LUDUS & PRAGMA

77. Malam yang Indah



77. Malam yang Indah

0Daging panggang dengan beberapa minuman dingin menjadi peneman di antara dua insan yang saling duduk berjajar menatap rasi bintang di atas sana. Suasana damai, tenang, dan mendukung. Pas untuk melepas penat selepas seharian bekerja menjemput selembar uang untuk menghidupi apapun yang ada di masa depan. Pria muda dengan jaket kulit yang membalut tubuh kekarnya itu tak henti-hentinya mengepulkan asap rokok di udara. Tatapannya tajam menatap apapun yang ada di atas sana.     
0

Rena melirik. Kepulan asap rokok yang keluar dari celah bibir pria yang ada di sisinya itu memang sedikit mengganggunya. Namun, Rena mulai terbiasa selepas beberapa kali menemani pria satu ini untuk menghilangkan stres dengan mengisap satu puntung rokok.     

"Satu aja jangan lebih," ucapnya menyela keheningan. Pria yang ada di sisinya menoleh. Separuh tembakau rokok ia sudah habiskan dengan terus mengisap sesekali mengembuskannya ke udara. Tempat yang paling pas untuk melakukan itu adalah di taman belakang rumah gadis yang berambut panjang satu ini. Suasananya sepi bak rumah mati tak berpenghuni. Tak akan ada yang merasa keberatan jikalau ia merokok di tempat ini. Bukan salahnya, jikalau Rena memprotesnya sebab gadis itulah yang memaksa untuk datang dan menemani dirinya.     

"Hm. Gue akan buang kalau sudah selesai." Pria itu menyahut. Menjauhkan puntung rokok dari celah bibir merah muda miliknya.     

Jujur saja setiap melihat Arka merokok seperti ini, rasanya cintanya semakin besar saja. Katakan seperti pesona seorang perokok terkadang lebih memukau ketimbang pesona orang tampan yang berjalan di bawah sinar matahari dengan kaos hitam yang membalut tubuhnya. Rena menyukai Arka kalau ia sedang merokok dengan menggunakan kemeja putih yang digulung separuh lengan. Dasi lepas dari lehernya dan jas mahal menyebalkan itu tak lagi membuat suasana menjadi formal dan membosankan.     

Arka akan begini, kalau satu kasus terasa begitu berat untuk dirinya. Banyak teka-teki yang harus diselesaikan. Untuk itu ia menjadi perokok demi menenangkan jiwanya.     

"Ngomong-ngomong, nenek suka banget setelah mendengar bahwa kita pacaran." Gadis itu memulai. Kembali membuka suaranya sembari sesekali melirik Arka yang ada di sisinya.     

Mustahil jikalau memang neneknya tak suka akan hal ini. Orang yang selalu memaksa Rena untuk segera menjalin hubungan dengan Arka Aditya adalah wanita tua, ibu dari papa kandungnya.     

"Gue sudah menduganya." Arka menyahut. Tersenyum kuda sembari mulai kembali mengisap rokok yang ada di sela-sela jari jemarinya.     

"Ngomong-ngomong ... gue akan pergi Amerika minggu depan."     

Kalimat itu mencuri perhatian Arka. Pria yang baru saja ingin mengisap ujung puntung rokok yang ada di dalam sela jari jemarinya itu kini menoleh. Ia sejenak terdiam. Kejutan yang diucapkan sungguh tak lucu!     

"W--why?!" ucapnya gagap. Menelisik masuk ke dalam pandangan gadis yang ada di sisinya.     

"Gue akan kembali setelah satu minggu di sana. Jadi jangan memasang wajah aneh seperti itu." Rena memprotesnya. Ia tak suka tatap mata yang diberikan Arka untuk dirinya.     

"Lantas kenapa harus ke sana?"     

"Kak Lita akan menikah tahun ini setelah rencana pernikahannya waktu itu batal. Kali ini benar-benar terjadi. Jadi dia memintaku untuk mengambil cuti kantor dan menyusul ke sana," ucapnya menerangkan.     

Arka menghela napasnya. Mulai mematikan rokok yang ada di dalam genggam jari jemarinya. Rena akan terganggu jikalau ia terus berbicara sembari mengisap benda itu. Jadi Arka akan menjadi sedikit lebih pengertian untuk saat ini.     

"Kalau gitu gue ikut."     

Rena terperangah tak percaya. Sejenak sepasang mata itu membulat sempurna. "Tapi gimana sama kasusnya?"     

"Ada pengacara yang lain. Gue akan menyerahkan itu untuk sementara. Lagian sidang ulang masih satu bulan lagi. Gue hanya sedang mempelajari kasusnya." Pria itu mempersingkat. Tak ingin banyak berbicara untuk membuat gadis yang ada di sisinya itu tak mengerti. Rena hanya cukup tahu alasan dirinya memutuskan untuk ikut. Toh juga, dirinya tak akan banyak merepotkan di sana nanti.     

"Setuju. Kita akan membeli banyak keperluan dua hari lagi. Gue harus mengurus surat cutinya," imbuh Rena menepuk pundak remaja yang ada di sisinya.     

Arka menoleh. Sejenak tersenyum manis selepas netranya memotret lengkungan bibir milik sang kekasih. Meskipun ia terlambat untuk menyadarinya, akan tetap Arka ingin mengatakan hal ini.     

--Rena begitu cantik dan menawan dengan riasan wajah seperti itu.     

"Ngomong-ngomong," sela Arka kembali membuka percakapan. Sukses menarik kembali pandangan Rena untuk menatapnya. Gadis itu tak berbicara untuk memberi respon. Ia hanya mengerang ringan sembari menunggu Arka melanjutkan kalimatnya.     

"Apa yang dikatakan nenek lo tadi? Dia lebih terlihat seperti ... jauh dari kata bahagia yang biasa. Itu bahagia yang luar biasa. Segitunya nenek lo pengen gue jadi menantunya?"     

Rena menghela napasnya kasar. Mengangguk samar sembari memalingkan wajahnya cepat. Ia tak bisa menatap Arka dalam topik pembicaraan yang canggung seperti ini. Neneknya itu terlalu kuno dan tua dalam memandang cinta. Baginya pernikahan akan lekas terjadi selepas sang pria menyatakan perasaannya. Namun, untuk Rena ia bahkan tak bisa memikirkan hal sejauh itu untuk sekarang ini.     

"Dia pengen kita cepat menikah. Lucu bukan?" kekehnya tertawa renyah. Arka ikut menyahut tawa itu. Menatap jauh ke angkasa sembari menghembuskan napasnya kasar.     

Keduanya mengabaikan tumpukan daging matang yang ada di depannya sekarang ini. Juga mengabaikan dua gelas minuman dingin yang mulai mencair dan membuat kulacino di dasar gelas. Pembicaraan mereka jauh lebih menarik daripada rasa daging panggang dan segelas jus buah di malam yang sedikit hangat ini. Itu sebabnya tak ada yang menyentuh makanan di depan mereka.     

"Lo mau nikah sama gue?" Arka tiba-tiba membuka suaranya. Sukses membuat Rena menoleh dan menatapnya penuh makna.     

Pria itu mengimbangi. Menatap gadis yang terdiam tak bersuara sedikitpun. Bibirnya bungkam. Tak ada kalimat yang keluar untuk memberi jawaban. Arka tahu, ia terlalu terburu untuk ini. Usia mereka memang sudah dewasa. Pekerjaan tetap dengan gaji yang selalu ada. Kariernya juga cukup cemerlang. Mampu menghidupi seorang wanita dan satu orang putra yang tampan.     

"Gue serius." Arka mengimbuhkan.     

Rena yang tadinya diam, kini mulai tertawa kecil. Melepaskan apa yang ada di dalam tubuhnya. Lucu? Tidak. Ia hanya ingin tertawa saja.     

"Gue gak mau." Rena menyahut. Kembali memalingkan wajahnya untuk menatap apapun yang ada di atas langit.     

"Why? Kata nenek lo, lo suka banget sama gue. Lo bahkan menyebut nama gue di mimpi lo." Arka menimpali. Bibirnya mengerut di bagian akhir kalimatnya. Rena bahkan tak memikirkan keputusannya. Menolak spontan apa yang ditawarkan oleh Arka Aditya.     

"Hm, gue emang suka banget sama lo. Tapi untuk menikah, gue akan menolaknya untuk sekarang ini."     

Arka mengerutkan dahinya. "Kenapa?"     

"Karena ... karena gue masih ingin jadi pacar lo."     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.