LUDUS & PRAGMA

72. Sesuai Dengan Hati



72. Sesuai Dengan Hati

0Davira menatap keadaan aneh yang ada di depannya sekarang ini. Sedikit ramai, semua orang berkumpul menjadi satu di sisi bangunan gedung kantor. Tak ada yang menyadari bahwa bos pemimpin perusahaan sedang memperhatikan mereka. Hanya ada riuh sebab satu sama lain saling menyahut. Histeris sesekali berteriak kala netra mereka kembali menangkap sesuatu yang ada di dalam layar ponselnya. Davira melirik pria dewasa yang berdiri di sisinya sekarang ini. Menatapnya dengan tatapan aneh sembari sesekali memincingkan matanya. Keadaan aneh mulai terasa, selama ia datang kemari tak pernah ada yang mengacuhkan kedatangannya. Selalu ada sambutan hangat untuk Davira. Namun, kali ini? Semua pegawai wanita mengabaikannya.     
0

"Biar saya periksa, Nona Dav—" Gadis itu menghentikan langkah kaki Tuan Raka. Gadis itu menggelengkan kepalanya. Memberi kode isyarat pada pria berkacamata untuk tidak mengganggu dan mengejutkan para pegawainya itu.     

"Mereka tak bekerja, Nona." Tuan Raka memprotes. Berharap Davira mengijinkan untuk menegur semua pegawai yang ada di depannya.     

"Biarkan saja. Nanti juga akan kembali bekerja lagi," ucapnya tertawa renyah. Suara Davira menarik perhatian salah satu wanita berseragam yang ada di sisinya. Menoleh tepat mengarah pada gadis yang kini menyapanya dengan lambaian tangan ringan.     

Ia menyenggol bahu temannya. Menarik perhatian agar tak lagi fokus pada apapun yang menghias di dalam layar ponselnya. Ada bos besar yang berdiri dengan melipat tangan di belakang tubuhnya. Berdiri tegap sembari tersenyum manis kala semua tersadar dengan kehadiran Davira. Membungkuk bersama. Mengucapkan salam penghormatan meskipun itu terkesan begitu terlambat.     

"Selamat siang semuanya." Davira tersenyum ramah. Melambaikan tangannya penuh kesan bersahabat. Ia tak ingin membuat pegawainya tak nyaman, begitu pula dirinya sendiri.     

"Nona Davira ...."     

"Apa yang kalian lihat? Sepertinya sesuatu yang menarik. Boleh aku melihatnya juga?" Davira kembali membuka mulutnya. Ramah nada bicara itu terdengar masuk ke dalam lubang telinga. Membuat siapa yang ada di depannya sesegera mungkin menyerahkan ponselnya.     

Davira ingin mematikan bahwa tak ada yang salah sekarang ini. Semua masih dalam batas wajar dan tak akan menimbulkan masalah yang berarti.     

"D--dia sangat tampan." Seseorang menyela sembari menyerahkan ponsel pada Davira. Gadis itu hanya bisa tersenyum. Ia bahkan tak tahu, siapa yang dikatakan sangat tampan di sini?     

Pandangan mata gadis itu mulai menelisik. Masuk ke dalam layar ponsel yang ada di dalam genggamannya. Davira terperangah. Tak percaya siapa yang kini menghias di dalam layar ponsel pegawainya. Seorang pria tampan yang baru saja datang. Membawa buah tangan yang diberikan pada seluruh pegawainya.     

"Di mana dia sekarang?" tanya Davira to the point! Menatap satu persatu pegawai wanita yang ada di depannya.     

"Dia katanya akan naik ke lantai atas dan menunggu anda—"     

"Terimakasih informasinya." Davira memotong. Kembali menyerahkan ponsel yang ada di dalam genggamannya. Niat hati ia ingin melangkah menjauh, akan tetapi terhenti sejenak dan kembali menatap ponsel milik pegawainya yang memotret paras tampan pria yang tak asing lagi untuknya.     

"Hapus foto itu dari ponsel kalian," ucapnya.     

Tak ada yang mengindahkan permintaan Davira. Semua hanya diam seakan tak rela rekam gambar itu musnah dari dalam memori ponselnya. Davira tak akan pernah bisa memarahi mereka, gadis itu terlalu baik dan lembut. Begitu pikir semua wanita yang ada di sana.     

"Sekarang!" teriak Davira sukses membuat siapapun tersentak. Sigap mereka mulai menekan layar ponselnya. Memastikan gambar yang ada di dalam ponselnya sudah hilang tak berbekas. Bentakan dari Davira tentu membuat semuanya terkejut. Ia tak pernah meninggikan nada bicaranya sebelum ini.     

"Jika masih ada yang menyimpan foto itu, aku akan memberi hukuman. Mengerti?!" Gadis itu mengimbuhkan. Menatap sejenak Tuan Raka yang ikut terdiam.     

Davira pergi selepas mengutarakan apa yang mengganjal di dalam hatinya. Meninggalkan Tuan Raka dan semua pegawai yang ada di sana. Kekehan kecil kini menyela keheningan. Menarik perhatian semua pegawai wanita yang ada di sisinya.     

"Anda tertawa, Tuan Raka?"     

Pria itu mengangguk. "Bukankah itu lucu? Kalian tak pernah dibentak oleh Nona Davira, bukan?" tanyanya berkelit.     

Semua menganggukkan kepalanya ringan. Benar juga, hanya karena foto pria asing ini Davira terlihat begitu marah.     

"Siapa pria ini?" tanya seseorang menyodorkan ponselnya pada Tuan Raka. Ia belum menghapus itu. Masih ada di sana untuk diberikan pada Tuan Raka.     

"Sesuai dugaanku." Pria berkacamata itu berucap. Meraih ponsel yang disodorkan padanya.     

"Adam Liandra Kin, itu namanya."     

*** LudusPragmaVol3 ***     

Davira menghela napasnya. Baiklah, ini berlebihan! Gadis itu tak bisa menerima semua yang ada di depannya. Seluruh meja di tengah ruang kerjanya penuh dengan menu makanan. Pizza! Spaghetti! Mie telur! Nasi goreng! Dan semua camilan ini! Ah! Davira gila karena pria satu ini.     

"Adam ...." Davira menggerutu. Menarik kaleng soda yang ada di depannya. Adam menatapnya lekat-lekat. Tersenyum aneh sembari mengembangkan pipinya sebab penuh dengan makanan di dalam sana.     

"Kenapa kamu makan semua ini di sini? Ini tempat kerja aku, bukan restoran." Gadis itu memprotes. Ingin rasanya ia mengusir Adam dari hadapannya, tetapi Davira tak bisa melakukan itu. Bukan sebab dirinya yang tak mau. Namun, hatinya.     

"Karena ...." Adam mengehentikan kalimatnya sejenak.menyendok nasi goreng yang ada di depannya kemudian kembali menatap Davira dengan teduh.     

"Karena ini adalah tempat kerja kamu."     

"Adam!" Davira kembali menggerutu. Menghela napasnya ringan.     

"Ah, Davira!" Pria itu menyela. Menarik satu amplop besar yang ada di sisinya. Menyerahkan itu pada gadis yang sejenak terdiam menatapnya aneh.     

"Ambilah. Baca isinya," ucap Adam memerintah.     

Gadis itu kini berdecak ringan. Menarik uluran tangan pria yang ada di depannya. Kembali Adam menyantap makan yang ada di atas meja. Sejenak tak acuh pads gadis yang mulai membuka amplop besar di tangannya.     

"Isinya surat kontrak kerja. Aku sudah menjadi guru tetap di sekolah seni terbaik di Jakarta." Adam menyela. Baru saja Davira ingin membuka dan membacanya, akan tetapi gadis itu mengurungkan niat selepas Adam mengatakan itu.     

"Haruskah aku memberi selamat?" tanya Davira melirih. Tentu, jika Adam tak berubah pria itu bukan tipe orang yang harus akan pujian.     

"Tidak perlu. Aku tahu kamu bahagia." Optimis! Ya, Adam ingin selalu seperti itu. Menebak hal-hal baik yang ada di dalam hati Davira alih-alih berprasangka buruk.     

Davira menghela napasnya. "Selesaikan makan dan pergi dari sini. Aku harus mulai bekerja." Gadis itu memerintah. Ingin bangkit, tetapi Adam menarik pergelangan tangannya. Membuat gadis itu kembali terduduk di depannya.     

"Apa lagi?"     

"Tak usah bekerja keras. Gaji aku nanti akan mencukupi kebutuhan rumah tangga kita."     

Davira menyeringai. Pria di depannya ini sudah gila rupanya. "Rumah tangga?"     

"Kita akan menikah nanti," sahut Adam dengan enteng.     

"Sudahlah. Kamu pasti sudah gila."     

"Kamu mau pernikahan yang seperti apa?"     

"Adam ...." Davira melirih.     

"Pikirkan juga tentang rumah dan jumlah anak yang pas." Pria itu mengabaikan panggilan dari Davira.     

"Adam!"     

"Kamu yang—"     

"Adam, stop!" Davira menyentak. Menatap tajam pria yang baru saja terdiam. Ekspresi wajah itu sedikit berbeda.     

"Please, gak ada yang mau menikah dengan kamu."     

Adam terdiam sejenak. Menundukkan pandangannya dan menghela napasnya berat. Mengangguk-anggukkan kepalanya ringan.     

"Aku harap kamu mengerti."     

"Benar. Aku lupa." Adam menyahut. Sukses membuat Davira menatapnya aneh.     

"Bagaimana kalau dua anak laki-laki dan satu anak perempuan?" tanyanya tersenyum kuda.     

"Adam Liandra Kin!"     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.