LUDUS & PRAGMA

53. Dua Manusia Dungu



53. Dua Manusia Dungu

0Dua pasang mata itu menatap dalam satu titik yang sama. Baik Arka Aditya maupun lawan bicaranya kali ini sama-sama membisu selepas dirinya mengeluarkan dokumen dengan map cokelat tua yang tak asing untuk Raffardhan Mahariputra Kin. Ia pernah memberikan dokumen itu untuk Arka beberapa hari yang lalu. Jika ia tak salah menebak, maka isi dari dokumen itu adalah biodata, riwayat hidup dan catatan pendidikan sang sahabat baik, Naila. Ia mengira jikalau Arka sudah memberikan itu pada atasannya. Merekomendasikan Naila untuk bekerja di kantor yang sama sesuai dengan apa yang dijanjikan Arka pada dirinya. Akan tetapi, apa ini? Ia berdusta! Memang manusia laki-laki dewasa seperti dirinya dan sang kakak tak pantas untuk diberi sebuah kepercayaan.     
0

"Ambil lagi dokumennya." Arka berucap. Semakin tegas ujung jari jemarinya mendorong map cokelat itu untuk ia berikan pada sang pemilik asli.     

Raffa tak bergeming sedikitpun. Ia hanya menundukkan arah pandangannya menatap permukaan benda yang menjadi alasannya datang menemui Arka Aditya. Pemuda brengsek satu ini mengirimi dirinya spam pesan lima belas menit yang lalu. Dalam pesan itu, Arka mengatakan bahwa ada sesuatu yang mendesak ingin ia bicarakan dengan dirinya. Menyangkut Naila juga Davira Faranisa, begitu katanya. Raffa malas untuk menemui laki-laki satu ini jikalau bukan sebab Davira juga Naila. Raffa datang terlambat. Kiranya sepuluh menit berlalu dari janji sepihak yang dibuat oleh Arka Aditya untuk dirinya.     

Tak masalah, jikapun ia diusir oleh Arka sebab ia sudah tak sabar menunggu maka Raffa akan dengan senang hati pergi dari hadapannya. Sedikit baik memang, laki-laki satu ini. Ia memesan daging nikmat bersama dengan jus segar yang menemani. Arka juga pandai memilih tempat dan meja untuk percakapan singkat mereka saat ini. Sejuk sebab berada di luar ruangan kedai makan.     

"Atasan kakak menolaknya?" Raffa menyahut. Sejenak ia melirik Arka kemudian menarik dokumen yang ada di tengah meja. Jari jemari panjangnya mulai menarik kertas yang ada di dalamnya. Mencoba untuk memeriksa apa yang baru di dalam map cokelat itu. Nihil! Sekarang Raffa bisa menebaknya, kalau Arka belum menyentuh isinya sama sekali. Persetanan gila laki-laki satu ini! Berani-beraninya ia mempermainkan harapan baik seorang gadis polos nan suci seperti Naila.     

"Kakak belum memeriksanya?" tanya Raffa menyela. Ia memincingkan matanya tajam. Samar dahinya berkerut untuk menahan kekesalan yang mulai ada di dalam dirinya. Raffa mengundangnya datang kemari hanya untuk ini? Untuk mengatakan bahwa ia mengurungkan niatnya membatu Naila? Wah! Manusia satu ini, bagaimana bisa ia mengkhianati janjinya sendiri?     

"Aku berjaga-jaga kalau kamu mengkhianati janji kita dengan sifat sembrono kamu itu," ucapnya berkelit. Raffa terdiam membisu. Bibirnya bungkam tak bergerak sedikitpun. Ia tak mengerti dan belum bisa mencerna dengan baik apa maksud dari ucapan Arka Aditya barusan itu.     

"Kamu belum juga mengerti?!" pekik Arka sedikit jengkel. Kini ia menarik tubuhnya. Mendekat pada Raffa yang mulai menyipitkan matanya untuk menatap pergerakan Arka di depannya itu. Ia menunggu, cukup lama Arka diam untuk memahami situasi yang terjadi. Tatapan mata pria muda itu tak bisa dikatakan bebas. Ia terus saja fokus pada manik lensa pekat milik Raffardhan Mahariputra Kin. Kiranya Arka sedang mencoba untuk mencari tahu, apakah Raffa benar-benar tak mengerti atau ia hanya sedang berpura-pura saja?     

"Batalkan rencana itu dan aku akan memberikan dokumen Naila ke atasan aku." Arka mengetuk sisi meja. Pergi pada poin pembicaraan mereka kali ini. Ia tak ingin banyak berbasa-basi lagi untuk sekarang. Arka muak membuang waktunya hanya untuk remaja sembrono sepeti Raffa.     

"Rencana?" Raffa mengulang. Ia masih belum mengerti juga rupanya.     

"Perjanjian kamu dengan Davira!" teriak Arka sedikit kesal. Ah, rasanya ia ingin mengumpat dan meludah di depan Raffa sekarang ini. Jika bukan karena permintaan dan janji yang ia berikan untuk Davira, gadis itu tak akan pernah membantu Adam. Bahkan sekarang ini, Davira tak sedang berada di kantornya. Melainkan bersama Adam di sebuah tempat yang ia tak tahu dimana gerangan?     

"Ah, janji itu."     

"Hm! Janji itu!" sahut Arka mempertegas.     

"Aku tak bisa melakukannya. Semua sudah sama-sama setuju. Membatalkan janji satu pihak itu namanya melanggar kontrak," ucapnya bermain kata.     

Arka memalingkan wajahnya, berdecak kasar untuk memberi respon kalimat dari remaja itu. "Aku seorang pengacara. Aku paham benar apa yang sedang kamu maksudkan sekarang ini. Jadi ...." Pemuda itu menyela kalimatnya sendiri. Ia menghembuskan napasnya kasar untuk mencoba melepas apapun yang mengganjal di dalam hatinya untuk saat ini.     

"Jangan mengada-ada, Raffa!" Arka kembali menyentak. Ingin mengumpat, namun bibirnya terdiam kala menyadari siapa yang sedang ada di depannya sekarang. Raffardhan Mahariputra Kin. Meskipun remaja itu sedikit brengsek, namun baginya Raffa adalah remaja labil yang patut diberi banyak cinta, kasih sayang, dan kehangatan. Bukan teriakan, umpatan, dan aturan-aturan gila yang menahannya untuk tidak bergerak bebas menjalani dunia. Meskipun Raffa adalah adik kandung dari Adam Liandra Kin, namun baginya Adam adalah Adam. Raffa adalah Raffa. Tak bisa disamakan meskipun fisik dan wajah mereka identik.     

"Jadi kalau aku gak mau membatalkan janji itu, kakak akan mencabut kebaikan kakak untuk Naila?" Bingo! Raffa mulai mengerti cara mainnya.     

"Hm. Aku gak akan membantu tanpa mendapat imbalan tertentu. Aku meminta uang atau hal-hal bodoh dari apa yang aku lakukan untuk mengubah hidup sahabat kamu, aku hanya meminta Davira kembali menjauhi Adam."     

Raffa tertawa. Geli melihat perubahan ekspresi wajah milik Arka sekarang ini. "Kalau aku gak mau?"     

"Cih, sial— Raffa! Please~" Arka memohon. Menyatukan kedua tangannya untuk meminta sedikit belas kasih dari remaja jangkung yang ada di depannya itu.     

Raffa mulai mengabaikan. Kini ia menarik segelas jus yang dipesankan untuk dirinya. "Kakak yang membayar semua ini bukan?" tanyanya berbasa-basi.     

"Aku sudah lama tak makan daging karena kesibukanku. Menjaga Kak Adam dan mengurus kampus benar-benar melelahkan. Jadi terimakasih dagingnya," tutur Remaja itu tersenyum kuda.     

Arka menatapnya heran. Samar dahinya terlipat dengan kedua alis yang hampir saja bertaut. Ia tak henti-hentinya menghela napas untuk remaja sialan di depannya itu. Dalam keadaan begini, bisa-bisanya ia makan dengan lahap?     

"Raffa!" panggil Arka menyela.     

"Makan dagingnya kak, ini enak banget!" sahutnya sembari mulai memasukkan potongan daging ke dalam mulutnya.     

"Raffa." Arka kembali mengulang. Ia akan tetap kokoh untuk mencuri perhatian remaja yang ada di depannya sekarang ini. Membujuk si keras kepala adalah bagian dari pekerjaannya, jadi jika pun ia harus memanggil nama Raffa sampai seribu kali banyaknya Arka akan tetap melakukan itu dengan senang hati.     

Jangan salah, ia adalah pengacara pembela umum. Meskipun tak selalu menang di dalam ruang persidangan, namun ia pandai membujuk orang-orang untuk memberikan kesaksiannya. Jadi untuk membujuk Raffa tak akan ada sulit-sulitnya sama sekali. Ia hanya perlu bekerja lebih keras lagi untuk sekarang.     

"Aku janji akan memasukkan Naila ke perusaahan dengan pekerjaan yang layak. Aku akan menjamin hidupnya di mata hukum dan akan menjadi pengacara untuknya tanpa bayaran sampai ia sukses nanti. Aku berjanji akan melawan semua orang jahat yang—"     

"Jangan meneruskan itu. Aku jadi mulai mencintai kakak." Raffa menyahut. Tersenyum geli sembari terus mengiris daging tebal yang ada di dalam piring di depannya. Sialan! Ia bercanda pada kesungguhan hati Arka Aditya.     

"Aku serius."     

"Aku lebih serius. Aku menyukai Kak Davira karena tingkat kepeduliannya yang tinggi," tukas Raffa menyahut kalimat Arka.     

"Davira gak pernah peduli dengan orang lain dulunya." Nada bicara malas itu menyela. Menatap Raffa dengan penuh kemalasan.     

"Jangan berbelit-belit lagi!" Arka kembali membuka suaranya. Mengiring pembicara untuk kembali pada tempat yang sesungguhnya.     

"Aku gak akan melakukannya, Kak. Jadi jangan memohon seperti ini. Gak enak dilihat sama orang," ucapnya melirih. Sejenak ia menatap Arka yang diam sembari menghela napasnya untuk kesekian kalinya. Kepala pemuda tampan dengan jas mahal yang membalut tubuh kekarnya itu kini bergerak ke atas dan kebawah. Manggut-manggut untuk menyetujui apa yang dikatakan oleh Raffa.     

"Aku akan mencarikan tempat pekerjaan yang layak untuk Naila sendiri. Terimakasih sudah berniat untuk membantu," ucapnya mengimbuhkan.     

"Dan aku gak akan mencabut janji dengan Kak Davira. Semua sudah berjalan separuh dari apa yang kita berdua rencanakan."     

"Rencananya?" Arka menyahut. Menatap Raffa penuh tanda tanya.     

"Selepas Kak Adam bisa berjalan dan berlari, aku akan membantu Kak Davira untuk menjauh dari Kak Adam. Dia gak akan kembali ke London hanya untuk itu, jadi Kak Davira berharap aku membantunya untuk menghalangi Kak Adam datang menemuinya." Raffa menjelaskan dengan kalimat panjang.     

"Jadi jangan khawatir mereka akan kembali lagi seperti dulu." Raffa mengimbuhkan. Mencoba memberi pengertian pada pria muda yang ada di depannya ini.     

"Bagaimana jika ternyata Davira dan Adam kembali lagi? Dan kejadian di masa lalu terulang lagi? Kamu gak akan menyesal karena itu?" tanyanya menyipitkan mata. Ia adalah pengacara. Pola pikir dan alur jalan pemikirannya tak akan sama dengan remaja sembrono seperti ini. Arka selalu memikirkan baik buruknya sebuah jalan yang dipilih olehnya. Sebab tak semua jalan itu akan membuahkan hasil yang memuaskan. Semesta tak selalu memberi realita yang sesuai dengan ekspektasi kita semua.     

"Kenapa diam?" tanyanya melanjutkan. Senyum seringai mengembang tegas di atas paras tampan Arka sekarang. Diiringi dengan tatapan mata yang tajam membisik segala perubahan ekspresi wajah milik Raffa.     

"Kakak berusaha memisahkan mereka sebab peduli dengan Kak Davira atau dengan diri kakak sendiri?" Raffa mulai berkelit. Ikut menyeringai hebat mengimbangi apa yang diberikan Arka untuk dirinya.     

"Bagaimana jika ternyata Kak Davira tak ingin dipisahkan dari kakak aku? Bukankah itu akan menjadi penyesalan yang baru?" Raffa kembali mengimbuhkan. Semua keadaan mulai berbalik!     

"Kita berada di posisi yang sama untuk sekarang ini, Kak Arka. Kita hanya manusia bukan Tuhan yang bisa menentukan alur mana yang terbaik untuk Kak Adam juga Kak Davira. Aku hanya sedang mencoba. Mana kiranya yang pantas disebut sebagai kebahagiaan dengan menurunkan langsung tokoh utamanya ke lapangan," ucapnya menutup kalimat dengan senyum aneh.     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.