LUDUS & PRAGMA

9. Hello Effect!



9. Hello Effect!

0  Matahari kembali menyembul mengintip di balik semburat awan yang indah menghias cakrawala. Membiarkan sinarnya hangat menyinari bumi dan seluruh isinya. Gadis bersurai pekat dengan seragam putih abu-abu yang rapi membungkus tubuh mungil semampainya itu kembali menutup tirai kamarnya yang sedikit terbuka sebelumnya. Sesekali ia melirik jam kecil yang menggantung di atas pembatas ranjang empuknya. Masih pagi, jadi ia tak perlu kalang kabut untuk mempersiapkan segala sesuatu yang belum sempat ia siapkan, sarapan misalnya.    
0

  Ia meraih tas ransel kecil yang selalu menemaninya untuk datang ke sekolah. Menekan tombol lampu untuk mematikan sumber cahaya utama yang menjadi penerangan di kamar persegi yang sudah seperti sarang babi itu—saking kotor dan berserakan semua barang Davira Faranisa.     

  Ia turun dari lantai atas. Menapaki satu persatu anak tangga menggunakan kaki standar berbalut sepatu convers hitam putih yang cocok dikenakan olehnya.    

  "Loh, mama kok belum siap-siap?" Davira mengerutu kala si wanita setengah tua berwajah sedikit identik dengannya itu masih berpenampilan alakadarnya. Layaknya ibu rumah tangga biasa dengan daster panjang dan rambut yang diikat membentuk cepol kecil seadaannya. Kakinya pun tak terbungkus sepatu hak tinggi bermerk yang ia beli dengan gaji bulanan yang ia dapatkan secara susah payah. Hanya sandal jepit hijau tua yang membuat Davira bisa menyimpulkan bahwa mamanya pun juga belum mandi saat ini.    

  Gadis itu menghentikan langkahnya di separuh anak tangga, melirik jam kecil yang melingkar apik di tangan kirinya. Pukul setengah tujuh kurang sepuluh. Memang sih, kalau dirinya berangkat sendiri tak akan terlambat. Tapi mau naik apa? Naik sapu terbangnya harry potter?     

  "Mama cepetan mandi gih! Nanti Davira keburu telat." Gadis itu kembali melanjutkan langkahnya. Beberapa anak tangga ia tapakki dan kini saatnya anak tangga terakhir hingga membuatnya sudah berada di dasar tangga.    

  "Mama gak akan nganter kamu lagi sayang," jawab wanita tua itu sembari masuk ke dalam dapur. Sepasang bola mata Davira mengikuti setiap langkah yang dilakukan oleh mamanya.     

  Tunggu, apa maksud mamanya tadi dengan mengatakan bahwa beliau tak akan menghantar Davira ke sekolah lagi? Davira diterlantarkan sekarang? —Ah, ngawur! Pikirannya memang selalu saja kacau dengan segala analisa dan hipotesis bodohnya.    

  "Ada Arka," sambungnya sembari sedikit memutar tubuhnya. Davira menghentikan langkahnya yang ia arahkan untuk mengikuti mamanya. Tunggu, Arka?    

  Ia menoleh. Benar, Sial!     

  Si brengsek menyebalkan itu sudah duduk manis di atas kursi dengan sekat meja besar berisi jajaran makan pagi kesukaan Davira. Ada segelas susu di tangan kiri Arka. Membuat Davira cepat-cepat berlari ke arahnya.    

  "Dih, brengsek. Lo minum susu gue?!" pekiknya dengan nada meninggi. Merebut segelas susu yang ada di tangan remaja tampan ber-hoodie hitam itu.    

  "Susu lo masih ada, tuh!" katanya menunjuk Davira. Ah, tidak. Bukan Davira. Lebih tepatnya bangku kosong yang ada di belakangnya.     

  Ambigu? Sedikit. Lelucon receh remaja itu memang tak ada lucu-lucunya sedikit pun. Akan tetapi, lelucon yang tak lucu itulah yang membuat Davira selalu ingin dekat dengan sahabat masa kecilnya. Kata Davira, leluconnya memang receh, akan tetapi masih enak kok didenger sama telinga.    

  "Itu buat mama!" sahut Davira menggerutu.     

  "Mama udah kok, minum aja." Seorang wanita menyahut dari balik ambang pintu dapur. Membawakan dua piring nasi goreng hangat yang sengaja ia buatkan untuk Arka juga Davira.    

  "Wih, aroma nasinya enak banget." Arka menggeser sedikit tubuh Davira untuk memotret pemandangan yang lebih indah dari wajah cantik Davira Faranisa saat ini.    

  Sepiring nasi goreng telur dengan potongan sosis dan tomat serta timun di atasnya. Aromanya pun ... menggoda.    

  Davira menghela napasnya berat. Masih pagi, namun mood-nya sudah dibuat acak adul dengan kehadiran si brengsek gila ini. Sebenarnya sih, ia senang sebab ada Arka yang menemani sarapan pagi hari ini.    

  Fakta pertama dari seorang Davira Faranisa, si cantik yang labil.    

  Gadis itu menarik kursi kosong dan duduk di atasnya. Menunggu mamanya untuk datang meletakkan sepiring nasi goreng guna 'meladeninya' bak tuan putri di setiap pagi menjelang berangkat ke sekolah.    

  "Mulai sekarang Arka yang bakalan nganter kamu dan jemput kamu setiap harinya."    

  Davira mendongak. Sejenak ia melirik Arka yang masih fokus dengan nasi goreng hangat di depannya itu.    

  "Arka yang menawarkan diri. Bukan mama yang meminta." Wanita setengah tua itu melanjutkan. Tersenyum pada Arka kemudian mengusap puncak kepala remaja yang masih tak acuh dengan ekspresi mengerikan dari seorang Davira Faranisa.    

  Tunggu? Kok Arka yang dielus-elus, sih! Kan yang anak mama itu Davira!     

  Persetanan remaja brengsek itu!    

  ***LnP***    

  Setelah menyelesaikan makan pagi yang kiranya mereka habiskan setelah berselang 15 menit waktu berjalan, kini saatnya untuk moge besar milik Arka Arditya yang beraksi membelah padatnya jalan Kota Jakarta. Motor itu melaju sedang. Beberapa menit setelah menjauh dari kompleks perumahan Davira, Arka menambah sedikit laju motornya. Davira memang sempat mengumpati habis-habisan remaja ini setelah membuatnya terkejut dengan laju motor yang tiba-tiba dipercepat. Tertawa puas. Ya, hanya tertawa puaslah yang menjadi respon Arka untuk kemurkaan Davira kali ini.    

  Seperti biasanya, Davira memasukkan kedua tangannya di saku hoodie tebal milik Arka Aditnya. Sedikit mendekatkan tubuhnya pada Arka lalu meletakkan dagu lancipnya itu di atas pundak Arka.     

  Remaja itu tersenyum. Sumpah demi nenek baik penjual rawon di perempatan jalan depan sekolahnya, ia menyukai posisi seperti ini.    

  "Nanti turunin gue di perempatan depan aja." Davira menyela.     

  Arak bungkam. Tak memberi respon apapun atas pertanyaan Davira untuknya.    

  "Ka! Denger gak sih lo?" ulang Davira sembari memukul puncak helm remaja yang hanya fokus pada jalanan ramai di depannya.     

  Arka terkekeh kecil. Mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. Davira memang menyebalkan dengan sifat 'bar-bar' yang terkadang melewati batas wajar. Ia tak sopan terkadang, entah sopan itu ia gadaikan atau ia simpan untuk waktu-waktu tertentu saja atau bagaimana, yang jelas Davira itu akan menjadi sangat menyebalkan untuk mereka-mereka yang sudah dianggap si gadis adalah teman dekat yang membuatnya nyaman.    

  Perempatan yang dimaksud Davira sudah terlihat. Gadis itu menjauhkan tubuhnya dari Arka. Mengeluarkan kedua tangannya dari saku hoodie yang pria itu kenakan lalu merapikan bajunya yang sebenarnya sudah rapi. Sejenak ia melirik jalanan di depannnya.     

  Dan— Sial!    

  Arka melewati perempatan yang Davira maksudkan begitu saja. Membawa tubuhnya masuk ke dalam jalanan yang sudah dipenuhi oleh beberapa siswa dan siswi dadi SMA Amerta Bintari.     

  Davira memukul helm yang dikenakan oleh si remaja. "Woi! Pikun tiba-tiba?" Davira menyentak. Membuat Arka yang sedari tadi diam kini tertawa.     

  Sukses! Dirinya sukses mengerjai Davira Faranisa membuat si gadis menjadi bahan tonton separuh kaum hawa sesaat setelah motornya berbelok dan masuk ke dalam halaman SMA Amerta Bintari.    

  "Ka! Lo keterlaluan banget sih becandanya!" Davira mengerutu. Mencubit pinggang si remaja dan kini moge yang membawa tubuhnya masuk ke dalam kawasan penuh dengan ribuan pandang mata yang menatapnya aneh—Bagaimana tidak, semua akan heboh jikalau mereka melihat seorang Arka Aditya, si tampan anak basket teman Adam yang fans-nya tak kalah banyak dari si kapten itu datang bersama seorang gadis misterius yang tak pernah dikenal sebab Davira yang jarang keluar kelas dan bersosialisasi dengan orang banyak.     

  Dan sekarang ... mereka melihatnya!    

  Davira turun. Melirik tajam Arka yang masih mencoba memarkirkan motornya.    

  Brengsek gila si remaja jangkung satu itu. Membuat Davira tak henti-hentinya mengumpat kala ia melepas helm yang membukus rapi kepalanya.    

  "Sama-sama Davira," ucap Arka sesaat setelah mematikan mesin motornya.    

  "Brengsek, lo." Davira mengumpat singkat. Melempar helm yang mendapat tangkapan sukses tak meleset dari Arka.    

  Davira menghela napasnya berat. Menggengam kedua sisi tali tas ransel yang ada di punggungnya itu. Sejenak menunduk untuk meyakinkan dirinya bahwa tak akan ada gosip bodoh yang menyertakan namanya nanti.     

  Gadis itu kembali mendongak. Menatap lurus dan ... sial! Tatapan semua kaum hawa sebaya dengannya tertuju tajam untuk Davira. Gadis itu tersenyum kecut kala lensanya tak sengaja berpapasan dengan beberapa orang asing berseragam sama dengannya itu.    

  "Ngapain diem aja, ayok masuk." Arka menepuk pundak Davira. Melangkah cepat mendahului gadis itu.    

  Gadis itu mengejarnya. Meraih tas ransel hitam yang ada dalam gendongan pundak kanan Arka.     

  Davira sedikit meloncat dan menjitak kasar kepala remaja itu. Membuat si remaja sedikit terkejut sebab ia tak tahu jikalau Davira bisa melakukan hal se-bocah itu.     

  "Mampus gak lo!" katanya kemudian berlari mendahului Arka.     

  Arka tersenyum manis. Ikut berlari untuk mengejar Davira yang kini menuju lorong untuk masuk ke dalam kelasnya.     

  Awalnya gadis itu memang sedikit takut jikalau harus bertingkah konyol di depan semua kaum hawa yang menjadi fans Arka Aditya. Bukan apa-apa, hanya tak suka jika tiba-tiba ada yang mendatanginya lalu mengoceh tak jelas dengan puluhan kalimat tak berguna yang mau tak mau ia harus mendengarnya. Atau lebih parahnya lagi, jikalau ada yang datang dan dengan kelancangan penuh menarik rambut pekat Davira. Ya kalau hanya ditarik rasa sakit sedikit malu yang ia rasakan, kalau sampai kepalanya lepas bagaimana? 'Kan repot urusannya.    

  Namun, mendengarkan kata orang lain yang tak memberi manfaat besar dalam hidupnya bukanlah cara seorang Davira Faranisa menjalani hidupnya. Jadi, ia putuskan untuk 'membangkang' saja.    

  Dari jarak yang cukup jauh, seseorang menatap segala aktivitas kejar-mengejar yang dilakukan oleh Davira juga teman se-tim basketnya, Arka Aditya.     

  Remaja itu berdecak kasal. Sembari menyandarkan tubuh jangkungnya sisi pilar besar yang menyangga bagunan di atasnya itu, ia terkekeh kecil. Bukan, ia terkekeh bukan tingkah lucu yang membuat perut tergelitik. Namun, terkekeh dengan senyum picik kala melihat wajah bahagia yang terlukis samar di atas paras ayu seorang Davira Faranisa.    

  Ada Davira yang lain. Selain si gadis berseragam abu-abu yang jutek dan pendiam. Tak peduli pada lingkungannya, juga Davira si gadis cantik berpenampilan seksi juga anggun yang membuatnya elegen bersama polesan make up sedikit tebal yang menambah kesan ayu pada parasnya yang memang sudah ayu. Dan satu lagi, Davira si gadis konyol dengan tingkah ke-bocahannya.     

  Semua yang dilihatnya hari ini membuat Adam semakin yakin, bahwa Davira adalah gadis yang tepat untuk menjadi incarannya kali ini. Mungkin, dialah gadis yang akan ia targetkan untuk terakhir kalinya. Sebab dalam perasaan yang berkecambuk dalam diri Adam Liandra Kin, ada rasa ingin memiliki. Bukan hanya rasa suka dan tertarik untuk 'bermain' bersama gadis itu seperti semua gadis yang pernah ia dekati sebelumnya.    

  Yang terpenting untuknya saat ini adalah mencari sebuah peluang. Peluang? Ya. Sebuah peluang yang tepat untuk memulai bermain 'kejar-mengejar' bersama gadis itu.    

  ...To be Continued...


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.