LUDUS & PRAGMA

17. Selamat Datang Harapan!



17. Selamat Datang Harapan!

0  Pagi datang kembali menyapa dengan riangnya. Semburat awan tipis yang membatang di atas cakrawala bersama sinar sang surya tegas menyinari bumi seakan menegaskan bahwa hari ini semesta sedang baik-baik saja. Tak sedih bermuram durja dengan mendung kelam kelabu yang menutupi mentari untuk tersenyum menyambut pagi.     
0

  Riang tawa kini terdengar di kedua telinga Divara sesaat setelah memutuskan untuk keluar dari kelas dan mengikuti perintah ssng guru untuk mengambilkan satu lembar kertas berisi soal latihan yang harus ia dan teman-temannya santap habis tak bersisa hari ini.     

  Dengan berat hati, gadis itu pergi. Berjalan ringan menyusuri lorong demi lorong untuk sampai ke ruangan di mana semua anak brandal, kurang ajar, dan tak punya sopan-santun akan sedikit membungkuk sembari mendorong perlahan pintu kaca bersekat sedikit buram dengan senyum tipis yang diada-adakan supaya terlihat ramah dan sopan santun—budayanya orang Indonesia. Ruang guru. Bukan, ini bukan menyebut nama aplikasi yang sedang viral saat ini, tapi sedang mendeskripsikan sebuah ruangan utama yang selalu dibuat lebih luas dan lebih nyaman ketimbang ruang-ruang yang ada di lingkungan sekolah lainnya. Katakan saja seperti ruang kelas.    

  Davira memelankan langkahnya, sejenak memutar bola matanya malas kemudian mencoba mengingat interuksi dari sang guru sebelum ini. Meja paling pojok, di sisi kanannya ada sebuah vas bunga mawar merah dan setumpuk buku tugas dari kelas sebelah. Lalu, di atasnya ada secarik kertas berukuran A4 dengan beberapa tulisan diketik dengan menggunakan font rapi dan perataan kanan kiri yang dibuat sama. Itulah, tugas untuk kalian! Ambil dan bawa ke sini, Davira! Perintah guru itu pada Davira. Selesai mengingat, gadis itu masuk dengan mendorong perlahan pintu kaca di depannya. Benarkan? Sedikit menunduk sembari tersenyum ringan dan menyapa siapa saja yang pertama kali dilihat oleh sepasang lensa teduh milik gadis itu dengan sapaan dan sebutan yang monoton, kalau tidak 'selamat pagi pak' ya 'selamat pagi bu'.     

  Sukses Davira masuk tanpa halangan Apapun. Berjalan ringan dengan tak mengurangi tingkat kesopanannya. Gadis itu berhenti di depan sebuah meja. Baiklah, ini meja yang dimaksud oleh guru itu. Gadis itu melirik. Mengambil sebuah kertas kemudian memutar langkahnya untuk segera keluar dari ruangan mengerikan ini. Sungguh ia tak tahan harus memasang wajah ramah dan senyum simpul yang tak henti-hentinya gadis itu lukiskan sesaat setelah lensanya beradu dengan sepasang lensa indentik warna dan bentuknya milik guru-guru yang ada di sana.    

  "Eh, Nak!" Seseorang menyela langkahnya.    

  Persetanan! Davira terkejut sebab panggilan itu. Untung saja ia tak mengumpat 'kan? Ya. Untung saja.     

  "Kamu anak kelas 10?" tanyannya meneruskan. Gadis itu mengiyakan dengan mengangguk samar, dan lagi-lagi ... senyum palsu sedikit canggung ia lukiskan untuk menyambut kehadiran wanita tua seusia mamanya—mungkin— berjalan ke arah Davira Faranisa.     

  "Kamu bisa tolong berikan ini ke anak IPA-2?" Ia memohon. Tidak, sebenarnya memerintah. Sebab kalau Davira menolak, pasti ia akan kena ceramah habis-habisan oleh guru gendut dengan paras ya ... lumayan cantiklah.    

  "Iya bu," jawab gadis itu melirih. Menerima uluran tangan guru itu.    

  "Katakan saja ini buku tugas bahasa yang kemarin belum sempat saya koreksi," lanjutnya menjelaskan singkat.    

  Lah, bodo amat!-- tidak, itu hanya batin Davira yang mencoba memprotes saja. Mimik wajah dan tingkah gadis itu masih sopan, kok. Sebab sebodoh apapun Davira, ia tak akan pernah membiarkan namanya tercacat di data laporan pihak bimbingan konseling di sekolahnya sebagai anak pembangkang yang tak ada sopan santunnya.    

  Davira sedikit membungkuk untuk mengakhiri adegan tak terduga yang terjadi padanya baru saja. Kali ini langkahnya dipercepat. Segara ia ingin keluar dan menjauh dari ruangan ini, sebab satu titipan saja sudah merepotkan. Bagaimana kalau dua atau tiga? Ah, mending bolos saja, deh.    

  Gadis itu mendorong pintu kaca di depannya. Tanpa berpamitan, ia keluar dari ruang guru. Mempercepat langkahnya dan berbelok di ujung lorong. Ia menghela napasnya pelan. Mulutnya kini komat-kamit setelah tersadar bahwa ada setumpuk buku di dalam dekapannya. Ia menunduk. Melirik nama si pemilik buku di tumpukan Adam.     

  Sial! Adam Liandra Kin! Ya, itulah nama yang terucap lirih di bibir merah muda miliknya.    

  Gadis itu menghentikan sejenak langkah kakinya. Tubuhnya berputar dan lensanya mencoba menelisik setiap bagian lorong dengan harapan bahwa seseorang bisa membantunya dengan mengambil setumpuk buku sialan ini dan menggantikan posisinya. Dengan begitu, Davira tak perlu pergi ke kelas Adam. Akan tetapi, yang bisa ditangkap oleh sepasang lensa milik gadis itu hanyalah keadaan sepi lorong meningat ini adalah jam pembelajaran berlangsung.    

  Ia kembali melanjutkan langkahnya. Memang sih, kali ini sedikit ramai sebab ia melalui sisi lapangan rumput yang penuh dengan siswa dan siswi berseragam olahraga. Ya, jam pelajaran olahraga. Menyenangkan bagi mereka yang suka mengasah kemampuan fisik agar tetap dalam stamina yang cukup, tapi tidak untuk si mereka yang pemalas dan 'mageran' macam Davira Faranisa. Toh juga, ia tak akan meminta bantuan mereka. Sebab, tak ada yang terlihat menganggur sekarang ini.    

  Gadis itu memelankan langkahnya. Kemudian terhenti tepat di depan sisi pintu kelas IPA-2. Davira celingukkan. Entah mau memanggil siapa, sebab guru yang sedang ada di dalam pun masih sibuk memberikan materinya.     

  --dan akhirnya, gadis itu memberanikan diri. Mengetuk perlahan pintu kayu dan menampakkan tubuhnya di ambang pintu kemudian. Bak super star yang berjalan di atas karpet merah, semua mata tertuju padanya. Memang sih tak ada yang perlu dikhawatirkan sebab parasnya yang mendukung dan fisiknya yang menggoda. Jadi tak perlu malu kalau orang-orang akan menyebutnya si buruk rupa dari kelas sebelah!    

  "Ada perlu apa, nak?"     

  Davira membulatkan matanya sejenak. Melipat bibirnya ke dalam untuk mengusir 'demam panggung' yang sedang di rasakan sebab tatapan mata yang tak mau beralih darinya.    

  "Saya ingin menghantarkan ini untuk IPA-2, Bu," lirih gadis itu berucap kemudian.    

  "Dari guru bahasa." Davira melanjutkan.     

  "Biar saya ambil, Bu." Suara berat kini menginterupsi di balik ketenangan yang ada.     

  Suara itu ... Davira sedikit tak asing.     

  "Oh, iya Adam. Ambil saja."     

  Benar 'kan! Tak asing.     

  Kini remaja jangkung itu bangkit dari kursinya. Davira sedikit mengintip. Ah, pantas saja tubuh jangkung nan atletis miliknya tak terlihat kala Davira berdiri di ambang pintu. Adam memilih tempat duduk di paling belakang pojok bersama satu lagi remaja dengan wajah tak asing untuk Davira. Sama-sama dari tim basket. Jika Davira mengenal baik Arka, juga sekeadar tahu wajah dan nama Adam Liandra Kin, pasti yang itu tak lain tak bukan adalah Candra. Ya, Candra. Si tampan tapi tak seksi dengan potongan rambut cepak ala tentara.    

  Davira memundurkan langkahnya. Hilang dari ambang pintu dan berdiri di sisi tembok bangunan kelas.    

  "Hai, kamu." Sapa seseorang pada Davira. Gadis menoleh. Dia, Adam Liandra Kin.    

  Remaja itu kini berdiri di depan Davira. Sejenak melirik tumpukan buku yang ada dalam dekapan gadis itu.     

  "Itu buat aku 'kan?" tanyannya sembari tersenyum tipis. Davira menganggukkan kepalanya. Sigap menyodorkan setumpuk buku yang ada dalam dekapannya kepada Adam. Remaja itu meraihnya. Perlahan, namun ia merasakannnya.     

  Jari jemarinya menyentuh lembut permukaan kulit Davira. Dingin, ya tubuh gadis itu sedikit dingin seperti sifatnya pada Adam. Mungkinkah Davira sedang demam?    

  "Aku pergi," katanya singkat untuk berpamitan. Adam mencegah kepergian gadis itu. Menarik pergelangan tangannya sembari sesekali berdecak pada Davira. Adam marah dan kesal? Tidak. Ia hanya sedikit tak sabar menghadapi sifat dingin seorang Davira Faranisa kali ini.    

  "Kamu ada pelajaran 'kan? Jadi gak usah—"    

  "Makasih," sahut Adam memotong kalimat Davira. Gadis itu menyipitkan matanya. Mencoba meneliti segala ekspresi yang dilukiskan remaja itu di atas wajah tampannya. Davira hanya ingin memastikan bahwa Adam tak sedang berbual padanya saat ini.    

  "Buat kemarin malam, makasih." Remaja itu mengulangi kalimatnya. Sedikit menambahkan kalimat penjelas untuk membantu gadis itu menyimpulkan, bahwa Adam ... tulus mengatakannya.     

  "Hm," erang gadis itu kemudian. Tak menjawabanya? Tidak, Davira sudah menjawab dan memberi respon untuk kalimat yang terlontar dari bibir lawan bicaranya itu, akan tetapi responnya sangat singat dan lirih.    

  "Udah?" lanjut Davira dengan nada malas. Ia mengangkat satu sisi tangan dengan selembar kertas yang ada dalam genggamannya seakan ingin menunjukkannya pada Adam dan memberi isyarat pada remaja itu bahwa dirinya sedang sibuk saat ini. Jadi, ia ingin Adam mengerti bahwa ... PLEASE DEH, DAM! GAK USAH SOK AKRAB!    

  "Kamu masih gak mau jadi temen aku?"     

  Davira diam. Bungkam tak bersuara adalah aktivitasnya saat ini. Gadis itu menurunkan tangannya yang sempat terjulur, menatap Adam dengan tatapan teduh.     

  "Ya udah deh, kita—"    

  "Akan aku pikirkan," sahut Davira kemudian. Adam diam sembari membulatkan kedua matanya. Sepasang alis garisnya terangkat. Sejenak tersenyum tipis kemudian kembali pada ekspresi datar 'sok cool' miliknya itu.     

  "Jadi kamu ...."    

  "Aku bilang aku akan memikirkannya. Gak usah Ge-er deh!" katanya ketus. Memutar tubuhnya dan melangkah pergi dari hadapan Adam. Remaja itu menatap segala langkah rapi yang diambil oleh gadis yang sekarang berbelok di ujung lorong dan hilang sesaat pintu kelas menelannya masuk ke dalam.    

  Sungguh demi apapun, Adam benar-benar bahagia saat ini. Seperti mendapat rejeki nomplok dan melihat lampu hijau di depan mata bersinar terang. Menandakan bahwa hubungannya dengan Davira bisa dimulai sepelas ini.     

  Bukan hubungan seperti layaknya sepasang kekasih, kau tahu. Hanya seperti seorang teman baru kepada teman baru lainnya. Tapi, siapa sangka kalau teman baru bisa menjadi kekasih baru 'kan nantinya? Berjuang saja. Pasal berhasil atau tidaknya, bisa dipaksakan pada takdir nantinya.     

  ***LnP***    

  Adam kembali masuk ke dalam kelas dan duduk di bangkunya. Sejenak melirik Kayla yang ikut menatapnya aneh. Ah, dari awal gadis itu tak menyukai kehadiran Davira di hidup Adam Liandra Kin. Jadi bisa dipastikan bahwa Kayla sedang cemburu dan curiga pada Adam saat ini.    

  Adam kembali memusatkan tatapannya ke depan. Entah apa yang sedang ditulis dan diterangkan oleh guru itu padanya. Akan tetapi, apapun itu Adam hanya ingin tersenyum dan terus tersenyum tanpa henti setelah kalimat singkat itu terucap dari seorang Davira Faranisa.     

  --dan senyum itu, mengundang simpati dari gadis yang duduk jauh darinya, Kayla Jovanka. Gadis itu terus saja menoleh ke belakang untuk menatap ekspresi aneh yang terlukis di wajah remaja idamannya itu. Seperti sebuah ekspresi kebahagiaan setelah memenangkan sesuatu, hati seorang gadis misalnya.    

  "Kayla, jawab pertanyaan ibu!" Sentakan suara sang guru membuyarkan fokusnya. Semua orang menantapnya secara bersamaan. Begitu juga Adam yang sedari tadi hanya terfokus dengan tulisan di atas kertas miliknya kini menatap Kayla penuh makna.    

  "Kenapa kamu ngeliatin Adam terus?" tanyannya lagi. Semua anak bersorak padanya.    

  "Karena saya ganteng, Bu." Adam menyahut. Sorak sorai semakin tegas terdengar.     

  Kayla berdecak, persetanan! Memang brengsek Adam itu!    

  ...To be Continued...


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.