LUDUS & PRAGMA

73. Pilihan Rasa



73. Pilihan Rasa

0Davira mengembuskan napasnya perlahan-lahan. Tidak, memarahi si keras kepala ini tak akan berdampak apapun. Ia mengenal baik pria tampan yang ada di depannya itu. Jika tak berubah, Adam adalah si ambisius gila yang tak akan pernah menyerah sebelum mendapatkan apa yang ia inginkan. Tujuh tahun yang lalu, ambisi itu meluluhkan hatinya. Membuat Davira memantapkan dan membulatkan tekad untuk membuka hati pada laki-laki yang dulunya ia benci dengan segenap hati. Berubah menjadi orang yang paling ia rindukan selepas malam datang menutup hari yang lelah.     
0

Davira tak bisa melakukan apapun saat ini. Mengadu pada mamanya? Sinting dirinya itu! Davira yakin benar bahwa dalang dibalik semua ini adalah mamanya. Membawakan makanan, mengijinkan Adam masuk ke ruangannya yang selalu terkunci kalau Davira tak ada di dalam, siapa gerangan yang sudah membantunya? Ya, mamanya! Wanita itu benar-benar menyukai kehadiran Adam Liandra Kin.     

"Habiskan dan pergi dari sini. Aku harus bekerja." Gadis itu kembali mengulang kalimatnya. Tegas tatapan itu ia berikan pada pria muda yang hanya menganggukkan kepalanya ringan. Senyum mengembang. Tak berucap sebab mulutnya penuh dengan makan siang sekarang ini.     

Davira lagi-lagi mengembuskan napasnya. Bangkit dari tempat duduknya untuk mulai berposisi sebagai seorang CEO di sini. Memimpin perusahaan adalah pekerjannya. Berat memang, namun Tuan Raka yang membantunya. Papa juga yang mengajarinya dan ia lulusan dari universitas terbaik di London. Ilmunya akan sangat berguna untuk saat ini.     

Tok! Tok! Tok! Suara pintu diketuk. Menyita perhatian Davira yang baru saja ingin membuka dokumen di depannya. Suara lirih menyahut. Gadis itu mengijinkan orang yang ada di depan ambang pintu untuk segera masuk menemui dirinya.     

"Nona Dav—" Suara wanita itu terhenti kala menyadari tak hanya Davira yang ada di ruangan ini. Namun, juga seorang laki-laki berparas tampan dengan bahu lebar mirip aktor juga model papan atas. Matanya terperanjat. Bibirnya terdiam sejenak kala Adam tersenyum manis padanya.     

"Ada apa?!" Davira sedikit meninggikan volume bicaranya. Bukannya tak suka atau ingin memarahi, wanita itu terlalu fokus pada apa yang ada di sisinya. Adam Liandra Kin.     

"Ah, maafkan saja." Ia membungkukkan badannya. Kembali berjalan mendekat pada gadis yang kini melirik sejenak Adam di ujung sofa. Kekehan kecil muncul dari celah bibirnya. Seakan ingin menghina Davira pasal pesona Adam di sini.     

"Aku sudah melakukan pengecekan pada profil dan biodata gadis yang Anda bawakan kemarin. Latar pendidikan, prestasi, dan kompetensi yang dia miliki cocok dengan perusahaan ini. Ada satu posisi yang bisa ditempati olehnya, Nona." Ia menjelaskan. Hanya mendapat anggukan Davira yang fokus membolak-balik dokumen di dalam genggamannya. Gadis itu tersenyum ringan. Sedikit lega sebab ia bisa membantu Naila.     

Memang, dirinya adalah pemilik dan pemimpin di perusahaan ini. Namun, Davira adalah profesional yang tak akan melibatkan perasaan di dalam pekerjaannya. Sang ayahanda tidak mengajari hal demikian. Seleksi masuk pegawai adalah urusan HRD. Semua diserahkan pada mereka untuk mempertimbangkan.     

"Kau yakin? Aku tak ingin salah orang," ucap Davira tegas.     

"Sangat yakin. Meski harus sedikit dilatih. Namun, itu wajar sebab ia adalah pegawai baru nantinya."     

Davira terdiam sesaat. Mencoba menimbang kalimat wanita berseragam dengan rok span pendek yang jatuh tepat di kedua lututnya itu.     

"Kalau gitu masukkan dia dalam daftar wawancara. Kau sudah membuatkan surat diterimanya bukan?" Davira melirik. Menatap dekapan dokumen yang dibawa oleh wanita itu.     

"Tentu. Kami akan segera mengirim ini jika sudah mendapat persetujuan dari Anda."     

"Aku yang mengirim itu sendiri. Berikan," tuturnya lembut.     

"Tapi ...."     

"Dia tamu istimewaku. Jadi biarkan aku yang mengantarnya sendiri. Toh juga aku ingin keluar dengan arah yang sama. Jadi tak perlu merasa tak enak. Kembalilah bekerja." Davira mempersingkat. Meminta dokumen yang ada di dalam jangkauannya.     

Wanita itu hanya mengangguk ringan. Tersenyum manis kemudian membungkukkan badan untuk memberi salam perpisahan penuh hormat pada Davira. Kembali melangkah dan pergi meninggalkan ruangan. Menyisakan gadis itu bersama seorang pria yang kini mulai menyeka bibirnya dan meneguk air putih di depannya.     

"Kamu mau pergi?" tanya Adam menyela.     

Davira menoleh. Sesaat ia menatapnya penuh keanehan. "Jangan bilang mau ikut?"     

Adam tersenyum ringan.     

"Aku akan pergi untuk bekerja. Bukan untuk bermain atau berbelanja!" Gadis itu mulai kesal. Adam benar-benar menyusahkan. Bahkan dengan dua kaki jenjang yang kini mulai bisa berjalan dengan baik.     

"Aku hanya numpang untuk pulang," ucapnya melirih.     

Davira berdecak. "Cari taksi sendiri!" bentaknya dengan kesal. Kasar menarik mantel dan tas kecil yang ada di sisinya kemudian mulai melangkah meninggalkan Adam di sana.     

"Jangan merengek seperti bayi!" imbuhnya sebelum menutup pintu. Adam terdiam. Sayu tatapan mata itu ia berikan pada gadis yang kini menutup pintu dengan kasar. Adam tahu melakukan ini hanya akan membuat Davira terbebani. Namun, ia mau bagaimana lagi? Hanya ini yang bisa ia lakukan untuk membuktikan bahwa Adam sudah berubah. Ia mencintai Davira. Ia menginginkan Davira dan dirinya mau Davira mengerti.     

Davira menatap lorong di depannya. Langkahnya masih terhenti tepat di depan pintu. Satu langkah pun belum diambilnya sama sekali. Gadis itu mendesah kasar menutupnya dengan helaan napas ringan.     

"Ck, sialan!" umpatnya lirih. Kembali mendorong pintu yang ada di sisinya untuk kembali terbuka.     

"Pakai jaket kamu," ucapnya pada Adam. Pria yang masih terpaku di tempatnya itu mendongak. Sejenak membulatkan matanya tak percaya. Davira kembali untuk menjemputnya.     

"Aku akan menghantar pulang," imbuhnya melirih.     

Adam tersenyum manis. Mengangguk ringan kemudian sigap menarik jaket yang ada di ujung sofa. Ia pergi. Melangkah mendekat pada gadis yang sudah menunggunya di ambang pintu. Rasa yang tak asing untuknya. Langkah yang diambil oleh Adam mengingatkan dirinya akan satu hal, kala itu ia datang pada Davira. Gadis yang sudah menunggunya untuk bersua. Sebuah pelukan hangat diberikannya pada sang gadis. Berlanjut dengan kecupan manis untuk merasakan bibir gadis yang ia cintai. Rasanya menyenangkan. Semua masih membekas di dalam memorinya dengan baik. Tak ada yang terlupa, bahkan satu detik dan satu adegan pun.     

"Kamu sangat keren," ucap Adam menutup pintu.     

Davira berdecak. Melirik pria jangkung yang ada di sisinya. Mulai mengambil langkah untuk pergi dari bangunan kantor. Berjalan beriringan dengan Adam yang ada di sisinya. Ada satu pilihan yang membuatnya tak mengerti, Davira bisa saja meninggalkan Adam dan membiarkan pria itu pulang dengan taksi. Toh juga, tak ada yang menyuruhnya untuk datang ke sini bukan?     

Alih-alih memilih hal itu, Davira lebih memilih untuk kembali dan menjemputnya. Mengapa ia memilih hal seperti itu? Entahlah. Rasanya hanya ... aneh!     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.