LUDUS & PRAGMA

56. Dua Gadis Baik



56. Dua Gadis Baik

0Kasar permukaan heels membentur permukaan ubin yang samar memantulkan bayangan gadis berambut pendek yang menggantung tepat di atas bahunya itu. Ujung bergelombang menjadikan ciri khas untuk rambut pekat milik Davira Faranisa. Gadis itu datang menyambangi kantornya sore ini. Ia akan memeriksa sebelum besok mulai bekerja menggantikan posisi sang papa di ruangannya. Davira tak ingin berdusta pada mamanya, ia berkata bahwa hari ini Davira akan menuntaskan semua masalah yang belum tuntas adanya. Ia akan pergi ke kantor dan menghapal apa-apa saja yang dikerjakan olehnya nanti. Meksipun ia baru datang sore ini, namun setidaknya Davira menepati apa yang disuarakan oleh dirinya.     
0

"Nona Davira!" Seseorang memanggilnya. Menghentikan langkah gadis yang kini memutar tubuh cepat. Ditatapnya seorang pria berkacamata yang kini mulai tak asing lagi untuknya. Tuan Raka.     

"Semuanya baik-baik saja?" Davira menyahut. Belum sempat Tuan Raka mengatakan tujuannya datang dan menghadang langkah kaki Davira, gadis itu sudah membuka suaranya. Mirip dengan bos lamanya, Denis. Davira terlihat sangat teliti dan memperhatikan apapun yang ada di sekitarnya. Calon bos yang baik dan mumpuni!     

"Saya akan melapor jika terjadi sesuatu, Nona." Tuan Raka membungkuk ringan. Mengembangkan senyum manis untuk gadis yang ada di depannya.     

Davira kembali melangkah. Diiringi dengan sepasang kaki jenjang milik Tuan Raka yang ada di sisinya. Pria itu ingin mengatakan sesuatu pada Davira. Ia paham kalau datangnya gadis itu kemari bukan hanya sekadar mampir ingin minum kopi, namun untuk memeriksa segalanya sebelum besok mulai menjadi pemimpin baru di perusahaan ini.     

"Nona Davira, aku mengatakan sesuatu." Tuna Raka kembali menyela. Sejenak gadis itu menoleh padanya. Memelankan langkah kaki untuk menatap pria berkacamata yang ada di sisinya ini.     

Tuan Raka adalah tangan kanan sang papa. Pria baik ini pantas untuk dinaikkan jabatan sebenarnya, akan tetapi yang Davira dengar dari sang papa bahwa Tuan Raka tak pernah gila akan hal itu. Diberi kepercayaan dengan gaji di atas rata-rata saja sudah membuatnya banyak berterimakasih dan bersyukur pada sang kuasa, ia tak pernah menginginkan kekuasaan yang akan merusak hidup nyamannya.     

"Ada yang ingin menemui, Anda."     

Ia mengerjapkan matanya. Menemui Davira di dalam.bangunan perusahaan? Bahkan Davira tak pernah memberi tahu siapapun soal jabatannya di perusahaan ini. Semuanya hanya tahu bahwa Davira kembali ke Indonesia untuk mengurus perusahaan sang papa yang entah, perusahaan yang mana? Ya, Denis setidaknya punya tiga perusahaan dengan perusahaan utama yang ada di bawah kendali Davira sekarang ini. Mendengar fakta bahwa seseorang ingin menemuinya membuat gadis itu terdiam.     

"S--siapa?"     

Tuan Raka menggelengkan kepalanya tak mengerti. Ia baru melihat wajah cantiknya tadi siang. Gadis itu tak pernah datang ke sini sebelumnya, bahkan saat ia mencoba untuk menanyai namanya gadis itu terus saja berkelit dan memaksa untuk menunggu Davira kembali ke kantor.     

"Dia sangat asing. Tapi katanya ia mengenal Anda dengan baik." Tuan Raka memaparkan sembari jari jemarinya merogoh masuk ke dalam kantong saku jas yang ia kenakan. Memberikan sebuah gelang berwarna merah muda yang tak asing bentuknya untuk Davira. Gadis sialan itu, bagaimana ia bisa mengetahui bahwa Davira berada di dalam perusahaan ini? Awas saja jikalau ia memata-matai Davira selama ini. Bukankah menghukum dirinya dengan mempermalukan harga diri gadis sialan itu kemarin sudah cukup membuat Davina Fradella Putri mengerti bahwa Davira bukanlah gadis yang dulu! Ia sudah berubah! Bahkan jikalau harus meludah di atas paras Davina, ia tak akan segan-segan untuk melakukannya     

••• LudusPragmaVol3 •••     

"Ngapain lo datang ke sini?" Suara bernada ketus nan dingin masuk ke dalam lubang telinga gadis yang menatap jauh ke lukisan besar di depannya. Davina tak tahu kalau ia akan datang kemari sebagai seorang calon pegawai untuk mantan sahabatnya.     

"Gue akan melamar kerja," ucapnya menyahut. Tak ingin berbasa-basi untuk menjawab kalimat dari Davira.     

Persetanan gila! Bagaimana bisa ia mengatakan hal sekonyol itu?     

"Gue gak butuh pegawai, jadi lo bisa pergi dari sini." Davira menimpali. Meletakkan tas yang ada di dalam genggamannya kemudian berjalan menuju ke sudut ruangan. Mengabaikan si mantan teman dekat yang masih terpikat dengan lukisan kuno di depannya itu.     

Davina mengabaikan. Ia hanya diam sembari terus menatap apapun yang ada di depannya sekarang ini.     

"Gue bilang lo bisa pergi sekarang."     

Davina memutar tubuhnya. Ditatapnya sang mantan sahabat kemudian berjalan mendekat selepas memutar langkah kakinya. "Setidaknya lo harus melihat surat lamaran gue dan mewawancarai gue dulu." Gadis itu berkelit. Tak ingin pergi begitu saja, ia kokoh dalam pendiriannya.     

"Baiklah. Gue akan mulai wawancara," tukas Davira menghela napasnya. Tangannya memberi aba-aba pada Davina untuk duduk di atas sofa tengah ruangan. Meskipun begitu, ia tak akan menyuguhkan secangkir kopi untuk gadis brengsek itu.     

"Pertama apa pendidikan terakhir lo?" Davira memulai. Ikut berjalan mendekat ke arah gadis yang baru saja meletakkan pantatnya di atas sofa.     

"Ekonomi bisnis. Itu keahlian gue," ucap Davina dengan tegas. Tersenyum manis membanggakan dirinya sendiri.     

"Lulusan ekonomi bisnis tapi membuat perusahaan ayahnya bangkrut. Mengalami kemunduran dan akhirnya ... boom! Perusahaan itu hancur." Senyum manis mengembang di atas paras cantik Davira. Kini ia ikut duduk tepat menghadap pada lawan bicaranya.     

"Kedua ... apa motivasi lo untuk bekerja di sini?" tanyanya menegaskan.     

Davina menarik napasnya dalam-dalam kemudian membuangnya secara perlahan. "Gue ingin mengubah hidup gue dan membuat papa gue percaya lagi sama gue. Kesalahan di masa lampau tak akan pernah terulang."     

Davira mengangguk-anggukkan kepalanya. Kalimat yang keluar dari celah bibir Davina terdengar lucu dan membuatnya muak!     

"Ketiga, kenapa gue harus menerima lo bekerja di sini?"     

Percakapan sejenak berhenti. Aksi saling pandangan keduanya seakan menjadi point penyempurna suasana tenang dan sepi dengan atmosfer canggung yang mulai datang menyelimuti keduanya. Baik Davina maupun Davira sama-sama diam menutup mulutnya.     

Untuk Davira, ia diam sebab menunggu gadis sialan di depannya itu untuk membuka suara dan menjawab pertanyaan darinya. Sedangkan Davina diam sebab ia masih mempertimbangkan kalimat apa yang pantas untuk menjadi Davira Faranisa.     

"Lo gak bisa jawab itu?" tanyanya mengulang.     

"Gue akan membuat perusahaan lo berkembang dengan teknik pemasaran yang luar biasa dari gue. Percaya dengan—"     

"Gue gak bisa percaya dengan pengkhianat busuk seperti lo." Davira menyela.     

"Lo masih gak ngerti juga, Dav?" Gadis itu mengimbuhkan. Menatap lawan bicaranya dengan intens.     

"Perusahaan gue gak akan menerima sampah murahan yang gak tau diri seperti lo. Lo paham maksud gue?!" pekiknya dengan tatapan berapi-api.     

Ya. Maksud dari semua itu adalah segigih apapun Davina mencoba untuk bekerja di sini, jawabannya tetap sama! Tidak akan pernah diterima! Davira terlalu membenci dirinya.     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.