LUDUS & PRAGMA

28. Hari Cerah Yang Menyedihkan.



28. Hari Cerah Yang Menyedihkan.

0  Pagi datang riang menghangatkan bumi dan seluruh isinya. Kicuan burung sudah sirna setelah surya tegas menyorotkan sinarnya tanda pagi berembun dengan hawa dingin sudah tak lagi dapat dirasakan sebab jarum jam sudah menunjuk ke angka enam lebihnya beberapa menit. Sebentar lagi bel sekolah pasti berbunyi nyaring meningat Davira juga Arka datang sedikit lambat sebab jalanan padat tak seperti biasanya. Membuat moge yang membawa tubuh keduanya menyusuri jalanan mau tak mau harus memutar dan mengambil jalan lain sebab jalan utama yang mereka lewati di tutup pagi ini. Tak perlu banyak tanya mengenai penutupan jalan. Sudah pasti janur kuning yang melengkung memandakan bahwa hari bahagia sedang menimpa dua pasangan naik ke atas pelaminan dan menjemput malam pertama yang indah nan menggairahkan nantinya.     
0

  Davira mempercepat langkahnya. Ia sadar, sebab ada satu pekerjaan rumah yang belum sempat di selesaikan malam kemarin. Alasannya tak lain tak bukan adalah sebab kedatangan Adam yang terkesan tiba-tiba. Membuat gadis itu mau tak mau harus 'melayani' tamunya itu terlebih dulu.     

  Adam memang tak pulang larut malam dari rumahnya, namun setelah mengusir Adam kemarin dan memutuskan untuk masuk ke dalam rumah dan mengunci diri di dalam kamar, Davira tak bisa benar-benar mengambil alih lagi fokusnya yang sempat tersita sebab kalimat pengakuan dari seorang Adam Liandra Kin perihal perasaannya pada Davira Faranisa.    

  Remaja brengsek itu mengaku dengan tegas tak ada keraguan dan celah kesalahannya dalam berucap dengan mengatakan bahwa ia menaruh rasa dan harapan penuh pada dirinya. Mengabaikan dan memaafkan segala bentuk ketidak sopanan Davira dan semua sikap dingin tak acuh yang ditunjukkan gadis itu dalam menanggapi kehadiran Adam. Bisa dikatakan Adam menerima Davira apa adanya. Bukan menyinggung pasal fisik kali ini, namun pasal peringai buruk yang membuat Adam masih mengira-ngira, bagaimana Davira yang sebenarnya? Gadis baik 'kah? Atau gadis buruk bertopeng yang menyembunyikan segala kejahatannya di balik topeng wajah cantiknya itu? Entah. Adam sendiri pun tak ingin menarik kesimpulan apapun saat ini.    

  Gadis itu terus melangkah. Mengabaikan Arka yang kini kalang kabut sebab langkah cepat yang terkesan tiba di ambil oleh gadis itu dan mendahuluinya.     

  "Ra? Lo keburu-buru tuh kenapa?!" pekik Arka mencoba menyela langkah gadis yang kini sesekali melirik jarum jam yang melingkar apik di tangan kirinya.    

  "Gue belum ngerjain PR!" katanya ketus. Masih dengan sorot mata yang tajam membidik jalanan di depannya.     

  Arka terkekeh. "Tumben."     

  Gadis itu menoleh. Menjitak kepala remaja yang baru saja menertawainya itu. Toh juga bukan salah Arka yang tertawa lepas untuk memberi cemooh pada gadis itu 'kan? Salah Davira sendiri tak mau mengerjakan tugasnya lebih awal.     

  "Dih, Ra!" dengus Arka kesal. Gadis itu memang sedikit 'bar-bar' dengan segala tingkahnya yang tak acuh. Tak seperti gadis-gadis cantik lainnya yang selalu menjaga 'image' agar tetap terlihat anggun dan berwibawa di depan para remaja sebaya untuk menarik perhatiannya. Davira lain, paras cantik dan tubuh mumpuni tak akan menjadi alasan untuknya bisa berlaku 'sok sopan' di depan lawan bicaranya. Bagi Davira, ya beginilah dia! Sedikit kurang ajar dan kadang menyebalkan.     

  "PR apa?" Arka kembali membuka suara beratnya.     

  "Matematika," jawabnya singkat. Bebelok di ujung lorong dengan langkah yang sedikit di perlambat iramanya. Arka mengekori. Membulatkan matanya sejenak kemudian menarik gadis itu untuk berhenti sejenak.    

  "Ngawur lo, Ra! Habis ini 'kan—"    

  "Makanya jangan narik gue, bego!" sahutnya menyela dan kembali melangkah setelah sejenak terhenti sebab Arka menarik sisi bahunya.    

  "Davira! Arka!" Seseorang menyeru nama keduanya. Membuat Arka menoleh dan menghentikannya langkahnya untuk menatap gadis yang kini berlari dengan wajah sumringah dan senyum kuda terlukis jelas di atas paras cantiknya. Bodohnya, Davira ikut terhenti!    

  "G--gue ... gue mm--mau—"    

  "Napas dulu, Dav," sahut Arka sembari menepuk-nepuk ringan punggung gadis yang kini membungkuk dengan kedua tangan yang kokoh memegangi kedua lulutnya.    

  Davira berjalan mendekat. Jika dilihat dari perubahan ekspresi dan usaha teman sekelasnya itu, pastilah hal yang mendorong Davina berani menyela langkahnya adalah sesuatu yang bisa dikatakan penting dan sangat mendesak. Seperti pengumuman libur panjang, misalnya.    

  "Gue mau ngasih tiket ke Davira," lanjut setelah sukses mengatur napasnya.     

  Gadis yang disebut namanya itu hanya diam sembari tegas mengernyitkan dahinya. Samar kedua sisi matanya berkerut. Tiket apa? Tiket itu 'kah yang membuat gadis ini teriak-teriak bak orang kesetanan di pagi hari?    

  "Tiket gratis dari tim official buat nonton first time-nya Adam tanding!" katanya antusias. Ia berbicara dengan nada mengebu-gebu. Sedikit menggoyangkan kedua tangannya sebab gemas melanda dalam dirinya. Davira diam. Tak ada ekspresi 'wow' yang ditunjukkan oleh gadis itu untuk merepson kalimat dari Davina.    

  "Lo kok gitu, Ra?" Gadis itu manyun. Sesekali merengek pada gadis yang kini kembali memutar langkahnya dan kembali berjalan untuk segera sampai ke ruang kelasnya.     

  "Ra!" Davina kembali mencegah.    

  "Buat, Lo. Gratis!" katanya lagi. Sembari sedikit memohon agar Davira mau datang dan menemani dirinya.     

  "Gue udah bela-belain promosiin lo buat dapet tiket gratis dan temenin gue nonton basket, tapi lo—"    

  "Ya udah gue terima." Davira menyahut secarik kertas yang ada dalam genggaman Davina. Sembari menatap malas gadis yang kini merubah raut wajahnya kembali berseri-seri.    

  "Puas? Sekarang gue mau ke kelas. Gue belum—"    

  KRING! KRING! KRING! Kalimat Davira terputus saat bel sekolah nyaring memekak di telinganya. Ia mendegus kesal. Sialan memang! Hari ini, semua orang nampak sialan dengan sikap egois mereka yang merugikan Davira. Seperti yang dilakukan Arka dan Davina saat ini, misalnya.     

  ***LnP***    

  Semua yang riuh diam seketika setelah langkah kaki bercelana panjang hitam yang dipadukan kemeja batik bukan seragam guru-guru di sekolahnya itu jelas memasukki ruangan. Pria gempal dengan beberapa buku tebal dalam dekapannya itu kini sejenak memusatkan tatapan sembari menelisik setiap bangku yang ada di depannya. Tak ada yang kosong, artinya pagi ini ia tak harus mengoceh untuk bertanya ini itu sebab ada siswa yang absen dari tugas mulianya.     

  Penampilan guru itu membuat Davira samar menyeringai. Hari ini memang habis rabu, namun batik bukan seragam yang tepat sebab putih dan abu-lah peraturannya. Entah terlalu banyak tugas yang menghantuinya atau masalah rumah tangga yang menumpuk tiada habisnya hingga membuat otak dan pemikiran guru itu sedikit melenceng. Kemeja batik berlengan panjang dengan celana bewarna pekat seperti sepatunya. Tatanan rambut rapi nan klimis serta wajah bersih dengan kumis tipis menyebar di bawah hidungnya. Bukan ingin mengajar, namun penampilan guru itu layaknya pelayan yang menghantar makanan dan minuman untuk menyuguhkan tamu yang datang di sebuah acara kondangan.    

  "Buka PR-nya kita bahasa sekarang!" katanya tegas. Tak ada salam tak ada sapaan. Sebab itulah sifat guru matematika satu ini.     

  Davira diam. Mampus saja kali ini! Lembarnya masih kosong. Tak berisi coretan apapun. Arka meliriknya. Gadis ini tak berekspresi apapun.    

  "Siapa yang belum meng—" Belum sempat guru itu menyelesaikan kalimatnya, gadis itu mengangkat sembari mengacungkan jarinya. Percaya diri meskipun ia sedang melakukan kesalahan saat ini. Ada alasan mengapa Davira tak ingin menunggu gurunya itu menyelesaikan kalimatnya, sebab Davira juga tak bisa terus menatap penampilan aneh si guru yang membuat matanya jenuh. Gadis itu berpikir kalau halaman luas dengan angin pagi dan sorot sinar sang surya mungkin bisa me-refresh otak dan matanya saat ini.    

  "Davira? Kamu tidak mengerjakan tugas saya?"     

  Gadis itu mengangguk sembari tersenyum kuda. Arka yang duduk di sampingnya ikut tertawa lirih. Sahabat kecilnya ini sangat aneh.     

  "Kamu pilih berdiri di pojok kelas atau lari me—"    

  "Lari mengintari lapangan sebanyak soal yang ditugaskan," sahut gadis itu dengan lancar. Ia sudah hapal dengan kalimat pembuka yang selalu dilontarkan si guru sebelum tugas benar-benar diberikan untuk mengakhiri pertemuan mereka.     

  Guru itu mengangguk. "Keluar!" pekiknya tegas.     

  Davira bangkit dari kursinya. Mendorong tubuh Arka untuk segera minggir dan memberinya celah.    

  "Ingat, 10 putaran!"     

  Davira mengangguk. Baiklah, mari berolahraga!    

  ***LnP***    

  Sang bayu memang tegas membelai permukaan kulit putih susunya. Membawa helai demi helai rambutnya bergerak seiring dengan langkah kaki yang tegas menyusuri setiap sisi untuk mencapai sudut demi sudut lapangan rumput yang ia lalui. Terhitung angka ketiga jikalau Davira bisa menyelesaikan larinya kali ini. Mengabaikan beberapa sorot mata yang jelas tertuju padanya. Mungkin, dalam benak mereka bertanya-tanya. Olahraga macam apa yang tak mengharuskan orangnya untuk memakai pakaian olahraga? Masa bodoh! Itulah sifat yang mengakar dalam diri seorang Davira Faranisa.    

  "Baru lima?" Seseorang menyelanya. Ikut berlari dan terus mencoba untuk mengimbangi langkah yang diambil oleh gadis itu.     

  Davira menoleh. Suaranya, tak asing.    

  "Empat belum genap," jawabnya sembari terengah-engah. Remaja di sisinya terkekeh.    

  "Gue baru satu belum genap," sahutnya di sela kekehannya.     

  Davira menghentikan langkahnya tiba-tiba. Menatap remaja yang mau tak mau juga dipaksa untuk berhenti.     

  "Lo juga dihukum? Kenapa?"    

  "Gue bilang gue juga gak ngerjain PR," sahutnya singkat. Kembali berlari kecil meninggalkan Davira. Gadis itu mengekori.    

  "Ka!" tegasnya memanggil.    

  Arka menoleh. "Lo bego!"     

  "Lo yang lebih bego, ngapain pakek ikut-ikutan segala?" protes gadis itu kemudian.    

  "Karena gue punya temen bego, jadi gue ketularan bego!" ledeknya sembari mengacak kasar puncak rambut Davira Faranisa.     

  Gadis itu mendegus kesal. Mencoba menjauhkan tubuhnya dari Arka Aditya. Menjulurkan tangannya kemudian menjitak kasar kepala remaja itu. Memukul punggungnya kasar kemudian mempercepat larinya untuk meninggalkan Arka sesaat setelah menjulurkan lidahnya.    

  Davira tertawa lepas bersama langkahnya yang kian jelas menyusuri sisi lapangan. Arka mengejar. Ikut tertawa sembari mencoba meraih tubuh gadis yang kini mengajaknya bermain kejar mengejar itu. Mereka bahagia. Mengabaikan lelah dan letih serta gerah sebab hawa panas yang masuk ke dalam tubuh mereka.    

  Dari jauh, seseorang menatap keduanya. Sorot lensanya tajam dengan raut wajah yang tak suka seakan ingin memprotes tingkah manis nan mesra sedikit kekanak-kanakan yang dilakukan keduanya. Remaja itu mendegus dan sesekali menghela napasnya kasar. Yang tadinya diam sembari memasukkan salah satu tangan ke dalam saku celana abu-nya itu kini mulai berbalik dengan hati kesal belum sempat terobati.    

  Ia ingin pergi dan kembali masuk ke dalam dalam kelasnya. Melupakan atau hanya sekadar pura-pura tak melihat adegan barusan tadi. Mengatakan pada dirinya sendiri bahwa semua yang ia lihat hanyalah ilusi semata. Tak benar dan tak nyata!    

  Namun, ia kembali memutar tubuh jangkungnya itu. Lagi-lagi memberi tatapan tajam sembari menggertakkan giginya. Marah, sangat marah! Kecewa, amat sangat kecewa! Arka selalu saja mengambil kesempatannya bisa benar-benar dekat dengan Davira Faranisa.    

  "Sialan!" umpat Adam pada akhirnya. Menutup kalimat dan segala kekesalan yang ia rasakan pagi ini.     

  ...To Be Continued...


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.