LUDUS & PRAGMA

50. Sympathy and Empathy



50. Sympathy and Empathy

0Pintu kaca besar di dorong dengan kasar. Membuka celah untuk langkah sepasang kaki bersepatu boots cokelat tua yang terbuat dari kulit sintetis itu untuk bisa melangkah masuk ke dalam bangunan besar yang menjadi tujuan utamanya pagi ini. Davira Faranisa kembali mengunjungi Adam Liandra Kin untuk kedua kalinya. Memilih galeri seni yang dibangun di tepi jalanan kota itu ketimbang menyambangi tempatnya bekerja di bangunan gedung kantor milik sang papa tercinta. Ia berjalan ringan. Menoleh ke kanan dan ke kiri untuk menemukan posisi Adam Liandra Kin sekarang ini. Davira mendapatkan informasi dari narasumber yang valid, mengatakan bahwa Adam ada di galeri seni sebelum fajar menyapa. Sang kakak tak pernah absen untuk datang tepat setelah waktu subuh di mulai. Ia membuka galeri, mempersiapkan ini itu lalu menata semua barang dan melanjutkan lukisannya yang belum selesai kemarin.     
0

Adam menyibukkan diri untuk itu. Raffa juga mengatakan bahwa sang kakak mulai menerima tawaran mengajar di sebuah sekolah seni selepas bertemu dengannya kemarin malam. Davira mengubah banyak hal hanya dalam beberapa jam berlalu. Adam termotivasi begitu mudahnya. Semua yang jatuh mulai kembali bangkit dan berdiri pada posisinya. Semua yang awalnya berada di bawah kini mulai naik kepermukaan. Pesona Davira benar-benar sukses membuat Adam Liandra Kin kembali bangun dari mimpi buruknya.     

"Datanglah ke sebuah ruangan dengan pintu kayu yang ada di sudut bangunan galeri. Di sana adalah tempat tinggal Kak Adam yang hanya bisa dimasuki olehnya." Kalimat itu menuntun langkah Davira untuk terus masuk ke dalam bangunan. Sepi, sebab memang ini belum waktunya membuka galeri. Jam masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, sedangkan galeri seni dibuka pukul sembilan pagi.     

Bingo! Arahan dari Raffa benar adanya. Netra Davira kini mulai menangkap sebuah ruangan dengan pintu kayu yang sedikit terbuka. Membiarkan sedikit celah ada untuk mengijinkan cahaya lampu bangunan masuk ke dalam ruang yang dihuni oleh Adam.     

Davira melangkah. Semakin tegas ia menciptakan alunan gerak kaki untuk sampai pada tempatnya. Suasana tak lagi sepi. Alunan musik jazz menggema di ruangan. Ia melirik masuk. Dari celah pintu itu Davira bisa mengakses apa-apa saja yang dilakukan oleh Adam di dalam sana. Hanya punggung lebar yang bisa ditangkap oleh lensanya. Seorang laki-laki dewasa berbalut sweater tebal berkerah O yang masih fokus menggoreskan kuasnya di atas kanvas. Lukisan yang indah. Dua angsa putih besar yang saling beradu membentuk hati sempurna yang memicu rasa kasih dan sayang. Lautan biru itu menjadi point penyempurna betapa syahdunya suasana lukisan milik Adam Liandra Kin saat ini.     

Gadis itu mengetuk pintu. Mencuri perhatian laki-laki yang kini menoleh padanya. "Davira?" lirih suara itu menyela. Ia memutar kursi rodanya. Ingin berniat untuk datang dan menyambut, namun Davira lekas masuk ke dalam ruangan. Memberi isyarat padanya bahwa ia tak perlu menyambut Davira dengan cara seperti itu.     

"Boleh aku duduk di sini?" tanya Davira tersenyum manis. Gadis itu berbicara dengan nada lembut dan sopan. Sembari menunjuk kursi sofa kecil yang ada di sisi pintu masuk, ia menatap Adam dalam diam. Davira menunggu respon darinya. Siapa tahu sekarang ini Adam sedang tak suka kalau ada orang yang masuk dan mengganggu dirinya.     

"Tentu." Laki-laki itu menyahut. Tersenyum manis meletakkan kuas yang ada di dalam genggamannya. Adam tak bergerak lagi. Cukup posisinya menghadap Davira dengan jarak sedang yang tak intim dan intens.     

Gadis itu menghela napasnya. Duduk dengan rapi lalu menyilangkan kedua kakinya merapat. Pandangannya mulai berkeliling. Ruangan ini sangat luas. Beberapa sketsa lukisan ada di setiap sudut dinding yang membatasi ruangan ini dengan ruang utama galeri. Ada satu ranjang kecil di sudut sana. Seakan-akan ini adalah tempat Adam bekerja juga tempatnya untuk melepas penat yang ada.     

"Kamu tidur di sana?" Davira berbasa-basi. Menunjuk tepat ke arah ranjang yang ada di sudut ruangan.     

"Hm. Aku sengaja menjadikan satu antara ruang kerja dan ruang tidur. Terlalu banyak ruangan hanya akan menyulitkan aku nantinya," ucapnya terkekeh kecil. Menanggapi apa yang ditanyakan oleh Davira dengan nada bersahabat.     

"Ngomong-ngomong ... itu wajah aku?" Tatap mata gadis itu kembali tercuri. Kini mengarah pada lukis wajah seorang gadis yang ada di sisi lain. Sketsa lukisan itu memang baru 45 persen. Belum ada pewarnaannya juga belum dibubuhi oleh komponen kecil untuk menghiasnya. Akan terapi dari bentuk mata dan hidung serta bibir itu, Davira tahu bahwa itu adalah lukis wajahnya.     

Adam mengangguk-anggukkan kepalanya ringan. Tersenyum manis sejenak diam tak bersuara. Ia sedang menyusun kalimat terbaik untuk menjelaskan arti lukis wajah Davira di sana, sebab jikalau diingat dengan baik, Adam sudah menggambar wajahnya dan memajangnya di tembok utama bangunan galeri seni.     

"Yang di depan adalah lukis wajah kamu yang lama. Rambut dan cara ber-make up-nya pun juga sudah kuno. Aku menggambarnya berdasarkan ingatan dari masa lalu. Sebab kita tak pernah bertemu setelah kejadian pagi itu." Ia menerangkan. Sejelas mungkin dan sedetail mungkin. Banyak hal yang ingin Adam katakan pada Davira sejak kemarin malam. Banyak kalimat yang ingin ia lontarkan pada Davira agar gadis itu mengerti bagaimana perasaannya. Adam menyesal. Sangat menyesal! Sungguh ia ingin mengulang semuanya dari awal. Ia berjanji tak akan mengulangi hal itu lagi, namun apalah daya? Melihat Davira selalu tersenyum seperti itu, membuatnya tak kuasa untuk kembali membahas apapun yang berasal dari masa lalu.     

"Kenapa harus menggambar lagi? Toh juga kita bukan sepasang kekasih seperti dulu lagi." Davira mengecoh. Melirik Adam sembari terkekeh kecil. Semudah itu ia mengatakannya? Tentu tidak! Hatinya terasa tercabik-cabik sekarang. Semuanya keluar dari mulutnya dengan rasa berat juga rasa sesak yang ada di dalam dadanya.     

"Bercanda!" Davira kembali menyela. Tegas tatapannya ia berikan untuk Adam sekarang.     

"Jual itu nanti, aku akan membelinya," tuturnya menambahkan.     

Adam tersenyum geli. Menundukkan wajahnya untuk menyembunyikan ekspresi wajahnya sekarang ini.     

"Ngomong-ngomong kenapa kamu ke sini? Karena merindukan aku?" tanya Adam menyela gadis yang ada di depannya. Davira menatapnya sayu. Sedikit terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Adam sekarang ini. Hampir saja ia terbawa masuk ke dalam suasana. Ternyata sesulit ini menahan semua rasa yang ada di dalam hati.     

"Bercanda!" imbuh Adam membalas apa yang dilakukan oleh Davira sebelum ini. Benar! Keduanya sedang saling membohongi diri mereka sendiri.     

"Ayo kita pergi ke suatu tempat," tukasnya menimpali.     

"Kemana?"     

"Ke rumah sakit. Kita periksa kaki kamu dan mengatur jadwal terapi dengan dokter."     

"Haruskah?" tanya Adam menyahut dengan tatapan mata teduhnya.     

"Hm. Harus!"     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.