LUDUS & PRAGMA

76. Hadiah dari semesta



76. Hadiah dari semesta

0Malam tiba. Suasana hening datang bersama indahnya suasana khas yang tercipta kala sang dewi malam datang bersama gemerlap bintang yang menemani. Tamu datang menyambangi rumahnya. Memecah keheningan yang datang selepas senja menutup tugasnya. Davira bersama seseorang di teras rumahnya. Lampu pijar yang menggantung di atas kepala menjadi sumber penerang yang menyaingi kuningnya cahaya rembulan malam. Asap teh manis mengepul di udara. Membawa aroma manis yang menggugah selera untuk segera menyeruputnya.     
0

Gadis itu kokoh pada pendiriannya. Hanya melirik sesekali tersenyum manis untuk menanggapi suasana yang tercipta di antara mereka berdua. Ia datang untuk mengambil sesuatu yang menjadi miliknya. Surat pernyataan bahwa ia diterima bekerja di perusahaan Davira Faranisa.     

"Gak mau bilang sesuatu?" tanya Davira menyela keheningan. Gadis itu meraih secangkir teh yang ada di depannya. Menyeruputnya dengan ringan sembari menikmati sensasi yang tercipta kala cairan cokelat tak kental itu menyentuh permukaan tenggorokannya.     

Naila terdiam. Canggung rasanya, mengingat ini adalah kali pertama dirinya bertemu secara pribadi dengan Davira Faranisa. Raffa banyak berbicara pasal gadis itu sebelumnya. Remaja jangkung yang menjadi sahabatnya bertahun-tahun lamanya itu menceritakan hal baik pasal gadis yang dulunya terkesan begitu misterius untuk Naila. Raffa hanya sempat mengatakan bahwa Davira itu cantik. Sikapnya baik dan pemikirannya luas. Namun, Raffa berbohong padanya. Jika dilihat dari dekat seperti ini Davira lebih dari kata cantik dan mempesona.     

"Kamu hanya akan datang mengambil ini?" Davira mengimbuhkan. Melirik map cokelat yang ada di sisinya. Menarik pandangan gadis yang ada di depannya untuk kembali teralih darinya.     

Naila mengangguk. "Maaf karena tidak jadi datang tadi, Kak." Gadis mulai membuka mulutnya. Suara ringan dan nyaman masuk ke dalam lubang telinga Davira Faranisa.     

"Kamu datang tadi," ucap Davira menyahut.     

Naila menatapnya dengan serius. Artinya Davira melihat dirinya bersama Arka tadi? Lantas mengapa tak memanggil?     

"Kamu mengawasi aku dan Adam. Cukup lama. Aku kira kamu akan datang dan menyela."     

"Maaf karena tidak jadi—"     

"Kenapa terus meminta maaf? Kamu gak salah apapun." Davira memotong kalimat gadis yang ada di depannya. Sukses membuat Naila memincingkan matanya tak mengerti. Bukankah seharusnya Davira seharusnya marah sebab Naila ingkar janji? Namun, ekspresi wajah itu tak seperti sedang memendam kemarahan.     

"Aku harus berterimakasih karena pilihan kamu untuk tidak datang tadi." Ia memulai. Masih dengan teka-teki yang belum bisa dimengerti oleh Naila. Gadis itu tak membuka mulutnya sama sekali. Ia hanya diam sembari terus menatap Davira dengan lekat. Tajam pendengaran ia siapkan. Mencoba untuk menjadi seseorang yang bisa dijadikan pendengar terbaik untuk Davira Faranisa.     

"Aku bisa berbicara banyak dengan Adam tadi setelah lima tahun tak bisa melakukan itu. Aku bisa duduk berdua bukan sebab alasan yang mendesak. Kami menikmati waktu untuk bersantai. Bertukar banyak hal, bahkan aku sempat tertawa bersamanya."     

Naila mulai tersenyum. Kini ia mengerti mengapa Davira banyak memberi rasa terimakasih padanya. Waktu yang diberikan Naila untuk Adam dan Davira begitu berharga rupanya.     

"Kakak bisa mengatakan pada Kak Adam untuk kembali menghabiskan waktu bersama." Naila mengusulkan. Mulai menarik segelas teh hangat yang ada di depannya. Jari jemari itu bermain ringan. Mengusap sisi cangkir yang terasa hangat sebab air teh di dalamnya masih samar mengepulkan asap di udara.     

"Aku bukan gadis bermuka tebal seperti itu. Aku terlalu sulit melakukannya."     

"Kakak khawatir Kak Adam akan menolaknya?"     

Davira menggeleng. "Dia pasti menerima itu. Hanya saja ...."     

Naila tertawa. Baiklah, ia mengerti apa yang dimaksudkan oleh Davira Faranisa.     

"Tenang harga diri?" tanya Naila memastikan. Davira yang ada di depannya tersenyum ringan. Aneh rasanya, akan tetapi ia mengakui itu. Harga diri Davira menolak untuk kembali mengajak Adam bersua bersama. Berbincang ringan di bawah langit senja yang indah.     

"Mau aku buatkan waktu agar bisa bertemu dengan Kak Adam lagi?"     

Gadis di depannya terdiam sejenak. Menundukkan kepalanya untuk menatap ujung jari jemarinya yang kini mulai beradu satu sama lain. Davira menggeleng kemudian. Rasanya akan aneh jikalau waktu terus saja mengijinkan dirinya dan Adam kembali bertemu. Semesta tak sebaik itu. Ia hanya tak ingin kembali terlena sebab rasa yang kembali menggebu di dalam diri.     

"Tak perlu. Kalau memang ditakdirkan bertemu lagi, kita pasti akan bertemu lagi."     

"Kakak masih menyukai Kak Adam?" sahut Naila dengan ringan. Senyum itu mengembang. Mengakhiri kalimat yang sukses membuat Davira bungkam membisu. Ia tak pandai berdusta. Bahkan pasal rasa yang bersifat pribadi seperti ini. Davira tak pandai menutupi apapun yang sedang ia rasakan.     

"Awalnya aku mengira bahwa semua sudah berakhir lima tahun yang lalu. Aku kembali hanya karena ini adalah tempatku yang sesungguhnya." Gadis itu berkelit. Menarik sepotong kue kering dan mulai memainkannya.     

"Tapi kakak salah." Naila menyahut. Ikut kembali mengembang senyum manis penuh makna.     

"Rasa itu belum selesai," pungkas Davira menutup kalimatnya.     

*** LudusPragmaVol3 ***     

"Buat Kak Davira?" Seseorang menyela dirinya. Menarik kembali pandangan Adam untuk tertuju pada remaja jangkung yang baru saja masuk menyela ke dalam kamar pribadinya.     

Adam mengangguk ringan. Kembali tatapan itu ia berikan pada satu liontin indah yang ada di dalam kotak kecil berwarna merah pekat.     

"Kakak akan memberikannya besok?"     

Adam kembali menganggukkan kepalanya. "Aku ingin mengatakan satu permintaan untuknya besok. Davira berhutang satu janji."     

Raffa tertawa kecil. Ia hanya bisa menganggukkan kepalanya untuk ini. Kakaknya terlihat begitu bahagia sekarang.     

"Kapan-kapan antar aku untuk membelikan hadiah juga." Raffa menarik bangku kecil yang ada di sisi sang kakak. Duduk rapi sembari menatap sang kakak yang menoleh padanya.     

"Untuk Davira?" tanya Adam menatap penuh keseriusan.     

"Bukan. Kakak pikir aku akan melakukan hal yang sama seperti dulu?" protesnya tertawa singkat.     

"Lalu?"     

"Naila. Dia pasti akan terlihat cantik dengan kalung seperti itu." Raffa menyahut.     

"Tapi akan lebih cantik Davira." Suara itu menyita perhatian Raffa. Remaja jangkung yang ada di depannya kini menatap dengan aneh. Kepercayaan diri sang kakak, benar-benar tinggi.     

"Naila lebih polos dan mempesona. Tatapannya begitu natural tapi berkharisma. Saat dia senyum .... wah! Kakak akan jatuh hati padanya."     

"Davira lebih dewasa dan menggoda. Pemikiran yang luas dan berwawasan tinggi. Dia wanita karier yang hebat. Dia seorang CEO sekarang." Sahut Adam memutar kursinya. Sejenak lensa mereka bertemu dalam satu titik yang sama. Senyum seringai muncul di balik bibir merah muda nan tipis itu.     

"Naila lebih muda dan—"     

"Akui saja kalau kamu juga pernah jatuh cinta padanya." Adam memotong. Kalimat itu sukses membuat Raffa membuang napasnya kasar.     

"Itu bedanya Naila dengan Davira. Pesonanya jauh lebih tinggi Davira Faranisa," imbuh Adam membanggakan sang gadis.     

"Terserah kakak."     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.