LUDUS & PRAGMA

20. Anak Kecil Yang Dewasa



20. Anak Kecil Yang Dewasa

0  Berpisah dengan Adam memang menjadi hal yang paling diinginkan gadis itu ketika bersua tak sengaja dengan remaja brengsek berparas tampan itu sebelumnya. Sebab rasa tak nyamanlah yang membuatnya berpikir dan berasa demikian. Ia memang belum mengenal dan 'merasakan' bagaimana manis dan getir serta pahitnya menjalin hubungan asmara atau kedekatan dengan remaja itu sebelumnya, akan tetapi Davira sudah tak suka melihat peringai buruknya itu. Sebenarnya gadis itu sering melihat Adam bersua 'intim' dengan banyak gadis yang baru ia kenal selama masa orientasi siswa dilaksanakan. Awalnya gadis itu berpikir bahwa Adam memang tipe orang ekstrovert yang mudah bergaul dengan siapa saja tak memandang 'baju' juga tak pandang bulu. Hanya ingin akrab dan membentuk sebuah koneksi besar dalam lingkungan pertemanan masa-masa remaja SMA seperti layaknya teman yang lain. Namun, ia salah praduga. Adam itu brengsek dengan segala kalimat bualannya yang suka merayu dan memuji untuk meluluhkan hati gadis-gadis di sisinya. Jatuhnya bukan jadi 'sok akrab dan sok dekat' tapi terkesan menjadi playboy amatiran yang sedang melancarkan aksi bejatnya—memuji, berbual, dan mendekati lalu pergi setelah lelah bermain bersama targetnya.     
0

  Bukannya apa, setiap melihat peringai Adam yang suka bergonta-ganti pasangan meskipun hanya sekadar diajak jalan bersama tak tidur menghabiskan malam di satu ranjang dalam suasana panas yang menggaraihkan, mengingatkan Davira Faranisa pada satu pria dewasa yang tak kalah brengseknya yang ada di masa lalu gadis itu. Papanya.     

  --namun, perpisahannya dengan Adam kali ini lain. Rasa ibanya seakan masih tertinggal bersama remaja jangkung itu di bawah atap halte bus. Menyisakan banyak tanda tanya sebab ia tak menyempatkan waktu untuk mengintrogasi remaja itu. Davira tak ingin bertanya banyak, ia hanya ingin bertanya ... apakah sebagai seorang remaja, perasaan yang dirasakannya sama? Sama-sama se-rapuh dan se-hancur yang dirasakannya sebagai seorang gadis? Ataukah itu lebih melegakan sebab dirinya adalah seorang calon pria dewasa yang bisa menggantikan posisi papanya di masa depan jikalau pria itu benar-benar pergi bersama selingkuhannya? Atau mungkin ... perasaan itu lebih hancur dan lebih menyakitkan dari yang ia rasakan sebagai seorang gadis yang hanya bisa memendam perasaannya tanpa mau memberi sepatah kata untuk berkomentar perihal kisahnya? Entahlah. Davira hanya ingin menduga-duga saat ini. Dugaannya itu adalah, Adam tak brengsek. Hanya keadaannyalah yang memaksa remaja itu menjadi seorang remaja gila sedikit brengsek dengan segala peringai buruk dalam berhubungan bersama seorang gadis.     

  Bus yang ditumpangi gadis itu terhenti di sisi halte bus yang baru saja terpotret oleh sepasang lensa teduhnya. Beberapa orang masuk ke dalam. Memilih dan mengambil kursi kosong. Seorang anak laki-laki mendekatinya. Mengambil bangku kosong di sisinya. Davira melirik sejenak remaja dengan hoodie hijau tua dan satu earphone yang menyumbat kedua lubang telinganya. Di sisi tangan kanannya, ia menggenggam segelas plastik jus dan satu sedotan yang menancap di tengah mulut gelas.     

  Anak laki-laki itu menoleh padanya. Sejenak dua pasang lensa mereka bertemu dalam satu titik yang sama. Davira menahan napasnya sejenak. Menarik wajahnya sedikit kebelakang kala menyadari sesuatu yang tak asing untuknya dari anak laki-laki berseragam biru tua - putih itu. Wajahnya ... mirip seseorang!    

  Anak laki-laki itu tersenyum padanya dan senyum itu ... mirip senyum milik seseorang.    

  "Kakak, ada yang salah denganku?" tanya anak laki-laki itu padanya. Melepas satu sisi earphone yang menyumbat lubang telinga kirinya. Davira tersentak kemudian. Fokusnya menelisik setiap bagian wajah anak laki-laki itu buyar sudah.     

  Ia menggeleng. Mengerang ringan kemudian membuang tatapannya keluar jendela.    

  "Kakak baru pulang sekolah?" tanyannya lagi. Suaranya kali ini sedikit dipertegas. Membuat gadis yang tadinya tak acuh itu kembali menoleh.    

  "Hm, kamu juga?" balas gadis itu bertanya dengan nada ringan. Anak laki-laki di sisinya mengangguk antusias.     

  "Biasanya mama yang jemput, tapi hari ini mama sibuk," ucapnya menerangkan. Kali ini tangannya kembali terjulur untuk mencabut kepala earphone dari telingnya. Sedikit bergeser untuk membuat posisinya lebih nyaman lagi.    

  "Mama kamu kerja di mana?" Davira berbasa-basi.     

  "Sebenarnya mama hanya menyibukkan dirinya di butik. Karena beberapa minggu ini papa selalu pulang larut malam." Ia tersenyum miris. Sedikit menahan nada gemetar yang terdengar samar di bagian akhir kalimatnya.     

  Davira menyerongkan tubuhnya. Menyondongkannya ke depan lalu mencoba melirik name-tag yang menjadi indentias pelajar sekolah menengah pertama ini.    

  "Namaku Raffa," bebernya sesaat menyadari bahwa Davira mulai 'kepo' dengan identitasnya. Gadis itu mendongak. Sejenak menatap anak laki-laki yang duduk di sisinya sembari terus tersenyum ramah padanya. Sumpah demi apapun, senyum itu ... sangat mirip dengan seseroang!    

  "Kamu kelas berapa?"     

  "Tahun ini aku lulus," jawabnya singkat.    

  Davira kembali mengangguk-anggukkan kepalanya.     

  "Kalau kakak?"    

  "Tahun pertama di SMA," tukas gadis itu tersenyum simpul.     

  "Kayak kakakku." Remaja itu kembali melanjutkan dengan nada ringan sedikit santai miliknya. Lagi-lagi melirik Davira yang kini memberinya tatapan penuh makna.     

  "Kak Adam. Dia kakak yang hebat."    

  Deg! Benar 'kan! Wajah dan senyum itu sama dengan seseorang yang baru saja berpisah dengannya di halte dekat sekolah mereka. Meskipun tak 100 persen identik, namun bisa dikatakan bahwa semburat wajah tampan Adam ikut masuk ke dalam wajah yang tak kalah tampannya itu.     

  "Dia temen kakak," lanjut Davira mengaku. Jujur saja keraguan sedikit menyertai dalam dirinya setelah memberi pengakuan bahwa Adam Liandra Kin adalah temannya.     

  "Benarkah?"     

  Davira berdeham ringan. Mengangguk samar kemudian senyum merekah di atas bibir merah mudanya. Raffa menatap wajah cantik jelita yang tak kurang apapun itu. Ikut tersenyum dan ... terpesona!    

  "Dia kakak yang baik?"     

  "Sangat baik," akunya pada Davira.     

  Gadis itu mengatupkan kedua sisi bibirnya. Merubah arah sorot lensa teduhnya keluar jendela bus. Dalam benaknya kini berkecamuk mengenai satu pertanyaan besar, seperti apakah sosok Adam Liandra Kin itu yang sebenarnya?     

  Bukan, semua yang dilihatnya pastilah bukan sifat yang mengakar dalam diri remaja itu setelah Yang Maha Pencipta memutuskan untuk membuatnya lahir di dunia ini dengan penuh kesehatan, kesejahteraan, dan keselamatan tak kurang dan tak merugikan ibunya sesaat setelah tangisan pertama remaja itu terdengar sumbang menggema di ruang persalinan. Davira yakin sifat brengsek seseroang itu ada sebab tempaan keadaan yang memaksanya merubah pola pikir dan cara 'bermainnya' untuk menghadapi dunia yang kian kejam semakin detiknya ini.    

  Seperti dirinya, misalnya.     

  "Baiknya kayak apa?" Davira kembali bertanya. Menoleh pada Raffa yang baru saja ingin menyeruput jus dingin dalam gelas plastik yang ada di genggamannya.     

  "Ketika aku gak bisa ngerjain PR, Kak Adam selalu bantu dan nemenin begadang tugas. Kak Adam juga sering ngajak aku jalan-jalan," ucapnya menjelaskan singkat.    

  Davia terkekeh kecil. Baik yang sangat biasa!    

  "Kak Adam adalah papa kedua buat aku," lanjutnya lagi.     

  Kali ini Davira menoleh. Kata 'papa' menarik perhatiannya. "Papa kamu ...."    

  "Terkadang aku berharap kalau papa tak akan pulang lagi. Jadi aku bisa mengangkat dan mengakui Kak Adam sebagai papa aku." Raffa menunduk setelah selesai menyedot kasar jus dingin dan mengucapkan kalimatnya itu.     

  "Aku benci kalau papa sibuk. Melupakan mama dan kami di rumah." Raffa melanjutkan kalimatnya. Davira kini menatapnya sayu. Kalimat demi kalimat yang terlontar dari celah bibir anak laki-laki yang bahkan Davira Faranisa sendiri tak bisa menyangka bahwa ia—si anak laki-laki yang belum genap menginjak usia remaja— itu bisa berpikir demikian.    

  "Jangan membenci papamu hanya karena dia 'meninggalkanmu' sesaat." Davira membalas kalimat itu.     

  MUNAFIK! Persetanan memang batinnya saat ini! Menyuruh Davira untuk berempati pada anak laki-laki yang baru saja ia kenal beberapa saat lalu. Berusaha menghibur dengan melontarkan kalimat yang mengisyaratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja seiring dengan berjalannya waktu. Waktu pasti menyembuhkan segala luka, percayalah.     

  Percaya? Pada siapa? Waktu? Tidak! Gadis itu sendiripun tak bisa benar-benar mempercayai waktu sebab terkadang, waktu itu brengsek! Tak selalu memihaknya padahal ia ingin diberi satu kesemapatan untuk bisa mengulangi sebuah kejadian di masa lampau agar ia tak menyesalinya. Seperti, memaki papanya misalnya!    

  --dan waktu itu tak pernah menyembuhkan segala luka dalam bentuk apapun. Waktu hanya membantu kita lupa sejenak. Menghilangkan atau hanya sekadar menjauhkan luka dari pikiran dan hati kita sebab akan ada peristiwa baru di masa depan dengan berbagai macam 'kategori luka' yang siap menyerangmu kapan saja.    

  "Kenapa aku tak boleh membencinya? Sibuk membuatnya lupa bahwa dia juga harus menyayangi keluarganya." Raffa kembali menimpali dengan nada memprotes.     

  Gadis di sisinya terkekeh kecil. Menjulurkan tangannya kemudian mengusap perlahan puncak kepala anak laki-laki di sisinya itu. Senyum kaku terkesan dipaksakan terlukis jelas di atas paras cantik jelitanya. Membuat Raffa yang kini diam sembari menatap segala aktivitas 'ramah' milik Davira yang ditujukan untuknya itu dengan teliti. Ekspresi wajah cantik yang seusia dengan kakaknya itu ... berubah.    

  "Sebab kamu masih bisa melihatnya kalau dia pulang di keesokan harinya," imbuh gadis itu kemudian menurunkan tangannya. Ia meraih punggung tangan Raffa. Menepuknya perlahan dan untuk Raffa, itu sangat memenangkan jiwanya!    

  "Kamu bisa memeluknya kalau rindu sesaat setelah bertemu dengannya di pagi hari saat kalian menyambut waktu sarapan. Kamu bisa mengatakan bahwa kamu begitu merindukannya dan ingin berlibur bersamanya."    

  Raffa mengerutkan dahinya samar. "Kalau papa menolak?"    

  "Untuk anaknya, dia tak akan pernah bisa menolak apapun. Sebab ... dia menyayangimu di balik hatinya yang paling dalam." Davira lagi-lagi tersenyum simpul. Melepas genggamannya kemudian menatap lurus ke depan.    

  Bus yang membawa tubuhnya ini sebentar lagi akan sampai di depan halte yang berada tak jauh dari rumahnya, dan di halte itulah ia akan turun.     

  "Pria yang bekerja keras siang dan malam. Tak pernah mengeluh dan tak pernah menangis meskipun tubuhnya terluka, kau tau siapa itu?" Davira melanjutkan kalimatnya setelah hening sejenak membentang di antara keduanya.     

  "Seorang ayah," sambungnya mengimbuhkan.    

  Ah, Sial! Kapan mulutnya ini akan berhenti membual begini? Tujuannya memang baik, yaitu untuk menghibur anak laki-laki yang berusia satu tahun lebih tua darinya ini. Akan tetapi, jujur saja kalau dirinya sendiripun muak mendengar kalimat-kalimat hiperbola yang terus meloncat keluar dari celah bibir merah mudanya.    

  "Kalau papa-nya kakak? Dia bukan orang sibuk?" Raffa menimpali.     

  Davira diam sejenak. Mengangkat satu sisi bahunya kemudian tersenyum kuda. "Aku hanya ingin punya kakak laki-laki."     

  Raffa menyipitkan matanya. Jawaban itu ... sedikit aneh.    

  "Kau bilang punya kakak laki-laki itu menyenangkan bukan? Aku hanya ingin bersenang-senang," lanjutnya tak mengurangi sedikitpun senyum yang terlukis di atas paras ayunya.    

  "Cih, kakak bisa main ke rumah dan bertemu kak Adam kalau begitu."     

  Davira menoleh. Membulatkan matanya sejenak sesaat setelah kalimat itu disebut jelas oleh Raffa.     

  Tidak! Itu ide yang buruk!    

  ...To be Continued...


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.