LUDUS & PRAGMA

55. Harapan Untuk Si Brengsek



55. Harapan Untuk Si Brengsek

0Gaun hitam yang jatuh tepat di atas lutut gadis berambut panjang yang diikat separuhnya masih rapi membungkus tubuh kurusnya. Tatapan mata yang terlihat sedikit memerah dan sembab itu tegas menatap ke arah jalanan yang ada di depannya. Siapa yang bisa tersenyum bahagia selepas ditinggal pergi oleh ibu kandung yang amat dicintainya? Tidak ada. Itulah yang dirasakan oleh Naila sekarang. Jika seseorang menyuruhnya untuk tersenyum, maka Naila akan menolaknya. Ia masih belum bisa menerima hiburan dalam bentuk apapun. Senyum tak akan datang juga tatapan itu tak akan berubah antusias seperti biasanya. Naila menjadi lebih pendiam sekarang. Tak banyak berbicara seperti kala ia bersama Raffardhan Mahariputra Kin.     
0

Remaja jangkung itu setia menemani sahabatnya. Selepas pergi dari makam sang ibu, Naila tak kunjung pulang ke rumah. Gadis itu duduk dengan pandangan kosong di sisi area pemakaman tempat orang-orang biasa menunggu dengan duduk di atas kursi panjang. Raffa tak mengerti ia harus bagaimana sekarang ini? Haruskah ia mencoba menggelitik gadis yang duduk di sisinya itu? Ataukah ia harus melemparkan lelucon lucu untuk membuatnya tertawa? Ah, sial! Ia bahkan hanya bisa terdiam sekarang ini.     

Raffa tak pandai menghibur. Tak seperti Naila yang selalu sukses mengembalikan mood baiknya kalau ia sedang bersusah hati. Raffa bukan orang 'asik' seperti itu. Dirinya adalah pendiam yang amat sangat kaku dalam menjalankan kehidupannya.     

"Minum ini ...." Raffa mengulurkan minuman kaleng bersoda padanya. Menyenggol bahu sang sahabat yang kini menoleh menatapnya. Sejenak mata itu terlihat begitu mengiris hati. Kosong tanpa ada harapan lagi di dalam sana. Ini bukan Naila yang ia kenal. Gadis itu sangat terpuruk untuk saat ini.     

"Kenapa soda? Bukankah lebih baik minuman manis atau air putih?" tanya Naila sembari mengerutkan keningnya. Ia menghela napasnya kasar. Kembali memalingkan wajahnya dan menyandarkan kepalanya pada dinding yang ada di belakangnya sekarang ini.     

"Kalau aku kasih susu, kamu mau minum?" Raffa menyahut. Memincingkan matanya lalu menarik pergelangan tangan sang sahabat untuk memaksanya menerima pemberian dari dirinya.     

Naila menoleh. Tersenyum seringai sembari melirik kaleng soda dingin yang sudah berada di dalam genggamannya. Benar juga, ia tak terlalu menyukai susu atau semacamnya. Naila juga tak terlalu pandai menyembunyikan kebenciannya pada air putih sebab tak ada rasa yang membuat dirinya puas. Bukannya Naila tak bisa meminum air putih, ia bisa melakukannya. Akan tetapi tidak dalam keadaan seperti ini.     

"Thanks," tutur gadis itu melirih. Raffa menganggukkan kepalanya ringan. Ikut membuka kaleng soda yang ada di dalam genggamannya sekarang. Tak ada suara di antara mereka berdua dalam sepersekian detik berjalan. Hanya diam dengan saling pandang ke arah yang sama. Jalanan yang ada di depannya. Ramai tak pernah kosong. Padatnya jalanan Kota Jakarta terkadang menjadi point untuk penyembuhan bagi hati yang sedang gundah dan gelisah.     

"Gue kira bunda tak akan pergi secepat ini. Gue kira gue masih punya banyak waktu," ucap Naila mulai menuturkan. Gadis itu tak menyangka, bahkan sampai sekarang ia masih merasa bahwa semuanya hanyalah mimpi buruk. Naila ingin kembali ke rumah sakit. Di sana ibunya sedang menunggu dirinya untuk datang dan menjenguk.     

"Kita hanya manusia. Terkadang Tuhan memberikan banyak kejutan untuk menguji seberapa kuat kita menghadapinya." Raffa menyahut. Tepat menatap gadis yang kini mulai mengembangkan senyum tipis di atas paras cantiknya. Naila tak ingin menangis lagi, sebab hanya mengeluarkan air mata seperti itu saja sudah membuatnya sangat lelah.     

"Apa lo rencana lo sekarang?" tanya Raffa kembali menyahut. Gadis yang ada di sisinya mulai berpikir. Ia tak bisa tetap berada di tempat ini sampai besok. Ia akan pulang ke rumahnya. Setidaknya Naila punya rumah sampai dua bulan ke depan jika ia tak salah perhitungan.     

"Gue akan mulai cari pekerjaan paruh waktu lagi."     

"Tapi lo udah bekerja paruh waktu di swalayan. Lo akan bekerja di dua tempat?" Raffa menyahut. Mengerutkan dahinya untuk menanggapi sang sahabat.     

"Mungkin tiga." Naila menyahut. Tersebut tipis mengakhiri kalimatnya.     

"Gue akan bantu cari pekerjaan tetap meskipun kita belum wisuda. Lo percaya sama gue 'kan?"     

Gadis itu menoleh. Menitikkan manik lensa indahnya untuk menelisik arti tatapan yang diberikan Raffa untuknya. Ia tak pernah mendapat kesan iba dari Raffa, remaja jangkung itu tulus bersahabat dengannya. Membantu Naila bukan sebab ia sedang memberi banyak iba untuknya bak seorang pengemis, namun Raffa menyayanginya sebagai seorang sahabat baik.     

"Gue bisa masuk ke perusahaan papa lo dengan usaha gue sendiri. Gue gak mau orang-orang bilang kalau gue memanfaatkan lo untuk mendapatkan hidup yang lebih layak." Naila menolak. Monoton memang alasannya, namun itu adalah fakta yang dirasakan oleh gadis bersurai pekat dengan mata naik sedikit sipit itu.     

"Kalau gak di perusahaan papa gue, lo mau nerima bantuan gue?" tukasnya menyahut. Sukses mendiamkan Naila yang kini kembali menatapnya penuh makna.     

"Let's see."     

••• LudusPragmaVol3 •••     

Davira Faranisa menatap laki-laki berkemeja polos yang ada di depannya sekarang ini. Ia mengkhianati sang sahabat hanya untuk pergi dan menghantar Adam kembali ke rumahnya. Raffa tak bisa melakukan itu, alasannya adalah ia memilih Naila untuk menjadi objek yang lebih penting dari sang kakak sekarang ini.     

"Gak makan?" Adam menyahut. Membuyarkan lamunan Davira yang kini mulai mengerjapkan matanya.     

"Steak-nya enak banget, loh!" Ia kembali mengimbuhkan. Tersenyum manis sembari mendorong pisau makan yang ada di sisi Davira. Gadis itu belum menyentuh makannya sama sekali. Membiarkan daging itu dingin menyesuaikan suhu ruangan yang ada.     

"Adam ...." Davira menyela. Menghentikan aktivitas remaja jangkung yang ada di depannya sekarang.     

"Kira-kira kamu bisa sembuh dalam waktu tiga bulan saja?" tanyanya menerka. Davira tak ingin berlama-lama bersamanya. Ia tak ingin kembali jatuh dalam lubang yang sama. Pelukan itu memang hangat, namun sangat menyakitkan dan menyesakkan di dadanya.     

"Kalau aku bisa sembuh dalam waktu kurang dari itu, kamu akan memberi hadiah?" Adam berkelit. Matanya berbinar berharap Davira akan mengiyakan kalimat darinya.     

"Aku bilang aku gak bisa—"     

"Kalau gitu aku juga gak bisa sembuh dalam kurun waktu itu." Adam menyahut. Memotong kalimat gadis yang ada di depannya.     

"Kalau aku memberi hadiah apapun itu, kau mau berusaha semaksimal itu?"     

Adam menganggukkan kepalanya. "Tentu. Aku lama tak menerima hadiah," ucapnya tersenyum kuda.     

"Baiklah. Aku akan memberi hadiah untukmu dengan satu syarat kamu harus sembuh dalam waktu kurang dari tiga bulan." Davira mengacungkan jari kelingking miliknya. Berusaha untuk membuat sebuah perjanjian dengan laki-laki yang ada di depannya.     

Adam membalas. Tersenyum manis sembari melingkarkan jari kelingking miliknya untuk Davira Faranisa.     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.