LUDUS & PRAGMA

49. Embusan Angin Baik



49. Embusan Angin Baik

Suara renyah masuk ke dalam lubang pendengaran laki-laki yang baru saja ingin menyantap sepiring makanan di depannya itu kini menghentikan aktivitasnya. Menatap sepiring nasi goreng kecap manis yang disuguhkan untuknya malam ini. Adam tersenyum manis. Meskipun netranya tak bisa fokus dengan benar, namun hatinya hanya fokus pada satu nama. Davira Faranisa. Mereka berpisah dengan cukup menyenangkan tadi. Ia bahkan menyewakan taksi untuk Adam dan memberi salam perpisahan dengan senyum manis yang mengembang. Semua terasa seperti mimpi. Ia tak pernah menyangka bahwa Davira akan datang menemuinya dengan keadaan seperti itu. Adam tak benar yakin, apakah Davira bahagia selepas melihatnya begini? Ataukah gadis itu bahagia hanya sebab melihat wajahnya yang sudah lama tak ditatap oleh Davira?     

Entahlah. Adam tak ingin banyak berprasangka buruk untuk sekarang.     

Di depan tempat duduknya seorang remaja jangkung yang baru saja mampir selepas mencarinya untuk menghantarkan Adam pulang menatapnya dengan teduh. Ia tak menyangka, sang kakak akan pulang sendirian tanpa menunggunya di sana. Tentu, Raffa sempat mengira bahwa kakaknya hilang! Tak ada di tempat biasa ia menunggu Raffa untuk menjemputnya. Mengejutkan selepas ia mendengar bahwa Adam pulang dengan bantuan Davira Faranisa. Raffa tak pernah menyangka ini, dari perjanjian yang dibuatnya dengan Davira Faranisa gadis itu lebih memilih memulai dengan jalan yang begitu membahagiakan. Tentunya tidak untuk selamanya, semua akan berakhir seperti ini. Akan ada masanya Davira pergi dari hadapan sang kakak untuk memulai janjinya.     

"Sebahagia itu?" tanya Raffa menyela. Menarik gelas berisi air putih yang ada di depannya. Mereka hanya berdua, tak ada mama yang menemani makan malam kali ini. Hak yang wajar, sebab mamanya selalu sibuk di akhir pekan ini.     

"Maksud aku tentang bertemu dengan Kak Davira," imbuhnya menuturkan. Meneguk kasar air putih yang ada di dalam genggamannya sekarang ini.     

"Davira banyak berubah. Aku kira dia tidak akan menemuiku lagi." Adam menyahut. Kini mulai menggenggam sendok dan garpu yang ada di depannya. Laki-laki itu mengaduknya dengan kasar. Sesekali menyendok nasi goreng yang ada di depannya kemudian kembali meletakkan butir-butir nasi berwarna merah itu di atas piring. Untuk sekarang Adam benar-benar tak bernapsu untuk memakannya.     

"Apa yang dikatakan Kak Davira?"     

Adam Tersenyum manis. "Dia bilang dia akan memaafkanku dan membantuku untuk sembuh."     

"Bukankah itu harapan baik untuk kita lagi?" Adam kembali mengimbuhkan. Menatap sang adik penuh dengan makna yang mendalam. Lensa itu banyak berbicara pada Raffa. Kakaknya tulus bahagia malam ini. Senyum dan tatap mata penuh dengan binar-binar kebahagiaan itu nyata berasal dari dalam hatinya. Selama lima tahun terakhir, Adam tak pernah terlihat sebahagia ini. Baru sekarang, ia benar-benar bahagia hanya sebab kalimat dari seorang gadis yang dulu pernah meninggalkannya pergi. Bahkan katakan saja, kalau insiden yang menimpa Adam hingga menyebabkan dirinya lumpuh lima tahun lamannya itu adalah sebab keputusan yang dibuat oleh Davira Faranisa.     

"Fokus saja dengan apa kesembuhan kakak. Pikiran yang lain di lain waktu juga. Yang terpenting adalah kakak bisa berjalan tahun ini. Dokter mengatakan bahwa—"     

"Aku mengerti!" Kalimat singkat dari Adam memotong ucapan panjang milik Raffa. Remaja jangkung itu kini terdiam. Sejenak ia kembali menelisik masuk ke dalam tatapan mata sang kakak kandung. Jujur saja melihat Adam lebih terlihat 'hidup' untuk saat ini benar membuatnya tak tega jikalau harus mengingat perjanjiannya dengan Davira. Arka memang membenci sang kakak. Tak menyukai Adam selepas perselingkuhannya itu terkuak kebenarannya. Membuat Davira kalut dan pergi dari Indonesia, akan tetapi Raffa lebih rak suka melihat kesedihan yang berlarut-larut seperti ini. Ia benci direpotkan, ia juga benci harus mengurus laki-laki di depannya itu. Adam sudah dewasa, kiranya Adam juga harus bersikap dewasa pula.     

"Kakak akan menemuinya lagi?" Raffa kembali menyela. Kini ia kembali menyendok nasi goreng yang ada di depannya. Tak acuh dengan sang kakak yang baru saja menghentikan aktivitas kecilnya.     

Adam menggelengkan kepalanya. Samar bibirnya berucap tidak untuk memberi respon pada sang adik. Raffa kembali menaikkan pandangannya. Ditatapnya sang kakak yang diam membisu sembari tersenyum ringan selepas menjawab pertanyaan singkat darinya.     

"Aku tak akan menemui Davira kalau bukan dia yang datang. Aku tak ingin mengganggunya. Mengetahui fakta bahwa ia sudah memaafkan aku saja cukup untuk membuatku bahagia. Aku tak ingin serakah lagi." Adam menuturkan setiap kalimat yang keluar dari celah bibirnya selalu saja diiringi dengan senyum tipis yang terlihat begitu miris dan dipaksakan. Keadaan benar-benar mengubah pola pikir sang kakak. Adam bukan lagi remaja brengsek dengan pemikiran pendek. Ia adalah laki-laki yang sudah dewasa. Caranya memutuskan tak bisa lagi diremehkan. Semua yang terucap dari celah bibirnya terdengar begitu dewasa dan berwibawa.     

"Kakak masih menyukainya?" tanya Raffa menajamkan tatapannya.     

Adam mengangguk. "Hm. Sangat menyukainya."     

••• LudusPragmaVol3 ••••     

"Kalau dia suka sama lo, kenapa dia pergi menduakan lo waktu itu?!" Suara berat menyentak memenuhi ruangan. Laki-laki dengan kemeja biru muda yang kini berkacak pinggang di depan seorang gadis yang hanya diam sembari memutar kursi yang diduduki olehnya saat ini.     

"Dia punya alasan." Davira menyahut. Tepat tersenyum ringan untuk menutup kalimatnya. Jari jemarinya kini kuat memainkan ujung pena yang ada di dalam genggamannya. Matanya tak lagi fokus pada laki-laki tampan yang ada di depannya saat ini.     

"Davira! Lo beneran akan melakukan ini?" Arka kembali membuka suaranya. Kemarahan yang ada di dalam dirinya saat ini benar-benar sedang berapi-api. Davira kembali mengecewakan dirinya. Memutuskan untuk kembali pada Adam dan mengulurkan tangan untuk laki-laki sialan itu bukanlah keputusan yang tepat. Davira hanya akan terjerumus pada lubang yang sama.     

"Gue hanya membantunya. Setelah dia sembuh, gue akan pergi dan Raffa akan membantu gue kembali." Davira bangkit dari tempat duduknya. Kini tatapan matanya mulai menelisik masuk ke dalam netra indah milik sang sahabat. Davira tahu bagaimana kekhawatiran Arka sekarang ini. Bak seorang ibu yang tak ingin melihat anaknya kembali terluka selepas sembuh dari luka lama, Arka bersungguh-sungguh ingin menjaga Davira sekarang ini.     

Ia kini berjalan mendekat pada Arka. Menepuk pundak remaja jangkung itu untuk membangun dinding pengertian di dalam diri Arka. "Carilah pasangan. Lo gak bisa hidup dengan pemikiran yang sama," tuturnya melirih. Ia tertawa kecil lalu berlalu begitu saja meninggalkan Arka yang masih mematung di tempatnya.     

"Itukah yang terpenting untuk saat ini?!" pekik Arka berteriak. Menatap kepergian sang sahabat yang baru saja mendorong pintu untuk keluar dari ruang kerjanya. Ia masih sama. Kerasa kepala dan memiliki ego yang tinggi.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.