itu.    

  Kali ini, remaja itu terkekeh kecil. Tidak, tidak sampai terbahak-bahak hingga membuat gurunya murka dan melempar spidol ke arahnya. Hanya kekehan kecil, ringan, dan singkat.    

  "Lo nglamun dari tadi cuma gara-gara itu?"     

  Davira mengangkat sisi bahunya. Menggeleng samar kemudian. Jujur saja, dirinya sendiri pun tak tahu mengapa ia harus memikirkan kalimat yang bahkan semua orang bisa mengatakannya. Katakan saja seperti sebuah kalimat orang awam yang ingin mengenal lawan bicaranya. Tak ada yang bermakna juga berarti dari kalimat singkat itu.    

  Mungkinkah karena seorang remaja tampan yang mengatakannya, jadilah kalimat singat itu menjadi bak pujian yang meluluhkan hati?    

  Entah. Sekali lagi Davira tegaskan, Entah.    

  "Ati-ati aja sama Adam." Arka melanjutkan. Kali ini kembali memusatkan tatapannya ke depan dan tersadar bahwa dirinya terlalu lambat dalam mencatat.    

  "Sebrengsek itu 'kah Adam?"     

  Arka diam. Menyeringai samar lalu mengerucutkan bibirnya. "Dia sebenarnya baik, cuma kadang sedikit brengsek aja."    

  "Sama aja 'kan brengsek?" Davira menyelanya. Menghela napas berat yang sedikit mencuri perhatian teman di meja sebelahnya.    

  "Anak IPA-2 itu brengsek semua?" tanyanya lagi. Menatap Arka yang jelas tertegun mendengar kalimat pendek dari teman sekaligus sahabat masa kecilnya itu.    

  "Aku juga mantan anak IPA-2, loh!" kata Arka memprotes.     

  Davira terkekeh kecil. "Itu sebabnya gue tanya gitu," guraunya pada Arka yang masih memberi tatapan kesal padanya.    

  Cih, Dasar! Untung cantik.     

  ***LnP***    

  Bel istirahat berbunyi. Seakan membentak seluruh siswa dan siswi SMA Amerta Bintari untuk keluar berhamburan dan berlomba-lomba lari menuju kantin. Seakan sedang ada diskon besar-besaran, seperti kalau beli tempe dua gratis es jeruk segalon, misalnya.    

  Akan tetapi, kali ini yang ramai akan kaum hawa bukanlah kantin, namun papan mading yang baru saja membawa pengumuman baru untuk seluruh anak kelas 10, yang sebenarnya disarankan bahwa kaum hawalah yang membacanya. Namun tak dosa kok, kalau para murid laki-laki juga ikut membacanya. Toh, pengumumannya memang untuk umum.    

  --dan di tempat inilah, langkah Davira juga Davina terhenti. Berdiri di barisan ketiga yang mengerumunin papan pengumuman manding besar yang berdiri kokoh di ujung lorong. Jika ada yang bertanya, tumben Davira mau berdesak-desakkan hanya untuk membaca pengumuman yang sebenarnya jikalau ia baca sepulang sekolahpun tak apa. Sebab pengumuman itu tak akan kadaluwarsa atau hilang dalam sehari sebab dirinya tak kunjung membaca. Jawaban yang paling tepat adalah, sebab Davina Fradella Putri. Ya, sebab temannya yang resek itu. Menarik tubuhnya masuk ke dalam kerumunan dan sekarang dirinya terhimpit teman-teman lainnya.    

  "Daftar yuk, Ra?" ajak Davina sesaat setelah dirinya selesai membaca inti dari pengumuman yang ada.    

  Pendaftaran anggota kelompok official basket SMA Amerta Bintari. Anggota dibatasi dan ketua, wakil ketua, sekertaris, bendahara, juga pengurus bantuan seperti hubungan masyarakat, seksi konsumsi, seksi acara, dan pembantu umum adalah posisi anggota yang dibutuhkan. Waktu pembukaan dan penutupan pendaftaran pun tak panjang durasi waktu dan harinya. Sebab itu, siapapun yang mau bergabung dan bekerja bersama jajaran remaja tampan haruslah cepat bergerak tak ada kata 'nanti-nanti dulu.'    

  "Gak ah, lo aja." Davira menjawab dengan nada dinginya. Setelah sadar bahwa teman sekelasnya itu sudah selesai membaca dan otomatis tugasnya untuk menemani juga sudah selesai, gadis itu keluar dari kerumunan.     

  "Tuh 'kan! Ayo dong, Ra," rengeknya menarik tangan Davira. Gadis itu berdecak. Diliriknya si teman yang merengek bak anak bayi minta susu pada mamanya itu sejenak.     

  Ia menghela napasnya panjang nan berat. "Gue temenin daftarnya."    

  Davina berhenti. Kali ini berdiri tegap sembari menatap polos mantan teman sebangkunya itu. Gadis itu tercengir kuda kemudian.    

  "Terus kalau hari-hari seleksi gue sama siapa?" tanyanya lagi. Nada bicaranya memelas. Seakan memohon pada tuan penjaga hati batu Davira untuk sedikit melunak kali ini saja.    

  "Kalau gak mau ya udah," tukasnya sinis. Berjalan berlalu untuk kembali ke dalam kelas sesaat setelah dirinya melirik jam kecil yang melingkar di pergelangan tangannya. Hampir lima menit lebih mereka habiskan hanya untuk menatap pengumuman yang bagi seorang Davira Faranisa, itu tak penting sama sekali.     

  "Gue traktir bakso deh seminggu penuh kalo lo mau gabung sama gue," selanya pada langkah santai sepasang kaki ramping itu.    

  Davira menggeleng. Bungkam tanpa mau memberi respon yang berarti padanya.     

  Gagal! Memang ya, gadis itu kalau sudah bilang tidak, ya tidak.    

  "Gue cuma mau nemenin, lagian gue juga udah sibuk sama les, kalau lo mau—"    

  "Oke deh, dari pada daftar sendiri." Akhirnya perdebatan kecil itu selesai ditandai dengan perubahan langkah Davira yang mengikuti sepasang langkah bersepatu identik dengannya menuju ke sebuah lorong yang akan menghantarkan mereka ke depan ruang basket di ujungnya.     

  Langkah keduanya tegas menyapu lantai berubin merah yang menjadi alas sepasang sepatu berwarna identik yang keduanya kenakan. Tak ada yang mencegat atau menghentikan langkah mereka, membuat keduanya nyaman menyusuri lorong meskipun semakin dekat dengan ruang basket di ujung sana, semakin ramai pula suasananya.     

  Davira maupun Davina menghentikan langkahnya sejenak. Saling memberi tatap satu sama lain sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk menerobos ke dalam kerumunan. Untuk Davina, ia akan menerobos masuk dan menengelamkan dirinya ke dalam kerumunan para kaum hawa sebaya dengannya yang juga datang untuk tujuan yang sama itu dengan senang hati. Toh juga, kemauannya sendiri untuk datang, bukan? Akan tetapi tidak untuk Davira Faranisa.     

  Persetanan brengsek teman dememit perempuannya ini, membawa dirinya masuk secara paksa menerobos kerumunan yang ada.     

  --dan sekarang, masuklah keduanya ke dalam ruang basket yang berisi jajaran pria tampan di dalamnya.     

  Davira menghela napasnya kasar. Diliriknya Davina yang langsung menjuruskan tatapannya pada Adam yang berdiri sembari menyandarkan tubuhnya di sisi dinding ruang basket sembari memainkan ujung jari jemarinya.    

  Remaja itu awalnya mengabaikan segala keributan teman-temen sebayanya di depan ambang pintu ruangan. Akan tetapi, tatapannya kini datang pada dua sosok gadis dengan nama identik namun wajah yang sangat berbeda. Davira dan Davina.    

  "Ra, lo mau daftar?" Arka menyela sembari berjalan ke arahnya. Gadis itu tersenyum kecut, tanpa mau menjawab pertanyaan dari Arka, ia berjalan maju seiring dengan langkah Davina yang kini terhenti di depan meja besar berisi kertas yang sudah bertuliskan kiranya 20an nama di atasnya.    

  Davina bergumam. Menarik tubuh Davira untuk datang padanya. Gadis itu menunjuk kertas menggunakan ujung jari telunjuknya.Davira menoleh, memberi tatapannya lurus tepat mengarah pada ujung jari telunjuk Davina.     

  Apanya yang salah? Tidak ada. Davira mengerutkan keningnya. Sedikit heran dengan teman sekelasnya yang kini diam sembari membiarkan bibirnya 'komat-kamit' bak sedang membaca mantra namun sebenarnya dia sedang membaca jajaran nama yang tertulis di atas kertas.    

  "Udah banyak 'kan yang daftar?!" gumamnya kemudian.    

  Davira menghela napasnya. "Plis Dav, ini baru 20an."     

  Alay? Sangat. Temannya sangat berlebihan saat ini.     

  "Buruan, gue dah gak betah di sini."     

  Davina menoleh padanya. "Dih, kebiasaan lo! Dasar intro."    

  Oke! Tanpa adanya basa basi di antara keduanya lagi, Davina menulis namanya dengan tegas tanpa keraguan sedikitpun. Melirik Davira sejenak kemudian tersenyum simpul padanya.    

  "Makasih ya, Ra. Udah nemenin," ujarnya lirih. Gadis di sisinya mengangguk malas. Berputar dan keluar meninggalkan ruang basket tanpa berpamitan pada siapapun yang ada di sana.     

  Davina mengikuti. Sejenak menatap Adam dan tersenyum ringan padanya.    

  Adam mendekat. Berjalan santai menuju meja yang baru saja menjadi tempat 'rapat' rahasia antara Davina juga Davira.     

  Adam menelisik setiap nama yang ada di sana. Berharap tak hanya Davina yang menulis tapi juga Davira.     

  Akan tetapi, harapannya ... pupus.    

  ...To be Continued....


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.