LUDUS & PRAGMA

30. Selamat Sore dan Berbahagialah!



30. Selamat Sore dan Berbahagialah!

0  Tatapannya sayu menatap detik demi detik jarum jam yang berputar menyusuri angka demi angka yang akan segera menyentuh ke angka empat. Sore tiba. Menyisakan lelah dan letih, serta penat ingin segera kembali ke rumah tercinta dan bersantai tak lagi memikirkan kata dan rumus serta angka berteori yang gilanya minta ampun! Davira tersenyum setelah samar bibirnya berhitung untuk menyertai setiap gerak jarum jam menyusuri angka-angka di sekelilingnya itu.     
0

  --dan inilah waktunya!     

  Kring!!! Kring!!! Kring!!!    

  Bingo! Hitungan yang tepat tak meleset sedikitpun. Bukan hanya dirinya yang sekarang ini mengembuskan napas lega tentunya. Banyak, hampir semua mengembangkan senyum bahagia seakan telah lolos dari jeratan belengu penjajah! Oke, berlebihan. Bahkan ada beberapa dari temannya yang bersorak ria sembari mengebrak meja untuk mendadakan bahwa hari telah usia. Waktunya 'melepas seragam' dan hidup sebagai remaja biasa bukan pelajar yang harus menjaga tata krama memenuhi aturan sekolah yang ada.    

  "Baiklah! Jangan lupa kerjakan PR kalian!" perintah wanita tua berkerudung cokelat muda yang kini ikut mengemasi barang-barangnya. Jangan salah, meskipun beliau adalah guru di sini, namun siapa sangka jikalau hatinya juga sedang bersorak sorai untuk merayakan jam kepulangan setelah seharian melaksanakan tugas negara yang tiada habisnya itu.    

  Para murid serentak menjawab. Riuh dan gaduh terdengar samar sesaat setelah sang guru melangkah pergi tanpa mau meninggalkan salam perpisahan yang berarti. Bahkan, ucap salam penutup pun tidak!    

  Davira mengemasi barang-barangnya. Menarik jaket hitam polos yang ada di dalam lokernya. Bangku di sisinya kosong, sebab Arka tak ada untuk mendudukkinya saat ini. Remaja itu menuliskan surat ijin resmi yang disahkan di atas meja guru BK menandakan bahwa ijinnya kali ini atas dasar keperluan penting bukan hanya semata-mata pergi sebab bosan dan jenuh melanda. Sebelum pergi dan mengemasi tas ransel hitam khas ala-ala remaja metropolitan miliknya itu, Arka berpamitan pada Davira bahwa ia akan segera mengasah bakatnya untuk bertanding di medan perang satu minggu lagi. Tak perlu mencari di tempat yang jauh, sebab lapangan basket tengah bangunan sekolah inilah dirinya berada. Bersama tim seperjuangan dan beberapa bola basket yang menjadi objek latihannya.    

  Masa bodoh! Itulah yang dipikiran gadis itu kala sukses mengemasi seluruh barangnya dan mengendong tas ransel serta menenteng jaket di tangan kirinya kemudian berjalan keluar kelas. Meninggalkan suasana kelas yang masih riuh bergemuruh. Panggilan tegas menyerukan namanya kemudian. Membuat gadis itu menoleh dan menatap satu lagi gadis berusia sebaya yang kini berjalan mendekat ke arahnya.    

  "Lo pulang sendirian dong?" tanyanya pada Davira.    

  Gadis itu mengangguk ragu. Bahkan ia sendiri pun belum memikirkan apakah Arka bisa pulang bersamanya sore ini?    

  "Arka jelas masih latihan, gue juga harus ngurusin—"    

  "Gue bisa balik sendiri." Davira menyela. Menatap sepasang lensa yang kini terlihat melebar. Ketus! Dasar gadis ketus.    

  "Cih, gue cuma tanya. Kenapa jadi ketus gitu?" kekeh Davina mencoba untuk tetap dalam suasana santai. Semakin lama mengenal Davira, ia juga semakin paham dan semakin terbiasa dengan sifat dingin nan tak acuh yang dimiliki gadis itu. Seperti sifat itu sudah mengakar kuat dalam dirinya.     

  "Ya udah deh, gue mau ke ruang basket dulu," lanjutnya antusias. Senyum merekah jelas di wajahnya. Membuat Davira yang tadinya diam tak berekspresi banyak kini kini terkekeh singkat. Temannya ini memang kadang menggemaskan!    

  Setelah membiarkan Davina pergi keluar kelas dan meninggalkannya, kini giliran Davira yang memulai langkah kaki jenjangnya. Menapaki ubin demi ubin dan berbelok untuk sampai ke sisi lapangan basket. Davira ingin menunggui Arka sampai selesai? Tidak. Tentu tidak! Hal yang paling dibenci gadis itu adalah menunggu.    

  "Ka! Disusul sama nyonya besar, tuh!" Seseorang membuyarkan fokus remaja berkaos biru tua tanpa legan yang penuh dengan keringat membasahi seluruh bagian wajahnya. Arka menoleh. Tidak, bukan hanya Arka, namun juga Adam yang tadinya sibuk memantul-mantulkan bola basket itu kini ikut menaruh sorot matanya guna menyambut kedatangan Davira Faranisa.     

  Arka diam. Seakan menunggu Davira agar datang mendekat padanya, ia melambai antusias. Davira menyipitkan matanya. Bukannya datang dan menghampiri seorang gadis, ini malah gadis yang menghampiri seorang laki-laki!    

  "Lo pulang sama—"    

  "Gue pulang sendiri. Jadi gak perlu nyari gue nanti kalau udah selesai," tuturnya sesaat setelah posisinya dirasa cukup dengan dengan Arka.     

  "Pakai ojek on—"    

  "Kelamaan, habis ini jamnya bus dateng." Lagi-lagi gadis itu memotong kalimat dengan nada ketus.    

  Arka berdecak. Kini menjulurkan tangannya kemudian mengacak kasar puncak kepala Davira. Sumpah, itu membuat Adam murka! Remaja itu kemudian melempar bola basketnya hingga menggelinding mengenai sisi kaki jenjang milik Arka Aditya. Keduanya —Arka dan Davira— menoleh bersamaan. Menatap sejenak Adam yang tersenyum kikuk sembari mengangkat tangannya.     

  "Sorry! Tangan gue licin, jadi bolanya lepas."     

  Arka mendesah. Brengsek memang, bilang aja cemburu!    

  Davira menatap Adam. Wajah yang dipenuhi keringat yang membuat ujung poni remaja itu basah bukan malah membuat dirinya menjadi remaja yang buruk rupa, namun keringat itu seakan menjadi pendukung wajah tampan yang membuatnya semakin tampan dan terlihat seksi. Membuat Davira .... ah, tidak! Davira tak boleh meneruskan tatapan matanya itu.    

  "Gue balik dulu." Davira kemudian menyela aktivitas saling menatap yang dilakukan oleh Arka juga Adam.    

  "Lo beneran—"    

  "Dia bilang gak masalah buat pulang sendiri. Jadi, fokus latihan!" Adam kembali menyela. Bukan dengan bola basketnya, namun kini dengan suara tegas sedikit dongkol miliknya. Baiklah, ini sedikit lucu! Membuat senyum tipis terlukis di atas bibir merah muda Davira Faranisa.     

  --dan tanpa di sadari oleh gadis itu, Adam melihatnya. Melihat senyum tipis yang merekah di atas paras ayu milik Davira Faranksa saat ini.    

  "Fokus, Dam!" Candra ikut menyela. Baiklah, ini bukan lomba saling tatap 'kan?    

  ***LnP***    

  Gadis itu berlalu setelah menyelesaikan maksud dan tujuannya datang menemui kemudian menyela aktivitas Arka juga timnya yang mau tak mau harus meladeni kehadirannya. Tim basket Adam kini mulai melanjutkan latihannya. Pantulan bola kembali tercipta dari tangan Candra yang mulai berlari ke tengah lapangan. Niat hati ingin memberi umpan pada Adam, namun remaja itu tiba-tiba menangkat tangannya. Seakan ingin menginterupsi segala fokus dan latihan yang sempat terhenti itu.     

  "Kenapa, Bro?!" pekik seseorang berjalan mendekati remaja sebaya yang kini berposisi bungkuk sembari memegangi kedua lututnya.     

  "Gue rehat, capek!" katanya berteriak sembari bangkit dan berdiri tegap. Berjalan sembari mengacungkan ibu jari pada siapapun yang menatapnya saat ini.    

  Candra juga beberapa orang yang bermain mengangguk paham. Membiarkan Adam yang belum juga memulai latihan ke sepuluh sudah mengaku kalah dan menyerah lalu menyisihkan diri di tepi lapangan sembari duduk meluruskan kedua kakinya.    

  "Mulai lagi!" Arka berteriak. Mengambil alih interuksi yang sempat terpotong. Seluruh anggota tim mulai kembali dalam permainan. Mengabaikan kapten basket yang kini hanya diam meneliti setiap 'cara bermain' anak-anak asuhnya itu. Tak ada yang salah, hingga membuat Adam memutuskam untuk pergi.    

  Pulang? Tidak. Ia purna dari latihannya dan beristirahat sebentar sebab satu hal ... Davira Faranisa! Ya, siapa lagi memangnya? Adam hanya ingin teman-temannya tak menganggapnya ada kali ini hingga membuat remaja itu bebas menyelonong pergi tanpa pertanyaan yang mengganggu.    

  Trik Adam ... sedikit licik!    

  Ia melangkah menjauh. Punggungnya hilang sesaat setelah berbelok di sebuah lorong untuk memotong kompas agar bisa segera menyusul Davira di halte bus. Harapan terbesarnya kali ini adalah ... ia tak ingin kehilangan momennya bersama Davira.    

  "Dam, lo gak latihan?" Seseorang menyela. Keluar dari sebuah ruangan yang ada di sisinya. Bukan Kayla, melainkan Davina Fradella Putri.     

  "Hah?" sahutnya membulatkan matanya tiba-tiba. Sedikit terkejut sebab inilah pertama kalinya mereka berbicara dan saling tegur sapa.    

  "G--gue, mau beli minum." Remaja itu beralasan. Menunjuk gerbang parkiran belakang yang ada jauh di depannya.     

  Davina menyipitkan matanya. Kemudian mengangguk ragu dan tak mau memperpanjang kecurigaannya di sini. Sebab, jikalau ia banyak tanya, bisa saja Adam menjadi tak suka dengannya. Toh juga, tak ada urusan dengannya 'kan Adam mau pergi kemana?    

  "G--gue cabut dulu!" lanjutnya kemudian kembali melangkah. Lagi-lagi Davina hanya mengangguk. Menatap langkah Adam yang kini jelas berlari kecil. Baiklah, jikalau hanya sebab sebotol air putih dingin di minimarket, Adam tak akan berlari 'kan? Toh juga, ada kantin dan koperasi sekolah yang juga menjual benda yang sama. Jadi, tak perlu berlelah-lelah berjalan keluar hanya untuk membeli air minum. Kecuali, jikalau remaja itu memang sengaja mengkhianati timnya dengan kabur diam-diam hanya untuk mengejar 'sesuatu'. Seperti mengejar Davira Faranisa misalnya.    

  ***LnP***    

  "Hei! Adam kemana?" tanya Candra berteriak lantang setelah tersadar tak ada perawakan tubuh jangkung milik Adam Liandra Kin lagi yang tertangkap oleh kedua lensa pekatnya. Ia memutar tubuhnya. Mencoba mencari keberadaan Adam sebab kali saja, ia 'terselip' di antara kerumunan teman-teman sebaya yang sedang asik saling mengobrol dan bertukar canda satu sama lain.     

  --dan Adam benar-benar hilang!    

  "Ka! Adam hilang!" Candra melanjutkan kalimatnya. Menyita fokus seluruh remaja berkaos biru tua dengan celana pendek selutut berwarna senada yang berdiri memenuhi lapangan.    

  Arka ikut memutar tubuhnya sejenak. Mencoba memastikan bahwa apa yang dikatakan oleh temannya itu valid no debat!    

  "Adam pamit sama kalian?" tanya Arka sembari terus mengubah arah sorot matanya. Ia berjalan ke sisi lapangan. Menuju ke arah kumpulan tas yang sengaja di sisihkan agar memberi ruang pada siapapun untuk bisa berjalan melalui sisi lapangan tanpa meninjak tas-tas milik anggota tim basket.    

  Arka meraih sebotol air putih dan membuka kasar tutupnya. Meneguk habis isi botol yang isinya memang tinggal separuh saja. Ia menatap jauh ke depan. Mencoba membidik siapapun yang berjalan di lorong sekolah untuk menuju ke gerbang depan yang dibangun sebagai pintu utama keluar dan masuk seluruh warga sekolah. Ia tak sedang mencoba mencari Adam, namun sedang mencoba menerka dimana kiranya remaja itu berada.     

  Davira tadi datang padanya. Mengatakan bahwa dirinya akan pulang sendiri menggunakan bus sebagai alat transportasinya. Davira lebih suka menunggu bus di bawah bangunan halte ketimbang menunggu ojek online yang pesan jam berapa datangnya jam berapa?!     

  Dengan lantang kalimat itu dikatakan oleh Davira hingga membuat siapapun yang ada di sekitar mereka mampu mendengarnya dengan tegas. Tak terkecuali seorang Adam Liandra Kin.    

  Setelah Davira pergi, mereka sempat melanjutkan permainan dan tak lama kemudian, Adam mengambil alih interuksi dengan mengatakan dirinya purna dalam berlatih. Duduk di sisi lapangan lalu terabaikan begitu saja oleh timnya.     

  --dan setelah itu, dia menghilang.    

  Baiklah, hanya ada satu jawaban mengenai keberadaan Adam saat ini, yaitu bersama Davira Faranisa—sahabatnya sejak kecil.    

  Brengsek! Adam, brengsek. Ia tak main-main dengan kalimat bahwa ia mulai tertarik dengan Davira Faranisa.    

  ...To be Continued...


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.