LUDUS & PRAGMA

16. Keluarga Aneh Ludus.



16. Keluarga Aneh Ludus.

0  Remaja itu memarkirkan motornya di dalam bagasi. Longgar, sebab mobil papanya tak ada malam ini. Pria dewasa berkumis rata itu tak pulang lagi hari ini? Baiklah, Adam mulai mengerti saat ini. Papanya, brengsek!    
0

  Remaja jangkung itu berjalan masuk melalui pintu belakang. Mendorong perlahan pintu kayu agar tak menimbulkan suara decitan yang mengganggu. Memang sih, larut belum datang menyapa akan tetapi tak sopan jikalau ia mengganggu mama dan adiknya yang sedang beristirahat malam ini.    

  Adam menekan tombol lampu dapur. Meletakkan kasar jaket tebal yang ia kenakan di atas meja makan kemudian berjalan dengan langkah santai menuju kulkas. Mengambil sebotol air putih dingin dan meneguknya kasar.     

  Jujur saja, pikirannya masih tertinggal di depan rumah gadis itu. Membayangkan segala peringai buruk yang baru saja diperlihatkan gadis berwajah cantik itu untuk membela. Parasnya memang cantik, senyumnya manis meluluhkan hati, dan pendiam adalah sikap utama yang ditunjukkan seorang Davira Faranisa padanya. Namun siapa sangka jikalau iblis adalah sisi mengerikan yang disembunyikan oleh si gadis itu dibalik paras jelita dan sikap diam tak acuhnya.     

  --yang menjadi pertanyaan Adam Liandra Kin saat ini adalah, kenapa gadis itu bisa begitu? Maksud Adam ... memiliki peringai aneh yang lebih tepat jikalau disebut bahwa gadis itu sedang mengidap gangguan jiwa bernama bipolar. Atau lebih mengerikan lagi kalau gadis itu adalah seorang pasien pengidap Dissociative Indentity Disorder atau orang awam menyebutnya sebagai orang yang memiliki kepribadian ganda.     

  Adam menggelengkan kepalanya. Tidak! Gadis cantik itu tak gila! Ia waras, hanya saja akhlaknya perlu sedikit diperbaiki --kalau orang jaman sekarang sih bilangnya, dasar gadis gak ada akhlak!    

  "Kak, baru balik?" tukas seseorang menyela tegukan kasar Adam.     

  Remaja itu menoleh. Memutar tubuhnya kemudian berdeham ringan. Meletakkan sebotol air putih di atas meja makan.    

  "Papa gak balik?" tanya Adam melanjutkan.     

  "Gak tau," jawabnya sembari ikut duduk di depan meja makan. Membuka tudung saji dan mengambil piring kosong di dalamnya. Ia melirik Adam, kemudian tersenyum aneh dan meraih satu lagi piring kosong dengan sepasang alat makan untuk diberikan pada kakaknya itu.    

  "Mama udah tidur, kita makan berdua aja," tegurnya kala Adam hanya diam mematung.     

  Baiklah, adik semata wayangnya ini sangat aneh malam ini. Seperti orang yang sudah berada di ujung ajalnya lalu berperingai baik kepada orang lain. Hush! Ngawur! Remaja itu hanya ... ingin berbicara berdua dengan kakaknya.    

  Oh ya, kalian belum kenalan dengan si adik tampan berusia belia ini 'kan?     

  Kenalkan, namanya Raffardhan Mahariputra Kin. Anak kedua sekaligus anggota keluarga termuda di dalam lingkup keluarga kin. Dia adalah adik satu-satunya bagi seorang Adam. Usianya satu tahun lebih muda dari Adam. Paras dan fisiknya? Hei! Tidak ada fisik cacat atau buruk rupa di rumah mewah ini kau tahu? Semuanya sempurna.     

  Jika Adam adalah remaja tampan nan mempesona dengan rambut belah tengah yang jatuh di kedua sisi alis garis hitam legamnya dengan fisik tak kurang apapun, Raffa—begitu orang-orang memangilnya— juga tak jauh berbeda dari 'abangnya' itu.    

  Raffa masih muda memang, namun fisiknya sudah bisa dibilang sempurna, meskipun tak sesempurna kakaknya itu. Parasnya pun tak perlu diperdebatkan lagi, sungguh-sungguh tampan!     

  Kalian mau tau satu fakta mengejutkan?! Wajah Adam dan Raffa itu kembar! Wow bukan? Ya, sangat wow! Wajah mereka hampir identik jikalau saja Adam tak ada lesung pipi di sisi pipi tirusnya itu. Sepasang kelopak mata Raffa lebih lebar jikalau dibandingkan dengan Adam. Tatapan remaja itu pun lebih teduh dan bersahabat jikalau dibandingkan dengan tatapan kakaknya, Adam yang terkesan tajam bak elang membidik mangsanya dan penuh dengan karisma yang meluluhkan. Selebihnya? Sama persis!     

  Jadi jikalau kalian tak dekat dengan keduanya dan hanya melihat Adam maupun Raffa sekilas padang saja, maka kalian akan menganggap bahwa mereka adalah satu orang dengan dua nama yang berbeda. Jadi ingatlah, Adam dan Raffa itu berwajah identik!    

  Sudah bisa membayangkan bagaimana dua karya cipta Yang Maha Kuasa sama identik paras tampan dan fisiknya berada dalam satu rumah? Jika sudah, katakan apa yang ada dalam pikiran kalian! Wow! Mengesankan—itulah jawaban segelintir orang-orang penyuka remaja tampan berfisik mumpuni.    

  "Papa gak telepon rumah?" tanya Adam lirih sembari meraih secentong nasi yang disodorkan Raffa padanya.    

  "Enggak tau juga." Remaja itu menjawab dengan nada tak acuh, mirip dengan nada bicara Davira Faranisa.    

  "Terus?" Adam kembali meneruskan pertanyaannya yang lebih mirip sebagai kalimat pemecah keheningan di antara keduanya.     

  "Aku ada PR. Bantu kerjain," katanya dengan nada datar sedatar ekspresi wajahnya saat ini.    

  Adam sedikit mengangkat wajahnya. Menatap adik semata wayangnya itu kemudian mencondongkan badannya ke depan dan menjulurkan tangannya. Mengacak kasar puncak kepala Raffa hingga membuatnya mendengus kesal.    

  "Bayarannya apa?" kekehnya bergurau.     

  Arka menyeringai. "Kak Kayla tadi dateng," sahutnya acak. Sedikit keluar dari topik pembicaraan? Mungkin.    

  Adam mengangkat kedua sisi alisnya sejenak. Membulatkan matanya sembari menunggu si adik untuk meneruskan kalimatnya itu.     

  "Dia ngasih buku catetannya yang katanya buat kakak. Katanya juga, kakak belum nyatet materi hari ini. Jadi dibela-belain dateng."     

  Bingo! Raffa menjelaskan dengan nada datar dan ekspresi malasnya. Jujur saja, remaja itu sedikit tak suka jikalau ada teman perempuan kakaknya datang ke rumah dengan dahlil pembelaan hanyalah untuk menghantar tugas atau sekadar ingin belajar bersama.     

  Toh, memangnya di dalam kelas mereka hanya ada remaja bernama Adam Liandra Kin? Oh, tentu tidak! Gadis-gadis itu datang hanya untuk sekadar melihat dan 'mampir nongkrong' di rumah calon pacarnya.     

  "Informasi itu bayarannya," pungkas Raffa lagi-lagi dengan nada ketus.     

  Adam kini tertawa ringan. Tak marah dengan sikap dingin dan segala ketidaksopanan Raffa dalam menjawab pertanyaannya? Tidak. Sebab Adam sudah hapal dengan sifat adik semata wayangnya itu.    

  "Oke, kakak bantuin nanti," jawab Adam di sela-sela tawa ringannya.     

  Raffa kini tersenyum. Memandangi sejenak paras tampan milik kakaknya yang membuat dirinya seperti sedang berkaca saat ini. Lagi-lagi hanya senyum kecut tanpa ada kalimat apapun yang menyertainya. Bagi Raffa, Adam itu juga terkadang sama brengsek dan menyebalkannya seperti papa mereka berdua, akan tetapi jikalau disuruh memilih Raffa akan memilih Adam ketimbang papanya.    

  "Papa mau nyekolahin aku di luar negeri, kak." Raffa tiba-tiba kembali menyela. Adam yang baru saja ingin melahap sesendok nasi dengan lauk ayam tepung kesukaannya itu terhenti. Diletakkannya sendok juga garpu kembali di atas piring.     

  "Kapan papa bilang gitu?"    

  Raffa mengabaikan. Hanya mengembangkan senyum tipis kemudian memudar seiring dengan sesuap nasi yang masuk ke dalam mulutnya.    

  "Terus kamu nolak?" tanya Adam pelan.     

  Raffa mengangguk samar. Kali ini matanya berbinar. Seakan mencoba menahan air mata yang ingin turun membasahi pipinya. Remaja itu tak ingin menangis sekarang ini, sungguh. Ia tak ingin terlihat cengeng di depan kakak semata wayangnya ini. Hanya pasal sekolah dia menangis? Ya, sebab dipindahkan jauh dari mamanya adalah hal yang paling menyakitkan dan menyesakkan di dada seorang Raffardhan Mahariputra Kin.    

  "Ke mana, Malaysia?" Adam kembali bertanya.     

  Arka menggeleng. "Singapura," jawabnya singkat.    

  "Nanti aku coba bicara sama papa. Biar dia juga—"    

  "Papa selingkuh ya kak?" Raffa kembali menyela. Ditatapnya Adam dengan penuh kegelisahan.     

  Raffa tak bodoh, meskipun usianya belum benar menginjak masa remaja namun ia sudah bisa menyimpulkan banyak hal.    

  Mamanya beberapa hari ini selalu saja menyambut malam dengan penuh rasa kesepian. Memandangi jendela kamarnya sembari menggenggam segelas anggur merah di tangan kanannya. Sesekali wanita tua berbadan ramping yang bisa dikatakan masih 'ayu' di usianya yang sudah menginjak kepala lima itu, mendesah ringan. Menghela napasnya berat sembari mencoba mengusir kegelisahan. Tidur di ranjang empuk berukuran besar seorang diri dan bangun bersama seorang pria berkumis tipis yang sudah apik berbalut baju tidur yang dibelikan istrinya beberapa tahun lalu—bisa dikatakan jikalau Nyonya Kin tak pernah tau jam berapa suaminya pulang dari kantor, yang jelas saat wanita itu bangun, suaminya sudah mendekapnya erat di atas ranjang.     

  Juga, papanya selalu terlambat pulang ke rumah beberapa minggu ini. Ketika Raffa bertanya hanya untuk mengusir kecurigaannya pada sang ramanda, pria itu selalu saja menjawab dengan alasan yang sama. "Papa sibuk banget, nak. Ada projek dan klien baru yang terus saja minta janji temu. Jadi, maafin papa ya ... kapan-kapan papa janji, deh kita akan liburan bareng!"    

  Bual! Bohong! Dusta! Alasan yang monoton bahkan untuk diucapkan oleh seorang pengusaha ternama di Kota Jakarta itu. Otaknya saja yang pintar berbisnis, tapi mulutnya tak pandai berdusta dan beralasan!    

  "Papa cuma banyak kerjaan aja, jadi papa pulangnya agak—"    

  "Kakak tau 'kan?" Raffa kembali menyela Adam.     

  Remaja itu bungkam sesaat. Menatap adiknya itu penuh ketulusan. Baiklah, untuk apa dia berbohong lagi saat ini?     

  Adam mengangguk. "Aku yakin mama juga merasakan itu," katanya melirih.     

  "Kakak pernah ketemu sama orang itu?"     

  Kali ini .. Adam menggeleng. Untuk yang satu ini ia ingin dusta. Cukup sampai di sini Raffa ikut campur ke dalam 'masalah orang dewasa' sebab dirinya pun juga ingin begitu.    

  Pertemuannya dengan si wanita brengsek berbaju minim yang juga sudah menampar Davira tadi adalah pertemuan yang tak teduga sekaligus pertemuan yang ia sesali. Adam tak ingin melihat wajahnya lagi. Bahkan, jika papanya akan lebih memilih wanita itu suatu saat nanti, Adam tak akan pernah menganggapnya ada.     

  Wanita itu murahan! Harga dirinya hanya ia jual seharga dengan lipstik merah muda bermerk, gaun minim berkain halus, dan sepasang sepatu indah yang dibeli di pusatnya fashion dunia. Mungkin saja, mahkota kewanitannya juga hanya seharga mobil mewah yang ia tumpangi untuk menemui Adam beberapa waktu lalu? Mungkin. Tak ada yang tahu sampai sejauh apa papanya 'bermain' bersama wanita jalang itu.    

  "Kakak ingin kamu fokus ke sekolah kamu, Raffa. Jangan mikirin masalah ini."    

  Raffa lagi-lagi menyeringai. "Aku juga ingin kakak fokus ke sekolah kakak dan jangan mikirin masalah ini," tukasnya melunak.     

  Deg! Adiknya sudah pandai bermain kata-kata untuk memutar balikkan keadaan saat ini. Siapa yang mengajari? Keadaan.     

  Adam yakin keadaan rumitlah yang membuat adik berubah menjadi remaja tertutup yang ketus kalau diajak berbicara. Tak pernah menampilkan wajah sumringah juga lukisan senyum yang minim tercipta di atas paras tampannya. Ya, sebab keadaan!     

  Ah, Adam akhirnya menyadari sesuatu yang sedari tadi mengganjal dalam benaknya. Bagaimana Davira Faranisa bisa bersikap seperti itu padanya? Menganggap bahwa semua remaja laki-laki yang ada di sekitarnya adalah remaja brengsek tak tahu diri.    

  Jawabannya hanya satu .... Ya, sebab keadaan!    

  ...To be Continued...


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.