LUDUS & PRAGMA

32. Aku Juga Mencintainya!



32. Aku Juga Mencintainya!

0  Malam tiba. Menyisakan kerikan suara jangkrik yang kini saling bersautan untuk menjadi melodi pemecah keheningan malam. Adam yang baru saja menyelesaikan mandinya itu, kini bergegas meraih kaos polos tak bermotif untuk membalut dan menutupi perut kotak-kotak khas idaman para kaum hawa miliknya itu.     
0

  Tubuh jangkungnya kini jatuh ambruk di atas ranjang king size miliknya. Kedua sorot matanya kini tajam menatap langit-langit kamarnya dengan cahaya remang sebab lampu utama baru saja ia matikan. Adam tak belajar, sebab besok tak ada pekerjaan rumah atau pelajaran yang membebani pikirannya. Remaja jangkung itu tipe orang yang pandai dan berotak? Tidak. Adam bukanlah remaja tampan dengan kepintaran luar biasa yang menambah kesan sempurna dalam anugerah yang diberikan semesta untuknya. Adam hanyalah remaja biasa yang kadang brandal, kadang juga baik berhati mulia. Untuk tingkat kecerdasan, remaja itu bisa dikatakan hidup di ambang rata-rata. Jika dibilang paling pintar, tentu saja tidak. Apalagi kalau dibilang paling bodoh, tentu saja juga tidak.     

  "Kak?" Suara lirih seseorang terdengar sesaat pintu samar diketuk. Adam bangkit dari posisinya. Turun dari ranjang dan berjalan ke arah pintu kayu yang masih tertutup rapat.     

  Tangannya sigap menekan tombol lampu untuk menyalakan lampu utama dan membuat kamarnya terang benderang saat ini. Ia memutar gagang pintu. Menariknya ke depan untuk memberi celah agar bisa mengetahui siapa tamu yang datang dan menyambangi kamar pribadinya malam-malam begini.     

  Siapa lagi memangnya kalau bukan Raffa? Remaja yang satu tahun lebih muda dari Adam itu kini sudah berdiri sembari mematung di tempatnya dengan setumpuk buku tulis dan buku tebal serta beberapa alat tulis dalam dekapannya.    

  "Ngapain kamu—"    

  "Ajarin PR aku!" katanya menyeru. Masuk menerobos tanpa permisi ke dalam kamar kakaknya.     

  Adam memutar tubuhnya seriring dengan langkah Raffa yang kini jelas menuju ke pojok ruangan kemudian menarik kursi kayu dan menyalakan lampu belajar milik Adam.     

  "Mama udah tidur?"     

  "Papa gak balik lagi." Raffa menjawab dengan kalimat sedikit melenceng. Sebab yang ditanyai Adam adalah keadaan mamanya, bukan keberadaan papanya. Toh juga, tak aneh jikalau papanya jam segini belum pulang dengan dahlil alasan bahwa kantor bukan tempat yang mudah ditinggal pergi begitu saja lalu mengatakan bahwa apa yang belum selesai hari ini, maka selesaikan besok saja sebab larut sudah datang menyapa.     

  Papanya selalu menegaskan pada Adam juga Raffa bahwa menjadi seorang pria dewasa itu tak mudah. Kemewahan dan segala fasilitas yang dirasa dan dimiliki keduanya tak akan datang dengan sendirinya tanpa ada jerih payah dan keringat serta usaha yang keluar dari papanya. Awalnya Adam mengerti, yang dimaksud papanya perihal menjadi pria dewasa tak mudah sebab tuntutan keluarga yang juga tak mudah untuk ditangani.     

  Akan tetapi lama kelamaan ia berubah pikiran. Urusan keluarga memang banyak dan menumpuk seiring bertambahnya waktu, namun namanya keluarga adalah menyelesaikan semuanya bersama secara terbuka 'kan? Saling mengerti dan memahami satu sama lain. Cukup mudah dan sederhana jikalau dipikirkan, namun sedikit sulit memang kalau dilakukan. Namun jika bisa melakukannya, maka tak akan ada lagi kata 'sulit' yang tersisip setelah kata urusan diucapkan. Bagi Adam urusan yang sulit diselesaikan ketika seorang laki-laki tumbuh menjadi pria dewasa tanpa bekal kepribadian yang baik adalah menahan napsunya. Sebab, godaan terbesar bukanlah harta atau tahta. Melainkan, seorang wanita.    

  "Kakak ngerti Aljabar?"     

  Adam diam. Berjalan mendekat ke arah Raffa kemudian mengambil satu bangku kecil dan duduk di sisi meja belajar yang kini penuh dengan buku pelajaran milik adiknya itu.    

  "Kamu mau belajar apa?" tanya Adam kemudian.    

  "Matematika," sahutnya lirih. Diliriknya sejenak wajah Adam yang berubah ekspresi setelah menatap buku bertuliskan sejarah dan bahasa inggris juga ikut dibawa oleh adik semata wayangnya ini.    

  "Bahasa Inggris juga?"    

  Remaja identik wajah dengannya itu hanya diam. Ikut memberi sorot matanya mengarah pada buku tak terlalu tebal yang kini diambil oleh kakak beda usia satu tahun dengannya itu.    

  "Ada PR juga?" tanyannya kemudian.    

  Raffa menoleh. Menggeleng samar kemudian memberi tatapan aneh pada Adam.     

  "Cuma mau belajar aja. Kenapa memangnya?"    

  "Semua ini? Matematika, sejarah, Bahasa Ing—"    

  "Kenapa memangnya?" sahut Raffa kembali bertanya kala Adam hanya mengabaikan pertanyaan darinya dan terus saja memfokuskan tatapannya pada buku yang ada dalam genggamannya saat ini.    

  "Kamu gak akan pernah bisa melahap semuanya sekaligus. Fokus pada satu, dan pelajari lebih dalam." Remaja itu kini menatap adiknya dengan tatapan teduh. Mengembangkan senyumnya singkat kemudian menepuk pundak Raffa perlahan.     

  "Maksud kakak?"     

  "Pelajari apa yang kamu sukai. Jangan memaksakan hal-hal aneh dan asing untuk masuk ke dalam hidup kamu padahal kamu gak suka itu." Adam terkekeh. Meletakkan buku yang ada dalam genggamannya itu di atas meja. Kemudian menarik buku tugas yang ada di depan Raffa untuk ia lihat isinya.     

  Sesuai dugaan, buku itu masih kosong! Tak ada jawaban sedikitpun dari remaja itu. Sebab dalam ingatan Adam, adiknya ini tak suka dengan apa itu matematika. Ia lemah dan payah dalam berhitung, tapi pandai bersajak dan berbicara wasis dalam bahasa asing. Bisa dikatakan minat dan bakat adiknya ini ada di bidang bahasa bukan menghitung dan melogika rentetan angka gila.    

  "Kamu berusaha jawab ini karena papa yang nyuruh?" tanya Adam kembali menatap Raffa. Remaja yang menjadi lawan bicaranya itu kini mengangguk ragu. Diam sejenak kemudian mendesah kasar pada akhirnya.    

  Adam tertawa kecil nan singkat. Mengelus kasar puncak kepala Raffa kemudian menoleh dan menatap ranjang empuk yang sudah sedikit berantakan sebab dirinya baru saja berbaring di atas sana.    

  "Tunggu aja sambil baca buku. Aku kerjain ini," katanya memerintah.     

  Raffa tersenyum kuda. Tanpa membantah ia bangkit dan berjalan ke arah ranjang. Meloncat kasar dan merebahkan tubuhnya di sana.     

  Adam menggelengkan samar kepalanya. Baiklah, sifat adiknya ini sedikit mirip dengannya. Adam tak suka jikalau harus diperintah-perintah tak jelas tujuannya oleh si papa yang terus saja memaksanya pandai dalam berhitung untuk meneruskan bisnisnya dalam bersaham dan mengelola perusahaan. Adam tak suka jikalau harus disuruh bangun pagi dan berkemeja rapi serta berdasi juga menyapa klien di pagi hari tanpa jeda napas saat menjelaskan presentasi pekerjaannya di kantor. Ia lebih suka hidup bebas. Tak terikat pada siapapun dan apapun. Seperti pekerjaan kantoran yang mengharuskannya bangun pagi dan pulang larut malam juga seperti terikat pada sebuah hubungan pasti bersama seorang wanita.    

  Adam suka kebebasan dan dirinya yakin bahwa semua orang juga meninginkan hal yang sama. Alih-alih menurut dan menerima kehendak papanya, ia lebih suka membangkang untuk menentukan hidupnya sendiri.     

  --dan hasil dari membangkangnya itulah, Raffa terkena imbasnya. Dialah yang menjadi sasaran si papa untuk meneruskan karirnya di dunia saham dan properti. Mengatur urusan kantor, mungkin juga urusan mantan wanita-wanita simpannya! Untuk itu, Raffa dipaksa pandai semua mata pelajaran berbau hitung dan logika yang bertolak belakang dengan minat remaja itu sebenarnya.    

  Adam mulai mengambil pena. Menghitung angka demi angka, rumus demi rumus hitungan yang masih melekat kuat dalam ingatannya. Pena itu kini menari-nari indah di atas kertas. Tak ada obrolan selanjutnya hanya hening membentang di antara keduanya. Adam larut dalam fokusnya untuk menyelesaikan lima soal yang tak tiada habis angka dan rumusnya ini. Sedangkan Raffa, ia memilih diam sembari memusatkan tatapannya pada buku berbahasa asing dalam genggamannya.     

  Setengah jam berlalu tanpa mereka sadari.Adam berhasil menyelesaikan semua soal yang ada dalam buku di depannya. Ia bangkit. Memijit pundaknya yang sedikit pegal sebab syaraf dalam lehernya terasa begitu tegang saat ini.     

  "Kakak udah selesai?" tanya Raffa menyela    

  Adam menoleh. Mengangguk sembari berdeham ringan kemudian. "Tinggal salin saja. Tulisan aku jelek," katanya menyahut. Berjalan mendekat ke arah Raffa yang juga ikut bangkit dan turun dari ranjang.     

  Remaja itu kini duduk kembali di atas kursi kayu yang akan menyangga tubuhnya saat mulai menyalin semua tulisan Adam.     

  "Segitu sukanya kamu sama Bahasa Inggris?"     

  "Yes!" katanya tegas. Tercengir kuda kemudian memusatkan tatapannya pada rentetan angka asing di depannya.    

  "Kakak bilang aku harus memperlajari apa yang aku sukai saja 'kan?" Raffa tiba-tiba kembali memulai percakapan. Membuat remaja yang tadinya baru ingin membaringkan tubuhnya itu kembali bangkit dan menatap adiknya.    

  "Ajari aku bagaimana cara mempelajari watak seorang gadis," imbuhnya kemudian.    

  Adam membulatkan matanya. Baiklah, adiknya sangat aneh kali ini.    

  "Gadis? Kamu suka sama temen sekelas kamu?" tanya Adam antusias. Ia ingat, bahwa Raffa bukanlah tipe laki-laki brengsek sepertinya yang suka mengencani banyak gadis di usianya yang masih terbilang sangat muda.    

  "Hanya seorang kenalan yang gak sengaja ketemu," lirihnya menjawab.    

  "Kamu ketemu cewek asing di jalan dan langsung suka?" tanya Adam dengan nada yang lebih antusias lagi.    

  Raffa mengangguk ragu. "Dua kali dan aku hanya tertarik aja. Gak sampek—"    

  "Kejar," kata Adam menyahut. Raffa kini menoleh. Menatap abangnya yang tersenyum aneh untuk kata singkatnya barusan.    

  "Aku juga suka sama seorang cewek. Dia tipe—"    

  "Kak Kayla?" sahut Raffa merubah raut wajahnya malas.     

  Adam terkekeh kecil nan singkat. "Bukan. Beda lagi," katanya mempertegas.    

  Raffa menyipitkan matanya. Tampan dan baik hati sih kakaknya ini, namun sifatnya brengsek seperti papanya!    

  "Dia cewek dingin pertama yang pernah aku temui. Ibarat pelajaran, dia itu matematika. Sulit dipelajari dan tak bisa asal ditebak." Adam tersenyum simpul seakan sedang membayangkan wajah cantik Davira Faranisa. Mengabaikan sejenak Raffa yang jelas memberi tatapan aneh padanya.    

  "Kalau cewek yang aku temui itu ibarat pelajaran, dia adalah Bahasa Inggris. Untuk orang yang tak bisa memahami itu akan sulit dan membosankan, tapi untuk orang yang menyukainya, itu menyenangkan dan begitu menarik serta nyaman dipelajari." Raffa ikut mengibaratkan. Membuat kakaknya itu terkekeh kecil sembari sejenak memprotes adik semata wayangnya itu.    

  "Kamu 'kan emang suka Bahasa Inggris!"     

  "Aku juga suka cewek itu," sahut Raffa tersenyum simpul di bagian akhir kalimatnya. Kemudian kembali memfokuskan tatapannya pada rentetan angka yang ada di depannya.     

  Siapa sangka semesta sedang bergurau dengan memberikan satu fakta mengejutkan bahwa kakak beradik satu darah dan satu orang tua serta tinggal dalam satu atap ini sedang menyukai dan mengidam-diamkan satu gadis yang sama. Yaitu Davira Faranisa.    

  ...To be Continued...


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.