LUDUS & PRAGMA

81. Dosa Terindah



81. Dosa Terindah

0"Jangan buka pintu dan jendelanya!" Adam menyela. Menghentikan aktivitas kecil Davira yang baru saja ingin mendorong pintu kaca yang ada di depannya. Menyibakkan tirai besar yang menghalangi cahaya rembulan untuk masuk merambah ke dalam kamarnya malam ini. Gadis itu menoleh. Pria yang ada di depannya benar-benar aneh sekarang ini. Ia masih mengingat dengan jelas bahwa Adam mengajaknya masuk ke dalam kamar sebab pria itu menghendaki bahwa mereka akan makan di balkon alih-alih di dalam ruang makan. Adam tak ingin mengganggu Alia juga Ana dengan suara berisik mereka. Itulah alasannya. Namun, ia berubah secepat itu. Mengatakan bahwa Davira tak boleh membuka tirai dan pintunya. Lantas? Untuk apa mereka berada di dalam kamar sekarang ini?     
0

--ah tidak! Pikiran kotor itu tidak boleh datang lagi.     

"Udara malam gak baik untuk gadis perawan."     

Davira menghela napasnya. Terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Adam barusan itu. Dirinya mengenal ibu kandung pria aneh satu itu. Ibunya tak mungkin mengajari Adam pepatah kuno seperti itu. Wanita karier pencinta seni itu benar-benar orang yang berpikir logis dan berorientasi pada masa depan.     

"Siapa yang bilang?" tanya Davira memprotes.     

Adam tertawa ringan. Menarik kantung plastik besar yang ada di sisinya. Membawa benda itu turun dari ranjang dan duduk di atas karpet berbulu lembut di sisi ranjang empuk milik Davira Faranisa.     

"Duduklah. Aku sudah lapar." Adam menyahut. Mengabaikan kalimat dari Davira.     

Gadis itu kembali menutup tirainya dengan kasar. Kesal rasanya, akan tetapi mau bagaimana lagi? Ia hanya bisa menurutinya untuk saat ini. Bertengkar dengan Adam hanya akan membuang waktunya.     

Davira berjalan mendekat. Duduk di sisi pria jangkung yang baru saja membuka kaleng soda untuk dirinya. Adam tersenyum hangat. Menyiapkan apapun yang ingin dimakan oleh gadisnya malam ini. Davira harus puas dengan kehadirannya dan apapun yang dibawa olehnya.     

"Mama hanya meminta kamu untuk datang dan membawakan makanan?" tanya Davira menyela. Menarik perhatian Adam yang kini menoleh padanya.     

Pria itu menghentikan sejenak aktivitasnya. Menatap Davira dengan hangat lalu tersenyum manis. Ia menggeleng samar. Menaikkan kedua sisi bahunya untuk menolak kalimat dari Davira Faranisa.     

"Dia juga memperbolehkan aku kalau mau menginap. Banyak kamar kosong di sini. Termasuk kamar kamu," ucapnya tertawa.     

Davira terdiam. Rasanya aneh selepas Adam bergurau pasal hal itu. Wajahnya memerah bak kepiting rebus. Gerah dirasa seperti atmosfer baru saja berubah dalam hitungan detik.     

"Kenapa wajah kamu merah gitu? Ada yang salah dari ucapan aku?"     

Persetanan gila! Masih saja dirinya bisa berbasa-basi dengan nada dan ekspresi wajah tenang seperti itu. Apakah hanya Davira saja yang merasa aneh sekarang?     

"Makanlah. Setelah itu kita tidur." Adam menyodorkan sekotak nasi ayam tepung untuk Davira.     

Gadis itu tak memberi respon. Menatap Adam dengan tatapan aneh kala kata 'kita' disebut tegas olehnya.     

"K--kita?"     

Adam mendongakkan pandangan. "Maksud aku kamu," tuturnya tersenyum geli.     

Suara hilang. Percakapan terhenti selepas pria Adam menyelesaikan kalimat singkatnya. Gerimis datang menyertai suasana. Menjadi melodi pengiring kala gadis itu masih memutuskan untuk diam menatap nasi ayam di depannya. Malam ini terasa begitu berbeda. Bukan hanya hujan yang tiba-tiba saja datang tanpa memberi awan mendung sebagai pertandanya. Namun, juga kehadiran seorang pria yang pernah ia sebut dalam doanya beberapa tahun yang lalu.     

--dalam doa itu, Davira tak menginginkan semuanya kembali seperti dua tahun berlalu. Ia hanya berharap pada semesta untuk memberi sebuah akhir perjuangan yang indah dan pantas untuknya. Apapun akhir itu, Davira akan menerimanya dengan lapang dada. Ia bukan manusia baik. Dirinya hanya gadis munafik yang terus saja menolak perasannya sendiri.     

"Aku selalu penasaran akan satu hal." Adam kembali membuka suaranya. Menyela keheningan dan hujan gerimis yang ada di luar ruangan.     

"Kemana kamu pergi dan bagaimana kondisi kamu di sana?" Pria itu mulai menarik sekaleng soda yang ada di depannya. Melirik Davira yang masih diam tak berkutik sedikitpun. Helaan napas ringan terdengar masuk ke dalam lubang telinga Adam. Seakan membawa sebuah keresahan di dalam hatinya.     

"Aku akan lega jika kamu bahagia di tempat kamu sekarang. Itu doaku," ucapnya menutup kalimat. Menatap Davira penuh makna.     

Gadis itu tersenyum ringan. Meletakkan garpu dan sendok yang ada di dalam genggamannya.     

"Boleh aku tanya sesuatu?"     

Adam mengangguk. "Apapun."     

"Kenapa kamu tak berjuang sembuh dan mengejar mimpi kamu dulu?"     

Pria yang ada di sisinya menunduk. Menatap permukaan karpet berbulu yang menjadi alas duduknya bersama sang gadis tercinta. Adam tersenyum manis. Menggelengkan kepala memberi respon pasti untuk Davira Faranisa.     

"Aku harus menghukum diri aku sendiri. Juga ... aku kehilangan alasanku untuk mengejar mimpi." Adam menatap Davira dengan teduh. Nanar berubah menjadi sayu selepas ekspresi wajah gadis itu tak bersahabat.     

"Kenapa harus menghukum diri sendiri?" sahut Davira sembari melirik pria yang ada di sisinya. Senyum itu tipis, terkesan begitu aneh dan kaku. Ia memaksa untuk terus tersenyum meskipun hatinya sakit mendengar kalimat dari Adam Liandra Kin.     

"Karena aku harus merasakan bagaimana rasanya dihukum." Adam menyahut. Perlahan netranya kembali menatap gadis yang tegas menoleh padanya. Kedua tatapan itu bertemu dalam satu titik. Mengabaikan gumpalan nasi dan ayam tepung yang kini mulai dingin sebab keduanya tak segera menyentuh dan memakannya.     

"Davira ...." Adam memanggil. Menarik pergelangan tangan gadis yang ada di sisinya. Menarik tubuh gadis itu agar sedikit condong ke depan mendekat padanya.     

"Terimakasih sudah datang kembali."     

Gadis itu memalingkan wajahnya. "Aku tak pernah kembali pada—" Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, jari jemari panjang milik Adam sudah menarik ujung dagu lancip milik Davira. Membawa wajah cantik itu menoleh dan mendekat padanya. Sigap bibir itu kembali merasakan lembutnya lumatan milik Adam Liandra Kin. Sesekali pria itu memberi penekanan pada Davira untuk mulai menikmati permainan yang terkesan tiba-tiba itu.     

Davira perlahan memejamkan rapat kedua matanya. Jari jemarinya kuat menyingkirkan apapun yang menghalanginya aksesnya untuk mendekat pada Adam.     

Kuat jari jemari Adam menekan tengkuk leher milik gadis yang kini berada di dalam jarak intim dengannya. Tubuh mereka bersentuhan berakhir pada sebuah pelukan hangat dalam posisi duduk bersandar pada sisi ranjang besar milik Davira Faranisa.     

Permainan Adam semakin brutal. Pria itu tak hanya melumat bibir Davira, namun juga menggigitnya sesekali. Memicu reaksi dari gadis yang kini membuka celah bibir ranum miliknya. Lidah mereka bertemu. Saliva saling bertukar satu sama lain dengan tangan yang mulai mendekap erat tubuh lawan mainnya. Pria itu membawa tubuh sang gadis untuk naik ke atas ranjang. Menikmati segala cumbu panas itu dengan posisi yang lebih nyaman lagi.     

Adam menindih tubuh gadis yang ada di bawah jangkauannya. Ia melepas ciumannya. Membuat Davira yang tadinya mulai kalang kabut sebab pergerakan Adam yang semakin brutal mulai menghela napasnya kasar. Menatap lekat-lekat pria tampan yang tersenyum untuknya.     

Adam mengembalikan bibirnya pada Davira. Kembali mencumbu gadis yang ada di bawahnya itu. Lekat netranya kembali tertutup. Merasakan segala sensasi panas yang mulai menguasai di tubuhnya. Davira merasakan sentuhan itu. Bukan hanya bibir Adam yang bergerak nakal dan brutal di atas tubuhnya, akan tetapi juga jari jemarinya yang mulai membuka satu demi satu kancing baju tidur yang ia kenakan.     

Davira mencekal tangannya. Menghentikan segala aktivitas Adam kala tersadar bahwa ini sudah berlebihan. Adam menindih tubuhnya di atas ranjang. Hujan menjadi saksi bisu betapa tinggi napsu dan gairahnya untuk menjamah habis tubuh Davira malam ini. Ruang kamar ini menutup segala adegan panas di antara keduanya.     

"Bolehkah kita melakukan ini sebelum menikah?" tanya Davira melirih. Ia menelisik setiap kancing kemeja yang dikenakan oleh Adam. Sejenak terjeda dengan helaan napas darinya.     

"Tergantung dirimu sendiri. Kau mengijinkan aku melakukannya malam ini?" Adam menyahut. Tatapannya tajam penuh pengharapan.     

Davira ikut menatap netra itu. Benar, itu semua tergantung pada perijinan dirinya sendiri.     

Gadis itu tersenyum ringan. Mulai melingkarkan tangannya di atas leher milik pria yang ada di atas tubuhnya saat ini. "Lakukan," lirihnya meminta.     

Adam tersenyum puas. Mulai kembali melumat habis setiap inci bibir merah muda milik Davira. Tangannya brutal melepas satu persatu kancing baju gadis yang ada di bawahnya. Mulai menjamah belahan dada gadis yang amat ia rindukan sensasinya. Tubuh Davira menggeliat kasar. Erangan ringan terdengar selepas Adam melepaskan bibirnya dari atas permukaan bibir milik Davira. Memulai untuk mencumbu setiap inci bagian dada hingga turun tepat di atas perut datar milik lawan bermainnya malam ini.     

Davira menatap langit-langit kamarnya. Sesekali ia mendesah selepas merasakan sensasi luar biasa menyentuh bagian tubuhnya. Helaan napasnya menyela sesekali sebab dirinya benar-benar tak bisa mengimbangi kebrutalan Adam malam ini.     

--Davira mengijikankannya. Pria yang ada di atas tubuhnya malam ini, berhak penuh atas tubuh yang ia miliki. Davira tak ingin menjadi gadis munafik lagi.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.