LUDUS & PRAGMA

33. Tamu Istimewa Menawan Hati.



33. Tamu Istimewa Menawan Hati.

0  Suara bel pintu nyaring dibunyikan. Panjang nadanya dan memekak telinga menundang si tuan rumah untuk datang membukakan pintunya bagi si tamu. Dua orang perempuan berbeda usia kini sudah jelas mematung di tengah ambang pintu dengan satu koper kecil yang menjadi sela jarak antara keduanya. Dua kali bel ditekan. Nyaring bunyi terulang membuat suara nyaring kini menyahut dari dalam rumah. Sepersekian detik kemudian, suara gagang pintu ditekan dan ditarik dari dalam. Menandakan bahwa tugas mulia bel rumah sudah terlaksana dengan baik.     
0

  Wanita berusia 40 tahunan dengan pakaian alakadarnya kini menyambut. Sedikit tertegun sebab dua wanita tak asing sudah berjajar rapi di depan rumahnya. Satun wanita berambut sebahu adalah temannya semasa sekolah dulu, satunya lagi adalah gadis muda berparas cantik yang tak lelah mengembangkan senyum untuk memberi salam hangat tanpa suara dan gerakan pada si tuan rumah. Beruntungnya si anak laki-laki memiliki teman sekaligus sahabat cantik secantik gadis di depannya ini. Davira Faranisa, itulah nama yang disematkan kedua orangtuanya sesaat tangisan pertama terdengar nyaring menggema di udara. Sekarang anak gadis itu sudah dewasa dan berdiri di depan rumahnya dengan satu koper kecil yang menemaninya.    

  "Loh, Mbak Diana kok sudah datang? Katanya mau datang besok pagi?" tanyannya dengan nada ramah dan akrab bak sedang berbicara pada saudara kandungnya sendiri.    

  "Iya sih, awalnnya. Kata Davira takut ganggu kalau datangnya pagi buta." Diana membalas dengan senyum ramah. Meraih bahu putri semata wayangnya yang diam sembari sesekali menegok ke jendela atas tempat ruang kamar seorang remaja laki-laki sebaya dengannya berada—Arka Aditya.    

  Kedatangan Davira bersama mamanya malam ini dengan membawa satu koper kecil bukan tanpa alasan dan sebab yang jelas. Mamanya meminta bantuan pada si sahabat pena untuk menampung Davira tidur selama beberapa hari ini. Alasannya tak lain tak bukan hanya sebab sebuah perjalanan bisnis yang mengharuskannya pergi ke luar kota dan meninggalkan Davira sendirian di rumah. Sebenarnya sih, Davira tak keberatan jikalau ia harus seorang diri menghuni rumah mewah itu. Namun, mamanya terus saja tegas mengatakan bahwa pamali kalau anak gadis tinggal sendiri tanpa pengawasan dari orang yang lebih tua dari jangkauan yang amat dekat.    

  "Masuk, Mbak." Wanita itu-- Desi namanya, memutar tubuhnya serong dan merentangkan satu tangan untuk mempersilakan tamunya masuk dan duduk di atas sofa.     

  Ia juga menawarkan beberapa minuman dan camilan kecil yang ada di dalam almari penyimpanan. Bukannya tak 'doyan' memakannya, Diana juga putri semata wayangnya menolak dengan lembut. Tutur kata dan setiap tingkah lakunya dijaga dengan baik meskipun dirinya dan Desi sudah lama berteman akrab. Tidak seperti dua anak mereka yang saling 'membuli' satu sama lain kalau bertemu.    

  "Tante, Arka mana?" Davira kini menyahut. Sejenak mendongakkan wajahnya untuk menatap lantai kedua yang kosong tak ada orang yang terlihat di atas sana.     

  "Di dalam kamarnya." Desi menjawab dengan menunjuk sebuah lorong di lantai atas. Kemudian kembali memfokuskan tatapan matanya ke arah dua perempuan beda usia yang duduk sejejar rapi di depannya ini.    

  "Beneran gak mau minum atau makan apa gitu, Mbak?"     

  Diana—Mama Davira hanya menggeleng samar sembari tersenyum ramah. "Kita gak lama kok, Des. Cuma mau ngomong sebentar sama kamu."     

  Davira yang tadinya menoleh dan terus mencoba untuk menelisik bagian lantai atas yang dalam harapannya, semoga saja Arka muncul dan mengajaknya pergi agar tak terjebak dalam situasi membosankan seperti ini. Mendengar dua orang tua berbicara adalah hal paling membosankan selain mengikuti pembelajaran bermata pelajaran sejarah.    

  "Jadi aku mau nitipin Davira di sini kurang lebih 4 hari paling lama. Semoga kerjaan aku cepet selesai dan bisa—"    

  "Santai saja lah, Mbak. Aku gak keberatan kok kalau Davira nginep di sini lama-lama. Itung-itung ngrasain gimana enaknya punya anak cewek 'kan?" celetuk wanita berambut panjang lurus yang di ikat menjadi satu itu. Diana ikut terkekeh. Mengimbangi suasana yang mulai tercipta di antara keduanya.    

  "Nanti Davira bisa tidur di kamar tamu di atas sana," imbuhnya menujuk satu pintu kayu yang bisa dilihat dengan jelas oleh Davira yang duduk di atas sofa sisi mamanya.     

  "Kamarnya gak luas sih, gak ada AC juga. Karena belum selesai direnovasi, Mbak." Wanita itu kembali menjelaskan dengan kalimat seadanya, mencuri perhatian Davira yang kini menatap tegas wanita berwajah sedikit identik dengan Arka si sahabat menyebalkannya itu.    

  Emang Davira mau nge-kos? Segitunya harus dijelain? Batin Davira berkecamuk. Mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti sembari mengembagkan senyum paksa di atas bibir merah meronanya.    

  "Gak papa kok, Des. Davira juga anaknya bisa menyesuaikan keadaan." Diana menimpali. Menyenggol bahu anak gadisnya yang terlihat benar-benar tak acuh sebab pandangannya selalu saja tercuri ke arah lorong sedikit gelap di lantai atas.    

  "Kamu mau ketemu Arka, Nak?" tanya Desi dengan nada lembut. Sedikit mencondongkan tubuhnya kemudian mengetuk ringan meja di depannya.    

  Fokus gadis itu kembali terpaksa dialihkan. Menatap paras cantik sedikit keriput milik wanita bernama Desi itu.     

  "Naik aja. Arka tadi pamitnya mau belajar." Desi mengimbuhkan. Senyum adalah respon akhir setelah ia menyelesaikan kalimatnya.    

  Sorak sorai ber-hore ria untuk Davira Faranisa! Seakan seorang sipir sudah membebaskannya dari situasi canggung antara dirinya dengan Tante Desi dan terjebak di antara obrolan kuno sok baik milik dua wanita paruh baya ini, gadis itu benar-benar merasa bahagia sekaligus lega.     

  Segera dirinya bangkit dari atas sofa dan membungkuk ringan untuk memberi salam dan mengucapkan rasa terimakasih yang teramat banyak untuk wanita bermata kucing itu.     

  Gadis itu mulai melangkah. Menaikki satu persatu anak tangga untuk sampai ke lantai atas dan menuju ruang kamar pribadi yang letaknya sedikit jauh dari ruang utama. Davira kini sedikit mempercepat langkahnya kala dua anak tangga bersisa untuk ia tapakki. Menyudahi perjuangan kaki rampingnya dan kini kembali berjalan santai saat dirinya sudah dinyatakan sampai di lantai atas.     

  Davira berbelok di lorong depan. Menekan tombol lampu untuk membiarkan lampu menyinari lorong. Pintu kayu kini sudah tetangkap jelas di depan matanya. Hanya tinggal beberapa langkah lagi dan Davira bisa mengetuk pintu Arka Aditya layaknya seorang tamu sopan santun dan beradab.    

  Namun tidak untuk Davira! Gadis itu sigap meraih gagang pintu kemudian mendorongnya. Berdiri di ambang pintu dan menelisik setiap bagian kamar yang kosong tak berpenghuni. Satu pintu mencuri perhatiannya. Gemercik suara air kini memenuhi telinga gadis yang dengan santainya berjalan masuk tanpa mengucap sepatah katapun.     

  Ia duduk di sisi ranjang. Memangku tangan dan menyilangkan kakinya rapi. Menunggu Arka untuk keluar dari kamar mandi selepas menyelesaikan aktivitasnya di dalam sana.     

  Tak perlu waktu lama, suara gemercik air kini sudah tak lagi terdengar. Gadis itu menoleh seiring dengan suara gagang pintu yang lirih ditekan. Perawakan remaja bertubuh setengah telanjang dada dengan celana pendek berwarna putih kotak-kotak serta handuk kecil yang melingkar di lehernya keluar dari sana. Aroma wangi kini tercium di kedua lubang hidung Davira. Gadis itu tersenyum ringan. Menatap remaja yang masih tak sadar dengan kehidarannya sebab masih menunduk untuk mengeringkan jari jemari kakinya.     

  Ia kemudian berdiri. Sontak terkejut atas kehadiran gadis berkemeja putih yang rapi dipadukan dengan celana blue jeans panjang dan sepasang kaos kaki putih yang membungkus rapi jari jemari kakinya.     

  "Ra?!" pekiknya kemudian.    

  Davira tersenyum miring. Melirik perut kotak-kotak yang sumpah demi apapun, itu sangat mengoda!    

  "Kok lo di sini?" tanyannya heran. Berjalan mendekat sembari terus menatap gadis cantik yang masih diam dengan senyum picik di wajahnya.    

  "Ra!" sentaknya kemudian. Gadis itu berdecak. Menoleh kemudian menatap kaos yang ada di sisinya dan melemparnya ke arah Arka.    

  "Pakek, bikin zina mata!" protesnya kemudian bangkit. Berjalan ke arah jendela besar di sisi ruang kamar Arka dan menarik kursi lalu duduk di atasnya.    

  "Lo jadi nginep di sini?" Arka bertanya sembari sibuk memakai kaosnya.    

  "Hm," erang gadis itu lirih.    

  "Malem ini?"    

  "Besok malem." Davira menjawab tanpa mau merubah sorot matanya menatap jalanan luar.     

  "Habis ini lo pulang?"    

  Gadis itu kali ini mengangguk ringan. Membuat tubuhnya untuk menatap remaja yang sudah sopan sebab kaos dan celana sudah membungkus rapi tubuhnya.    

  "Soal Adam," sahut Arka kemudian. Davira menoleh cepat. Sejenak kedua pasang lensa itu bertemu dalam satu titik. Sebelum akhirnya Davira mengubah sorot matanya dan menghela napasnya kasar.    

  Malam ini ada dua fakta mengejutkan yang didapati gadis itu. Pertama, Arka ternyata mempunyai perut kotak-kotak ala model internasional yang digilai oleh kaum hawa sebaya dengannya. Kedua, fakta bahwa nama Adam selalu saja disebut di depan wajahnya tak bisa disanggah lagi. Membuatnya sedikit muak namun mau tak mau ia harus tetap mendengarnya.     

  "Tadi sore dia ngikutin lo?"     

  Davira diam bungkam sejenak. Tak mampu berkata-kata sebab mau dusta pun ia tak bisa.    

  "Itu artinya iya," sambung Arka mengimbuhkan kala Davira hanya diam tak berucap sepatah katapun. Gadis di depannya terkekeh. Memberi fokus pada remaja yang kini duduk di sisi ranjang dan menghadap ke arahnya.    

  "Jangan asal menyimpulkan."     

  "Kalau lo ngoceh marah-marah gak jelas itu artinya apa yang gue tanyain salah aliyas gak bener jawabanya. Kalau lo cuma diem kayak tadi, itu artinya bener." Arka ikut terkekeh. Seakan mengenal baik gadis cantik di depannya ini.    

  "Dia ngikutin gue ke halte," lanjut Davira menimpali.    

  "Terus?"    

  Davira mengangkat kedua sisi bahunya. "Gak terus-terus."     

  Arka mengangguk. Melipat bibirnya sejenak untuk mencoba kembali mencari topik yang pas untuknya dan Davira malam ini.    

  "Gue juga ketemu adiknya Adam," tukas Gadis itu melanjutkan.    

  Arka menoleh. Sedikit mendongak untuk benar bisa menatap wajah ayu Davira.    

  "Sifatnya jauh dari Adam," celetuknya kemudian.    

  Remaja di depannya ikut tersenyum singkat. "Lo suka sama Adam?" tanyannya menyela tawa ringan Davira.    

  Gadis itu kembali dibungkam paksa oleh pertanyaan dari Arka Aditya. Seakan semesta ingin menamparnya bahwa kedatangan gadis itu malam ini ke dalam kamar Arka adalah kesalahan yang fatal.    

  "Enggak," jawabnya setelah sesaat diam bungkam tak mau bersuara.    

  Arka tersenyum aneh. Tatapan dan cara berbicara gadis di depannya yang sekaligus adalah sahabat masa kecilnya itu penuh dengan dusta saat ini.    

  ...To be Continued...


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.