LUDUS & PRAGMA

74. Tentang Sebuah Harapan



74. Tentang Sebuah Harapan

0Suasana ramai. Riuh suara pelanggan yang datang dengan sambutan ramah dari pemiliknya. Gadis yang baru saja memilih tempat di sisi pintu masuk itu kini menghela napasnya kasar. Menatap aneh seorang pria yang duduk tepat di depannya sembari menyantap rice bowl yang ada di depannya. Lahap, seakan tak ada beban meskipun dirinya sedang terkesan begitu merepotkan untuk Davira Faranisa. Adam berjanji akan turun di halte terakhir tempatnya tinggal. Ia akan pulang berjalan kaki selepas Davira menghantarkannya di sana. Davira menurutinya. Ia menghentikan mobilnya tepat di sisi bangunan halte. Namun, naas! Adam menipu dirinya. Ia tak mau turun. Adam merajuk dengan terus memegangi sabuk pengaman agar Davira mengusirnya untuk pulang ke rumah. Ia ingin ikut dan terus memaksa dengan kalimat itu.     
0

"Enak?" tanya Davira berbasa-basi. Menatap pria tampan yang kini menganggukkan kepalanya sembari terus mengunyah makanan yang ada di dalam mulutnya. Sesekali ia bergumam ringan. Mencoba berbicara, tetapi mulut masih penuh dengan nasi yang baru saja ia lahap.     

"Setelah makan pergilah. Aku akan memesankan taksi." Gadis itu melanjutkan. Menatap pria yang kini menghentikan aktivitas makannya. Adam menelan kasar apapun yang ada di dalam mulutnya. Menarik segelas air putih dingin kemudian meneguknya dengan kasar.     

Lekat lensa itu menitik pada Davira. Gadis yang kini terdiam sembari menunggu respon dirinya.     

"Segitunya kamu pengen ngusir aku pergi?" Adam memincingkan matanya. Menghela napas ringan sembari terus menatap gadis yang ada di depannya sekarang ini.     

Ia mengangguk tegas. Tak ada keraguan dalam diri Davira untuk memberi jawaban. Takut kalau Adam akan sakit hati? Tidak, Davira bahkan tak memikirkan akan hal itu lagi. .     

"Hm. Aku akan bekerja setelah ini. Kita hanya menunggu Naila untuk datang. Dia sedang ada kelas," ucapnya mempersingkat. Davira tak ingin memarahi pria yang sudah menjadi beban di dalam kehidupannya ini. Jika ditelisik dengan baik, Adam baru saja menyantap makanan beberapa jam yang lalu. Mereka datang ke sini bukan untuk mengenyangkan perut, akan tetapi menunggu seseorang untuk datang.     

"Seperti ini cara kamu memperlakukan aku setelah kontrak selesai? Dulu Davira bukan seperti ini. Dia sangat baik bahkan hingga menyewakan supir pribadi untuk aku."     

"Dan kamu membohongi aku dengan berkata bahwa kaki kamu belum sembuh!" Gadis itu menyahut. Tegas nada bicaranya sukses membuat Adam terdiam. Gadis itu membentak. Ya, itu yang membuat Adam terdiam seribu bahasa.     

"S--sory," imbuhnya melirih.     

Adam tertawa. "Aku sangat sakit hati sekarang ini."     

"Salah siapa kamu membohongi aku?"     

"Aku gak bohong sama kamu. Aku berusaha setiap malam untuk berjalan agar aku bisa mendapatkan satu permintaan dari kamu." Adam menjelaskan. Menatap lekat-lekat gadis yang kini memalingkan wajahnya. Davira tak berpikir bahwa Adam akan berusaha sejauh ini. Pemintaan yang dikirimkan untuk mengakhiri perjanjian kita hanya sebatas ucap kata yang dilemparkan untuk pria yang ada di depannya itu. Davira tak berpikir dan tak mengira Adam akan seambis ini. Hanya untuk mendapatkan satu permintaan dari dirinya? Wah! Adam benar-benar berharap akan hal itu.     

"Jadi kamu harus menepati janji. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin." Adam mengimbuhkan. Nada bicaranya hilang seiring dengan kalimat yang selesai ia ucapkan.     

Gadis itu menghela napasnya. "Jadi apa yang ingin kamu minta?"     

"Rahasia. Aku akan mengatakan jika waktunya sudah tepat."     

"Sebelum kamu mengatakannya, boleh aku membuat satu batasan?" Davira menyela. Menarik perhatian pria berponi naik yang ada di depannya. Gadis itu sedang bersungguh-sungguh dengan tatapan mata sayu seperti itu.     

Adam meletakkan perlahan sendok dan garpu yang ada di dalam genggamannya. Matanya tak fokus pada apapun yang ada di depannya sekarang ini. Ia takut sakit hati, sebab rasa itu sangat menyebalkan! Adam takut apa yang menjadi batasan Davira akan menjadi rasa kecewa tersendiri untuk dirinya.     

"A--apa?"     

"Aku akan membuat batasan sebab satu hal yang tak akan pernah bisa aku lakukan. Jadi pikirkan satu permintaan itu," ucap Davira menuturkan dengan lembut. Adam mengangguk. Ia paham mengapa gadis itu mengatakan hal demikian.     

Kehadiran dirinya tentu mengejutkan untuk Davira. Ia belum bisa menyesuaikan suasana yang ada sekarang ini. Tentunya semua luka yang ada di masa lalu belum benar-benar sembuh dan tertutup. Ia masih bertemu dengan Adam sebab pertemuan ini hanya sebatas kebetulan yang sudah diatur oleh semesta. Davira memang bertemu dengannya, namun tidak untuk kembali bersamanya.     

"Jangan memintaku untuk menjadi Davira yang dulu. Aku tak akan pernah bisa melakukannya."     

Adam terdiam. Sorot lensa itu tajam masuk ke dalam sepasang netra indah milik Davira Faranisa. Gadis itu tersenyum tipis. Mencoba tetap berada dalam situasi yang tak aneh selepas mengatakan hal seperti itu.     

"Aku tahu mungkin kamu akan meminta hal seperti itu. Namun—"     

"Aku setuju." Adam menyahut. Memotong kalimat milik gadis yang ada di depannya. Sukses netra itu menitik. Membulat sementara untuk memberi respon pada pria jangkung yang ada di depannya.     

"Hanya itu bukan?" tanya Adam melirih. Tersenyum manis sembari menatap Davira dengan penuh kasih sayang. Rasa itu masih ada di dalam hatinya. Adam yakin Davira pun menyadari akan hal itu. Ia bukan gadis yang bodoh. Tentu kedatangan Adam dan segala sikapnya membuat Davira mengerti tentang apa yang diinginkan oleh pria jangkung itu.     

"Hm. Selebihnya aku akan berusaha untuk menepati janji," tuturnya tersenyum canggung.     

"Baiklah. Aku akan memberi tahu apa yang ingin aku minta jika waktunya sudah pas."     

"Jangan menolaknya." Adam menutup kalimatnya. Kembali menyendok nasi goreng yang ada di depannya sekarang ini. Mengabaikan gadis yang baru saja tersenyum ringan dan manis. Adam banyak berubah, tak seperti dulu. Pembawaan pria itu lebih tenang dan dewasa.     

Dari jarak yang jauh seseorang menatap keduanya. Terjeda oleh satu jalanan besar tempat orang-orang berlalu lalang dengan kendaraannya. Di sana ia berdiri tak seorang diri. Ada remaja jangkung yang menemaninya. Ikut berdiri sejajar sembari meletakkan seluruh fokus menatap masuk ke dalam bangunan kafe.     

"Katanya mau ke sana, kenapa jadi berdiri di sini?" tanyanya menyela fokus. Keheningan pecah. Netra gadis yang ada di sisinya kembali pada paras tampan yang mencuri perhatiannya beberapa menit yang lalu.     

"Bukankah itu kakak kamu?" Ia menyahutnya. Nada renyah terdengar masuk ke dalam lubang telinga Raffa.     

"Dia pasti memaksa untuk ikut," tuturnya menebak asal. Tertawa ringan dan pendek menutup kalimatnya.     

"Kalau gitu kita gak usah datang ke sana. Aku akan mengambil suratnya nanti di rumah Kak Davira." Naila mengusulkan. Menarik pergelangan tangan remaja jangkung yang ada di sisinya. Membawa tubuh itu pergi menjauh sebelum Davira tersadar bahwa Naila dan Raffa sedang mengawasinya dari jarak yang cukup jauh.     

"Kenapa?!" Raffa mengernyitkan dahinya. Menggerutu ringan pada gadis yang kini melepaskan genggaman tangannya.     

"Kita tidak bisa mengacaukan waktu berharga untuk seseorang. Memaksa untuk ikut? Itu artinya Kak Adam banyak berjuang sebelum ini. Biarkan dia menikmati itu," pungkas Naila dengan ramah.     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.