LUDUS & PRAGMA

27. Seatap tak Saling Tatap.



27. Seatap tak Saling Tatap.

0  Suasana tenang nan damai kini dirasakan oleh remaja jangkung berparas tampan dengan fisik mumpuni yang lebih patut disebut sebagai fisik seorang model pria papan atas ketimbang sebagai salah satu pelajar di sekolah menengah atas. Remaja itu memarkirkan moge besar yang sudah menemaninya menyusuri jalanan Kota Jakarta itu di sisi garasi mobil yang terlihat penuh sebab mobil mewah milik papa kini terpakir rapi berada di dalam garasi.     
0

  Adam melepas helm yang ia kenakan. Menatap mobil bersih mengkilap yang samar memantulkan bayangan tubuh jangkungnya. Dalam benaknya kini terbesit satu pertanyaan besar yang mungkin akan segera mendapat jawaban kalau-kalau ia segera memutuskan berjalan dan masuk ke dalam rumah. Pertanyaan yang sedang berkecamuk dalam dirinya adalah mengenai keberadaan papanya saat ini. Papanya pulang? Mungkin. Atau ia hanya datang dan memulangkan mobilnya lalu kembali pergi begitu saja tanpa menitipkan pesan atau menyapa dirinya juga adik semata wayangnya, Raffa? Entahlah. Papanya itu pria dewasa yang tergolong sibuk. Hanya menjadikan rumah utama yang dibangunnya susah payah bersama sang istri sebagai sebuah tempat singgah tak lama, sebab ia hanya kembali menyambangi rumah ini kala larut datang menutup hari lalu pergi lagi saat sang surya menampakkan wajah riangnya. Tak banyak bersua untuk menghabiskan waktu dengan semua penghuni rumah ini. Bak orang asing yang sama-sama tercantum dalam satu kertas panjang dengan judul 'Kartu Keluarga', keluarga Adam bukanlah keluarga bahagia sejahtera nan sentosa yang bisa kapan saja bercanda ria dan bergurau sembari duduk bersantai di atas sofa besar depan televisi yang menyala.     

  Papanya sibuk, sangat sibuk! Bahkan di akhir pekanmu, pria dewasa sedikit tambun itu masih berkutit di dalam kesibukannya. Entah apa yang ia urusi. Pekerjaan dengan dokumen baru yang harus segera di sahkan, atau sekretaris cantik yang selalu minta dibawa kepenghulu. Tak ada yang tau, bahkan mama Adam sendiripun.    

  Adam berjalan santai. Mendorong pintu belakang rumahnya dan berjalan masuk melalui ambang pintu yang terbuka. Tak mau banyak 'mampir' di setiap sudut rumahnya, ia berjalan tegas menuju ruang makan untuk mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi sebab suara sedikit riuh kini jelas memenuhi lubang telinganya.     

  --dan itu ... papanya! Pria itu kini berpakaian serba santai dengan kaos abu polos tipis dan celana pendek kain membalut rapi tubuh sedikit tambun miliknya. Tak ada kemeja berdasi dan jas mahal serta satu jam tangan kecil yang tak kalah mahal harganya yang selalu dikenakan oleh pria identik mata dengannya itu. Penampilannya sekarang ini terbilang sederhana dan membuatnya yakin bahwa tak akan ada kata kantor, meeting, dan klien menghias di setiap kalimat yang diucapkan oleh suara berat pria dewasa itu.    

  Inilah papa yang patut disebut sebagai pria dewasa pengayom keluarga.    

  Adam kembali melanjutkan langkahnya. Kini suara tawa kecil terdengar saling bersahutan satu sama lain. Dari jarak yang semakin dekat dengan posisi ketiga anggota keluarganya, Adam mulai bisa memotret dengan jelas wajah bahagia yang tergambar di atas paras jelita—meskipun tak secantik Davira Faranisa, mengingat paras ayu milik mamanya sudah mulai habis terkuras oleh usia yang semakin hari semakin tua saja— milik mamanya. Raffa juga terlihat sesekali tertawa ringan nan singkat di sela aktivitas makannya. Tak tanggung-tanggung dalam menatap kedua wajah orang tuanya, Adam kini menyela. Berdiri di belakang Raffa dan mencuri perhatian mamanya yang kini berposisi saling tatap dengannya.    

  Tawa mamanya tersela. Berubah menjadi senyum hangat untuk menyambut kedatangan anak pertamanya itu. "Kamu udah pulang, sayang?" tanyanya berbasa-basi. Adam mengangguk ringan. Pertanyaan yang dilontarkan mamanya itu kini sukses mencuri perhatian papanya juga Raffa yang serentak menoleh bersamaan.     

  "Loh, Adam. Dari mana kamu, nak?" Papanya menyahut kemudian. Menepuk-nepuk bangku kosong yang ada di sisinya untuk memberi isyarat pada Adam agar lekas datang dan mengambil kursi kemudian duduk rapi di sisinya.    

  Adam tak menghiraukan. Memilih memutar langkah untuk menuju ke bangku kosong di sisi mamanya. Remaja itu duduk. Tak mau berhadapan dengan papanya, ia mengambil kursi di sisi kiri mamanya. Membuat Adam kini duduk berhadapan dengan Raffa.    

  Keluarga mereka memang hanya berjumlah empat, namun yang membuat Adam heran sampai sekarang, mengapa papanya membeli meja makan besar yang muat diisi dengan delapan orang sekaligus? Papa ingin menambah momongan bersama mamanya ? Atau, papa ingin menambah istri kemudian membuatnya dan Raffa memiliki dua adik tiri? Brengsek kalau memang begitu!    

  "Adam dari mana malam-malam begini baru balik?" tanya papanya mengulang.     

  Remaja itu menoleh. Alih-alih menatap papanya, sorot kedua lensa tajam miliknya kini menatap setumpuk jeruk segar yang memenuhi mangkok kaca di tengah meja makan.     

  "Adam udah biasa kok pah pulang jam segini." Mamanya menyahut. Kala tersadar Adam hanya mengabaikan papanya.    

  "Adam gak makan?" Mamanya kini merubah fokus sekaligus objek yang diajak berbicara olenya.     

  Adam menggeleng tegas. "Tadi Adam udah diajak makan waktu main ke rumah temen," jawabnya sembari mengupas satu demi satu kulit jeruk yang ada di dalam genggamannya.    

  "Temen siapa?" gumama papanya menyela. Adam menatap pria itu. Hingga saling menatap kini menjadi aktivitas barunya bersama sang papa.     

  "Davira," sahutnya singkat. Ekspresi wajah papanya yang hanya tersenyum ringan sembari mengangguk-anggukkan kepalanya itu membuat Adam Liandra Kin muak! Sebab, dibalik wajah 'biasa saja' dan senyum serta kekehan puas bersama mama juga adiknya yang ditunjukkan olehnya seakan tak ada beban rahasia yang sedang dipikulnya saat ini.     

  Hingga membuat Adam patut menarik kesimpulan bahwa papanya ini penuh dengan kepalsuan. Ia setuju dengan cara Davira menganggap bahwa papanya telah tiada, sebab dengan cara begitu ... Adam akan merasa lebih lega jikalau papanya benar-benar akan pergi meninggalkannya bersama mama juga adik semata wayangnya dan memilih hidup barunya bersama perempuan brengsek tak ada harga dirinya itu.    

  "Temen baru?" tanya mamanya lagi.    

  Adam kembali mengangguk. "Temen beda kelas," sahutnya mempersingkat.    

  Adam menghela napasnya setelah menyelesaikan kalimat sekaligus aktivitasnya mengupas buah jeruk. Kini tegas kedua sorot matanya menatap paras tampan dengan berewok merata di seluruh dagu dan sedikut menyebar di bahwa lehernya itu.     

  "Papa jadi nyekolahin Raffa ke luar negeri?" ucapnya tiba-tiba. Seluruh pasang mata yang ada di ruangan itu memberi tatapan singkatnya pada Adam. Seakan tak pernah mengira Adam akan bertanya demikian.    

  "Mungkin papa akan—"    

  "Gak perlu. Adam bisa ngurus Raffa kalau papa mau pergi ke luar negeri," selanya dengan tegas. Memotong kalimat papanya yang terdengar lirih sebab ia tak mau membuka dengan benar kedua sisi bibirnya.    

  "Sekolahin Raffa di tempat Adam sekolah aja, Pa," pintanya kemudian. Memasukkan satu potong jeruk ke dalam mulutnya.    

  Papanya diam. Juga mama dan Raffa yang masih menunggu jawaban pasti dari kepala keluarga yang 100 persen menanggung semua keperluan yang mereka butuhkan.     

  "Baiklah, papa akan memikirkannya nanti," tukas pria dewasa itu kemudian.     

  "Gak usah dipikirkan, Pa. Karena memang gak perlu dipikirin." Adam menyahut dengan nada tak acuh. Kini bangkit sembari mengemasi potongan jeruk yang sudah ia letakkan di atas piring. Mendorong kasar kursi yang sedari tadi menopang tubuhnya hingga terdengar bunyi decitan yang nyaring memekak di telinga.    

  "Adam masuk ke kamar dulu," lanjutnya kemudian. Membawa piring berisi beberapa potong buah jeruk dan berlalu begitu saja. Tanpa mau menunggu respon dari kedua orang tuanya juga Raffa yang kini hanya diam bungkam sembari saling menatap satu sama lain. Sikap Adam, aneh.    

  Ya, bisa dikatakan bahwa remaja itu sukses jikalau misinya kali ini adalah menghancurkan suasana makan malam yang penuh canda tawa serta kehangatan sebab ayahanda tercinta sudah pulang ke rumah. Namun, jikalau tujuan Adam hanya ingin menyela dan mengatakan pada papanya tak perlu repot-repot mengirim Raffa ke luar negeri lalu pergi tanpa merusak apapun, dengan tegas dikatakan bahwa Adam gagal!    

  ***LnP***    

  Remaja itu menapakki satu persatu anak tangga untuk bisa sampai ke depan kamarnya. Tanpa mau menghiraukan mamanya yang berteriak padanya untuk tak lupa mengembalikan piring kotor itu ke tempat cucian. Remaja itu tak bergeming sedikit pun. Terus menatap lurus dan mempertegas langkahnya.    

  Ia mendorong pintu kayu yang ada di depannya setelah sukses menyurusi setiap petak ubin yang menjadi alas pijakannya itu. Remaja itu masuk ke dalam kamar. Menutup pintunya rapat kemudian meletakkan kasar piring kaca yang ada dalam genggamannya itu di atas meja sisi ranjangnya.    

  Ia kini duduk di sudut ruangan tepat di depan meja belajarnya. Menyalakan rampu kemudian meraih buku gambar yang sudah ia habiskan setengahnya.     

  Ada satu bakat terpendam yang dimiliki seorang Adam Liandra Kin selain merayu dan membual pada gadis-gadis cantik yang ia temui. Bakat itu adalah melukis. Bisa dikatakan Adam itu memiliki jiwa seni yang diturunkan oleh mamanya yang merupakan mantan seninam di masa mudanya. Sedang bakat merayu dan membual yang ia miliki diwarisakan oleh sang papa, mungkin.    

  Ia membuka lembar demi lembar buku gambar pribadi miliknya. Setiap halaman yang ia balik sudah terisi dengan lukisan wajah gadis yang lain tak sama identitasnya. Ada si teman lama yang merupakan teman sekelasnya dulu. Ada si gadis yang merupakan kenalan barunya di sosial media dan beberapa wajah gadis yang pernah ia dekati dan mendekatinya, digambar dengan indah di atas kertas miliknya itu. Semacam ingin mengabadikan tanpa bersua foto, begitulah alasannya melungkan waktu hanya untuk melukis wajah-wajah gadis cantik itu.    

  Adam sampai di halaman kosong. Mengangkat pensilnya dan niat hati ingin melukiskan wajah baru yang tak kalah cantiknya di sana. Namun, ia menghentikan aktivitasnya. Bukan ragu, akan tetapi sebuah pemikiran nekat kini terbesit di dalam kepalanya. Remaja itu menarik seluruh kertas yang sudah berisi lukisan paras ayu seorang gadis hingga membuat kertas-kertas itu lepas dari tempatnya.     

  Ia meremas satu persatu kertas yang sudah lepas dari tempatnya kemudian membuat bola-bola kertas lalu melemparkannya ke dalam tong sampah. Menyisakan satu lembar kertas berlukiskan wajah cantik jelita yang terlihat anggun dengan mata sipitnya, wajah itu milik Kayla Jovanka.    

  Bisa dikatakan bahwa saat ini Adam sedang membuang semua kenangannya bersama gadis-gadis cantik nan bertubuh seksi. Menyisakan satu lukisan wajah yang masih ingin disimpannya, lukisan wajah milik Kayla Jovanka dan kini ia mulai menambah satu lagi lukisan wajah baru di atas kertas menggunakan pensil kesayangannya itu.     

  Setiap goresan kasar ujung pensil runcing yang menggores permukaan putih bersih kertas gambar miliknya kini mulai menciptakan lukisan wajah yang jelas bisa ditebak siapa pemiliknya. Matanya bulat, bibirnya kecil nan mungil serta pipinya sedikit cubby. Helai demi helai rambut sedikit ikal tergerai menghias di sisi wajah ayu yang dilukiskan olehnya.     

  --dan lukisan wajah itu ... milik Davira Faranisa.    

  ...To be Continued...


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.