LUDUS & PRAGMA

54. Lukisan Semesta



54. Lukisan Semesta

0Davira menatap jauh ke depannya. Suasana tak sepi juga tak seramai dugaannya. Ruangan khusus yang dibangun di sisi bangunan rumah sakit itu adalah tempat orang bernasib sama seperti Adam berada. Mereka mulai merajut harapan baru pada setiap langkah yang dibuat. Belajar berjalan dengan menggunakan sepasang kaki lemah mereka adalah aktivitas yang ditangkap oleh sepasang netra indah milik gadis berjaket kulit cokelat tua itu. Davira terus saja mengembangkan bibir merah mudanya. Menatap sang mantan kekasih yang kini mulai melangkah dengan penuh kehati-hatian. Pria muda itu sesekali melirik Davira yang mengawasinya dari kejauhan. Davira memberi banyak kepercayaan pada Asia pribadi Dokter Bima untuk membuat Adam kembali berjalan lagi, jadi ia tak akan turun langsung di lapangan.     
0

Gadis itu kini memutar tubuhnya. Duduk du bawah pohon besar yang ada di sisi lapangan tempat Adam berterapi. Suasana khas rumah sakit benar melekat di sini. Aroma yang terkadang masuk dan menyela udara segar yang dihirup oleh Davira juga menandakan bahwa ini adalah tempat orang-orang sakit menaruh harapan untuk kembali sembuh. Jari jemarinya kini mulai merogoh ponsel yang ada di dalam tas kecil yang diletakkan oleh Davira di sisinya. Mulai memainkan jari jemari panjang nan lentik miliknya untuk menggeser layar kunci dan membuka isi dari ponselnya siang ini. Sejak ia memasuki kawasan rumah sakit, Davira belum sempat untuk memeriksa ponselnya lagi. Terakhir kali mamanya memberi sebuah pertanyaan. Di dalam kalimat itu, wanita yang sudah melahirkannya itu mempertanyakan di mana keberadaan sang putri juga akan pulang jam berapakah ia nanti?     

Davira membalasnya selepas itu. Tak ada lagi balasan lanjutan dari sang mama hingga membuatnya mengabaikan benda pipih berwarna pekat itu. Matanya mulai menangkap satu notifikasi yang tak asing untuknya. Wajah Raffardhan Mahariputra Kin memenuhi layar ponselnya dengan spam pesan dan beberapa panggilan beberapa menit yang lalu, kiranya dua jam berjalan tanpa ada balasan dari Davira. Gadis itu mulai menggeser naik pesan yang diberikan untuknya. Kalimat pembuka Raffa mempertanyakan di mana keberadaan sang kakak sekarang ini? Hingga pada spam pesan lanjutan Davira menemukan sebuah kalimat aneh yang membuat sepasang netranya membulat sempurna. Raffa mengabarkan kematian seseorang padanya.     

Davira bangkit dari tempat duduknya. Tatapannya kembali mengudara untuk menatap pria jangkung yang jauh di depannya. Ia melambai ringan. Tak tersenyum, lalu berjalan mendekat dengan langkah sedang sedikit dipercepat.     

"Ada masalah?" Adam masih menghapal semua arti ekspresi wajah sang mantan kekasih. Bagiamana Davira bahagia? Bagaimana ia bersedih dan berduka? Lalu bagaimana ia menyimpan rasa khawatir di dalam hatinya? Semua itu Adam menghapalnya dengan Baik.     

"Bisa kita cukupkan terapinya untuk hari ini, Dokter?" tanya Davira mengabaikan kalimat dari sang mantan kekasih. Fokusnya hanya ia tujukan pada pria di depannya itu. Jas putih bersih menjadi kebanggaan untuknya juga untuk siapapun mata yang memandang. Itulah sebabnya Davira begitu menghormati Dokter itu.     

"Tentu, Nona Davira. Toh juha Adam sudah berlatih dari satu jam yang lalu. Kalian bisa datang lagi ke sini besok pagi," tukasnya tersenyum ramah     

"Kalau begitu aku pergi dulu, Nona Davira dan Tuan Adam."     

Davira mengangguk-anggukkan kepalanya. Tersenyum manis mengiringi kepergian dokter muda bertubuh kerempeng itu.     

"Ada masalah?" Adam kembali menyela. Kali ini ia menarik pergelangan tangan gadis yang berdiri di depannya sembari tersenyum manis.     

Davira menghela napasnya. "Mama kamu punya baju hitam yang bagus untuk aku kenakan?" tanyanya berkelit. Semakin tegas pria muda yang ada di depannya itu mengernyitkan dan menyipitkan matanya tegas.     

"Sepertinya ada ... kamu mau pergi ke pemakaman?" tanya Adam menebak. Menelisik masuk ke dalam lensa gadis yang ada di depannya itu.     

"Bukan aku tapi kita," pungkas Davira menutup kalimatnya.     

••• LudusPragmaVol3 •••     

Suasana pemakaman terlihat begitu khidmat tak banyak orang yang datang. Hanya beberapa saja yang dikenal oleh Davira sekarang ini di sudut nisan sang ibunda tercinta, Naila menangis tersedu-sedu. Ia terus saja mengusap air matanya itu dengan kasar. Memanggil nama ibunya berharap bahwa siapapun yang dikubur di dalam sana bukanlah ibunda tercinta. Malang menghampiri nasib gadis baik itu. Ibunda dikabarkan meninggalkan dirinya juga dunia tadi pagi. Naila yang berada di lingkungan kampus, bergegas pulang untuk mengiringi kepergian sang ibunda tercinta. Ia kalut pastinya. Ingin menentang dan mengumpati semesta, namun apalah daya. Semua kematian adalah bagian dari sebuah kehidupan. Tak ada yang abadi di dalam dunia ini bukan? Semua adalah fana yang akan hilang selepas jatah hidup sudah selesai dan Tuhan menamatkan kisahnya.     

Raffa mencoba menenangkan sang sahabat baik. Merengkuh pundaknya dan menepuknya dengan perlahan. Ikut Berjongkok untuk menyamaratakan tingginya dengan Naila sekarang ini. Semua larut dalam sebuah kesedihan yang sama, bahkan Arka yang datang dengan jas mahal itu.     

Ada satu fokus yang mencuri perhatiannya beberapa saat yang lalu. Davira, sang sahabat berjalan dan datang bersama Adam Liandra Kin. Sepertinya perjanjian yang dibuat oleh Raffa dengan gadis itu sudah mulai dilaksanakan. Davira akan terus berada di sisi Adam dan membantunya untuk sembuh hingga ia benar-benar bisa berlari.     

"Aku turut bersuka cita, Naila." Davira menyela. Menundukkan pandangannya untuk menatap gundukan tanah yang ada di depannya.     

"Terimakasih, Kak."     

"Jangan khawatirkan tentang biayanya, aku yang sudah membayar semua ini." Adam menyahut. Tersebut manis pada gadis yang baru saja mendongakkan kepalanya. Ia sejenak melirik Raffa yang hanya mengangguk ringan. Memberi isyarat pada Naila untuk mengiyakan saja tanpa membantah apapun.     

"Kamu akan hidup sebatang kara setelah ini?" Davira kembali membuka suaranya. Tatapan matanya sayu menuju pada gadis yang ada di depannya itu.     

"Hm. Aku hanya punya ibu dan satu kakak. Kakakku akan pergi ke luar kota hari ini. Jadi aku akan hidup sendirian," terang Naila menjelaskan singkat.     

"Sudah punya tempat tinggal?" Gadis berambut pengen itu kembali membuka suaranya. Sejenak semua diam untuk menerka situasi yang sedang terjadi saat ini.     

"Aku punya rumah untuk sekarang. Tapi tak tahu dua bulan ke depan. Biaya kontrakan akan membengkak." Naila menghela napasnya kasar. Kembali dirinya melirik nisan sang ibunda tercinta. Air mata kembali menetes. Anak mana yang kuat di tinggal pergi oleh sang ibunda? Tidak ada. Jadi apa yang yang dilakukan oleh Naila sekarang ini benar adanya.     

"Datanglah padaku jika membutuhkan sesuatu. Jika aku bisa membantu, maka aku akan membantumu." Davira tersenyum. Berusaha sebaik mungkin pada gadis malam di depannya. Naila beruntung! Sebab saat ia terjatuh dan menangis seseorang peduli dan menawarkan bantuan padanya. Bukan seperti dirinya kala itu.     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.