LUDUS & PRAGMA

78. Keputusan Terbaik



78. Keputusan Terbaik

0Akhir pekan datang bersama riuhnya suasana taman kota. Hangat dirasa selepas sinar mentari turun menghantam permukaan bumi. Davira memilih untuk menghabiskan paginya di taman kota. Berlari ringan sembari menikmati suasana yang ada. Dirinya tak ingin memikirkan pekerjaan hari ini. Akhir pekan adalah waktu yang tepat untuk meliburkan diri dari keadaan dan pekerjaan yang rumit menguras tenaga.     
0

Davira ingin bersantai. Menyela dan menepi dari kesibukan yang ada di dalam kesehariannya selepas kembali ke Indonesia. Berlari bersama seseorang menempuh jarak yang semakin jauh angkanya. Ya, Davira tak sendiri. Ia sedang bersama seseorang sekarang ini. Seorang pria jangkung dengan setelan olahraga yang membalut rapi tubuh kekarnya. Bukan Arka Aditya, bukan juga remaja jangkung yang tak ada kabarnya sejak beberapa hari lalu, Raffardhan Mahariputra Kin. Pria yang sedang bersamanya adalah Adam Liandra Kin.     

Sial! Rasanya semesta benar-benar suka bergurau dengannya. Davira bangun beberapa jam yang lalu. Sungguh terkejut selepas tahu Adam menyarap dengan mamanya di dalam ruang makan. Remaja itu yang membuatnya datang kemari. Dengan alasan bahwa ia ingin menangih janji gadis itu padanya beberapa minggu yang lalu. Benar, Davira berhutang janji pada Adam.     

Adam yang mengusulkan tempat ini. Alih-alih berkencan di tempat yang seharusnya, pria sialan satu ini 'menyeretnya' datang kemari.     

"Udah capek?" Adam menyela. Melirik jari jemari Davira yang kasar menarik-narik kerah Hoodie tebal yang dikenakannya sekarang. Hawa panas menyelimuti tubuhnya. Keringat bercucuran membasahi setiap inci tubuhnya. Davira tak menjawab. Ia hanya terus melangkah dengan kecepatan sedang membelah trotoar jalanan. Taman kota adalah tempat terbaik untuk mengisi waktu akhir pekan yang berharga. Entah hanya sekadar duduk bersantai bersama keluarga atau berlari kecil bersama sang kekasih. Tempat ini adalah saksi bisu pertemuan Davira dan Adam untuk pertama kali dengan rasa cinta yang mulai tumbuh. Adam ingin mengenang itu dengan baik. Tujuh tahun berjalan rasa itu tak pernah sirna sedikitpun.     

"Davira," panggil Adam menarik pergelangan tangan gadis yang ada di sisinya.     

Davira menoleh. Menghentikan sejenak langkahnya untuk menatap pria yang ada di sisinya.     

"Aku masih ingin berlari." Gadis itu melepas genggaman tangan Adam. Kembali melangkah dengan irama ringan membelah trotoar jalanan taman kota.     

Adam tersenyum manis. "Cih, menggemaskan."     

Pria itu kembali berlari. Ikut mengiringi langkah kaki gadis yang kini mulai berlari menuju tempat yang lebih sepi dari sebelumnya. Tak ada orang yang berlalu lalang dalam sepersekian menit berjalan. Hanya ada Davira juga Adam yang memutuskan untuk berhenti sejenak.     

Davira mendesah kasar. Menguapkan lelah dengan erangan ringan dan mulai menghentikan lari kecilnya. Gadis itu berjalan. Mendekat pada sebuah kursi panjang yang ada di bawah pohon rindang belakang taman. Diikuti oleh langkah sepasang kaki jenjang yang menyusulnya.     

Adam menatap Davira lekat-lekat. Gadis itu meluruskan kaki jenjangnya sembari menatap kedua lututnya. Helaan napas kasar nan pendek terdengar masuk ke dalam lubang telinga Adam. Pria itu memilih duduk di bawah gadis yang kini menatapnya aneh.     

"Duduk di sini," ucap Davira memberi interupsi. Menepuk kasar bangku kosong yang ada di sisinya. Akan lebih nyaman kalau Adam duduk sejajar di sisinya. Bukan duduk di bawahnya dengan kepala yang mulai bersandar di sisi pahanya.     

"Aku lebih suka duduk di bawah."     

Davira menghela napasnya. Menggeleng ringan tak berucap apapun lagi. Lelahnya terlalu banyak untuk disaingi dengan perdebatan bersama Adam. Jadi Davira akan menurut saja.     

"Sorry karena mengajak kamu ke sini alih-alih pergi ke tempat mewah di akhir pekan." Adam melirih. Mulai memainkan batu-batu kecil yang ada di bawahnya.     

Gadis itu tertawa kecil. "London banyak tempat mewah dan agung. Namun, tempat seperti ini hanya ada di Indonesia, Jakarta lebih tepatnya." Gadis itu menyahut. Sejenak menundukkan kepalanya untuk menatap paras tampan milik pria yang ada di bawahnya.     

"Lagian aku juga pengen lihat kaki kamu berlari," imbuhnya melirih. Sejenak menghela napasnya kemudian memalingkan wajahnya ke arah lain. Ia tahu, Adam akan terkejut dengan kalimatnya. Singkat, tetapi terdengar dan terkesan begitu nyaman dan penuh kepedulian.     

"Aku senang kamu benar-benar sembuh sekarang." Davira menambahkan kala tak ada suara yang lolos dari celah bibir pria yang menjadi lawan bicaranya sekarang ini.     

Adam membisu. Terus mendongakkan kepalanya menatap gadis yang belum bisa menoleh padanya. Kalimat itu akan terkesan benar canggung untuk Davira Faranisa. Gadis yang sebelumnya kokoh dalam pendiriannya untuk tidak lagi membuka hati untuk Adam Liandra Kin.     

"Davira ...." Adam memanggil. Perlahan ia bangkit dari posisinya dan berdiri tepat di depan gadis yang menoleh cepat ke arahnya.     

Netra itu membulat sempurna. Menyambut posisi Adam yang berdiri menghalangi pandangannya. Tubuh jangkung itu membungkuk ringan. Menatap lekat-lekat netra pekat yang ada di depannya.     

"W--why?" tanya Davira gagap. Ia ingin pergi! Bukan tubuhnya, akan terapi pandangannya. Davira benar-benar tak kuasa menatap paras tampan yang semakin dekat dengannya itu. Rasanya semua pendiriannya mulai runtuh. Adam tak berubah sama sekali. Masih sama dengan paras yang identik seperti tujuh tahun yang lalu.     

"Boleh aku meminta dua permintaan?" tanyanya melirih. Samar jari jemari itu mulai berpindah. Menyangga tubuh kekarnya yang mulai mendekat pada Davira Faranisa. Tubuhnya terkunci. Dua lengan panjang itu rapi berjajar di kedua sisi bahunya. Jika ia bangkit, bibirnya akan bersentuhan dengan Adam. Namun, jika Davira menyandarkan tubuhnya ia akan terkesan menerima apapun perlakukan pria satu itu.     

"Kita hanya berjanji satu permintaan." Gadis itu menjawab. Matanya terus saja mencoba memahami apa kiranya yang ada di dalam otak pria yang semakin mendekatkan wajahnya pada Davira.     

"Aku juga akan memberi satu permintaan untuk kamu. Apapun itu asal jangan pergi meninggalkan dirimu, aku akan mengabulkannya. Setuju?" Adam menimpali. Perlahan bibirnya tersenyum manis melihat ekspresi wajah gadis yang ada di depannya.     

Davira diam sejenak. Jantungnya berdetak kencang selepas ia merasakan embusan napas pria yang ada di depannya menyapu permukaan kulit wajahnya.     

"Hm. Aku setuju. Apa permintaannya?"     

Adam tersenyum manis. Sigap bibirnya menyentuh permukaan bibir merah muda milik Davira. Sejenak keduanya terdiam. Davira merasakan benda asing yang menempel dia atas bibirnya. Ia merasakan itu. Embusan napas pria yang masih terkesan teratur ritmenya.     

Adam menyapu perlahan setiap inci bibir itu. Mulai memindah jari jemarinya untuk menekan tengkuk leher milik Davira Faranisa. Memperdalam ciuman keduanya yang kini berakhir pada lumatan kecil dan ringan. Davira membulatkan matanya. Tubuhnya tak bergerak, meskipun Adam berusaha untuk terus memancingnya.     

Lumatan itu semakin kasar. Mencoba untuk membuka bibir gadis yang kini mulai menerima semuanya. Tak perlu waktu yang lama, Davira kembali menyerahkan bibirnya untuk Adam Liandra Kin. Gadis itu memindah tangannya melingkar di atas leher Adam Liandra Kin. Ikut mengerakkan bibirnya bermain ringan bersama mantan kekasihnya itu.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.