LUDUS & PRAGMA

47. Kasih Yang Berbeda



47. Kasih Yang Berbeda

0Suasana sedikit ramai, meskipun tak seramai kalau pagi jam kerja datang dan sore menjelang senja menutup hari yang lelah. Lalu lalang pengguna jalan tak pernah surut dan habis dimakan oleh waktu, jalanan Kota Jakarta memang tak akan pernah sepi dan mati. Selalu ada yang melintas untuk meramaikan. Lampu jalanan kuningnya indah menerangi dunia. Menyaingi cahaya rembulan malam yang melingkar sempurna di atas langit gelap. Jajaran toko dan ruko malam sudah mulai beroperasi. Suasana Jakarta yang khas. Sibuk tak pernah mengenal kata istirahat untuk menjeda hari.     
0

Davira memainkan ujung garpu di atas lengkungan piring besar di depannya. Daging panjang yang masih mengeluarkan asapnya itu menjadi fokus utama sepasang netra milik Davira Faranisa. Ia tak kunjung mengubahnya, meskipun Adam duduk rapi di depannya sekarang ini. Davira kembali ke kedai makan yang lebih mirip sebagai kafetaria kalau siang dan sore menyapa. Ia tak menyangka kalau tempat ini menyediakan daging segar bercita rasa khas seperti yang ia pesan sekarang ini. Dirinya terkecoh akan apa yang menjadi tujuannya datang tadi sore.     

Adam mulai menghela napasnya. Mengetuk sisi meja dengan perlahan. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk menarik perhatian Davira untuk saat ini. Meraih dan menggenggam tangan gadis itu hanya akan membuat suasana lebih aneh lagi. Ia menangis di depan gadis pujaan hatinya. Menatap Davira dengan penuh kesedihan alih-alih menyambutnya dengan bahagia.     

Tak ada angin dan tak ada hujan, Davira mengajaknya makan malam. Berdua saja, tak ada apapun yang memenuhi meja selain menu yang keduanya pesan. Selera Davira banyak berubah, memang London mungkin banyak mengubah cara gadis itu menghadapi dunia. Termasuk menghadapi dirinya untuk saat ini.     

"Boleh aku tanya sesuatu?" Adam menyela. Suaranya lirih sedikit ragu kalau-kalau Davira akan pergi selepas merasa tak nyaman dengan apa yang dikatakan olehnya. Adam benar-benar menjaga hatinya untuk saat ini. Bertemu dan melihatnya saja sudah cukup untuk mengobati sedikit rindu yang menggerogoti dalam dirinya selama lima tahun terakhir. Adam tak meminta banyak untuk sekarang, Davira harus tinggal lebih lama di sini. Sampai ia puas menatap paras cantik itu. Sungguh, hatinya sedang Menggebu-gebu sekarang ini. Bagaimana bisa seseorang berubah sangat drastis seperti ini? Bahkan ia tak menyisakan satu saja ciri khas yang ada di atas fisiknya dulu.     

"Kamu gak lapar? Pamerannya berjalan lancar. Aku dengar kamu gak istirahat untuk mempersiapkan semuanya. Jadi setidaknya, makan dulu." Davira menyela. Menarik pisau daging dan garpu lalu memutarnya cepat. Mulai memotong daging tebal berwarna merah sedikit hitam sebab seseorang baru saja memanggangnya matang.     

"Bagaimana keadaan kamu?" Adam mengabaikannya. Tetap dalam pendirian untuk melempar satu pertanyaan pada Davira. Gadis itu menghentikan aktivitasnya. Dari semua yang ia temui selepas kembali ke Indonesia, semua akan bertanya dengan kalimat tanya yang hampir sama. "Kenapa kamu kembali?"     

Akan tetapi, Adam lain. Ia mempertanyakan apa yang tak ditanyakan oleh orang lain. Kabar Davira Faranisa selama ia berada di London.     

"Kamu baik-baik saja bukan? Kamu punya teman dekat di sana?" Laki-laki itu mengimbuhkan kala Davira tak kunjung memberi jawaban.     

Davira mendongakkan pandangannya. Mengangguk ringan semabri terus tersenyum manis. Memang, kehidupannya di London tak selalu bahagia. Bukan hanya Adam yang menyesali semuanya, namun juga dirinya. Bukan hanya Adam yang terpuruk dan terjatuh hebat, akan tetapi juga dirinya. Davira juga merasakan rindu dan sepi itu. Lelah bukan hanya fisiknya yang bekerja untuk menyesuaikan diri dengan dunia orang dewasa. Perusahaan, saham, investasi, kolega, rekan kerja, dan lainnya. Semua itu membuat fisik dan pikirannya lelah. Akan tetapi baginya itu tak menjadi masalah yang berarti. Toh juga, mau tak mau ia akan tetap mempelajari itu bukan?     

Hal yang paling membuat Davira lelah adalah memendam perasaan itu sendirian. Ya, hatinya lelah! Sangat lelah.     

"Aku bahkan punya teman dekat. Aku sangat menyayanginya. Nomor dua setelah Arka." Davira berucap. Tatapan matanya terus menuju pada raut wajah laki-laki yang ada di depannya. Adam diam sejenak. Senyum itu memudar, namun kembali lagi selepas Davira mulai melanjutkan aktivitasnya.     

"Lima tahun sangat lama bukan?" Adam kembali menyela. Lagi-lagi sukses menghentikan aktivitas Davira yang baru saja ingin memotong daging di depannya. Gadis itu melirik daging panggang milik Adam Liandra Kin, masih utuh. Bahkan posisi pisau dan garpu itu masih ada di tempatnya. Ia belum menyentuhnya sama sekali. Tujuan Adam menyetujui ajakan Davira bukan benar-benar ingin mengisi perutnya yang kosong. Adam datang kemari ingin bertemu dengannya.     

"Benar. Itu cukup untuk mengubah seseorang menjadi lain," tuturnya memungkaskan kalimatnya.     

"Ngomong-ngomong ...." Davira kembali membuka mulutnya. Menatap dalam-dalam Adam yang diam sembari menunggunya untuk kembali berbicara.     

"Kenapa kamu bisa lumpuh?" tanyanya mempersingkat.     

"Aku mengejarmu waktu itu." Adam menyahut. Nada bicaranya tegas tak ada keraguan sedikitpun. Sorot matanya tajam untuk Davira. Bukan kebencian, namun di dalam sorot lensa pekat itu seakan Adam ingin berbicara bahwa ia menyesali semuanya. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya sudah banyak berubah kali ini. Ia sudah menjadi lebih baik, meskipun tak sempurna.     

"Kenapa mengejarku?"     

"Karena kamu pergi sebelum menyelesaikan semuanya." Lagi-lagi jawaban dari Adam terdengar begitu mantap. Tak ada senyum dia atas parasnya. Keseriusan mulai hadir mengiring setiap kata yang lepas dari celah bibir merah mudanya itu.     

"Kamu seharusnya membaca surat itu sebelum pergi mengejarku," tutur Davira tertawa kecil.     

"Aku membuangnya."     

Davira terdiam. Sejenak ia membulatkan matanya selepas mendengar kalimat dari Adam Liandra Kin. Ia membuang surat yang berisi pesan terakhir dan permintaan Davira untuk mengakhiri hubungan keduanya?     

"Aku membuangnya karena aku tak ingin membaca apapun. Aku ingin mendengarnya langsung," imbuh Adam menerangkan.     

"Apa yang ingin kamu dengar? Semuanya jelas. Video itu diputar atas dasar dendam dan kebencian yang ada di dalam diri aku untuk kalian." Gadis itu kembali menghela napasnya berat. Aneh, meskipun nada bicaranya terdengar sangat santai dan menguasai, namun hatinya merintih kesakitan sekarang ini. Di dalam sana ada yang berteriak. Mengumpat pada kemunafikan Davira untuk menjelaskan perasaannya pada Adam Liandra Kin. Lima tahun memang bisa mengubah fisik dan penampilan seseorang. Memakan umur sisa hidup dan membuat kita menjadi lebih tua dan payah. Akan tetapi lima tahun belum pasti bisa mengubah perasaan untuk seseorang yang sudah tertanam dalam hati.     

"Maafkan aku."Adam berucap. Tak ingin banyak memperpanjangnya obrolan yang tak pasti, ia pergi pada tujuan awalnya. Datang untuk meminta maaf atas semua luka yang ia torehkan untuk Davira.     

"Aku tak akan memaksamu untuk memaafkan lagi. Aku hanya ingin meminta maaf."     

"Aku akan memaafkan, tapi dengan satu syarat." Davira menyela. Sukses membuat Adam menatapnya dengan tajam. Syarat? Haruskah ia bertekuk lutut dan bersujud di depan Davira? Seperti halnya Davina yang dipaksa untuk melakukan hal konyol seperti tadi?     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.