LUDUS & PRAGMA

57. Suasana Hati



57. Suasana Hati

0Suasana yang khas selepas hakim mengetok palunya untuk memutuskan hukuman apa kiranya yang pantas diterima oleh si penjahat yang sudah meresahkan masyarakat umum. Isak tangis dari keluarga tercinta, bisik-bisik serta gosip mulai menyebar ke seluruh penjuru bangunan gedung pengadilan untuk membicarakan apa dan bagaimana pendapat mereka tentang keputusan hakim untuk memberi ganjaran pada si pendosa. Arka Aditya mulai terbiasa dengan hal itu. Memang awalnya terasa begitu aneh dan mengganggu dirinya. Hukum adalah hal yang tidak wajar untuk sebagaian masyarakat di muka bumi. Ada yang menganggap bahwa hukum tak pantas untuk memberi ganjaran pada manusia, sebab hukum tak pernah adil dalam memutuskan. Mereka tak pernah ingin mempercayai hakim dengan segala putusannya, sebab hukuman terbaik datang dari Yang Maha Kuasa.     
0

Namun untuk orang-orang yang 'melek' akan hukum maka ia akan mengerti mengapa hakim memutuskan seperti itu. Arka menang! Tidak, bukan kliennya tidak jadi masuk dan merasakan dinginnya bui dan sumpeknya ruang penjara. Merasakan bagaimana kerasnya hidup bersama para pendosa lainnya dan merasakan bagaimana buasnya neraka dunia itu. Ia menang sebab berhasil mengabulkan apa yang diminta oleh kliennya. Keringanan hukuman atas pencurian yang ia lakukan di kedai emas yang mengakibatkan pemilik gerai itu harus terluka dan dirawat di rumah sakit.     

"Terimakasih atas bantuannya, Tuan Arka." Wanita itu tersenyum manis. Menatapnya dengan penuh kasih sayang dan penghayatan yang dalam. Laki-laki yang dipanggil namanya itu hanya tersenyum singkat. Sejenak ia membungkukkan badannya untuk memberi salam penghormatan pada ibu paruh baya yang ada di depannya. Ia bukan orang berada, penampilannya menegaskan fakta akan hal itu. Seorang buruh cuci yang mendapat gaji tak seberapa banyaknya. Harus hidup dengan menyokong keluarga beranggotakan tiga anak tanpa suami yang mendampingi dirinya. Sungguh, semesta terkadang tak adil jikalau membagikan penderitaan untuk umatnya.     

"Sesuai dengan keinginanmu, Bu Anisa. Aku hanya mengurangi satu tahun masa hukumanmu. Jadi jangan terlalu menyanjungku begitu," ucapnya membalas. Wanita itu meraih pundaknya. Mengusapnya perlahan sembari mulai menelisik setiap bagian tubuh pria muda yang ada di depannya sekarang ini. Arka sedikit mirip dengan putranya. Hanya saja laki-laki ini jauh lebih sopan, mapan, dan berpendidikan.     

"Aku pergi dulu. Jaga kesehatanmu," tutur wanita itu dengan lembut.     

Arka mengangguk, kembali ia membungkukkan badannya untuk memberi salam perpisahan pada wanita yang ada di depannya itu. Mengijinkan si sipir penjara untuk membawanya mulai menjalai hukuman yang ia terima. Arka menatap tegas keperguan wanit itu. Menghela napasnya kasar kemudian sejenak ia menundukkan pandangannya. Menatap lantai ubin bangunan yang sama memantulkan bayangannya. Ia berbalik, berniat untuk pergi meninggalkan bangunan gedung dan kembali ke kantornya. Hari ini satu lagi kehiduapan sudah berubah dengan disaksikan oleh kedua matanya, didengar oleh kedua telinganya, dan dirasakan oleh hati nurani yang ia miliki. Miris pastinya, namun mau bagaiaman lagi? Ia bukan Tuhan yang bisa memberi putusan untuk membuat hidup seorang manusia berubah hanya sebab rasa iba yang ada di dalam dirinya saat ini.     

"Astaga!!!" Arka tersentak. Memundurkan langkahnya kala tak sengara netranya menangkap perawakan tubuh seorang gadis yang berdiri tepat di belakangnya. Sialnya, gadis itu tersenyum meskipun baru saja ingin membunuhnya dengan penyakit serangan jantung.     

"Ra! Kebiasaan lo bener-bener gak berubah!" Ia menggerutu. Tepat lensa itu menitik pada apa yang ada di dalam genggaman gadis di depannya itu.     

"Sorry," ucapnya melirih. Tersenyum kuda menatap sang sahabat.     

"Ngapain lo kesini?" tanya Arka membuat sebuah pertanyaan dengan wajah aneh.Gadis di depannya benar-benar membuatnya terkejut. Davira bukan pengangguran yang bisa menyambangi semua tempat yang ada di Jakarta. Arka mendengar semuanya, bahwa sang sahabat akan mulai bekerja minggu ini. Bukan sebagai seorang pegawai, namun sebagai seorang pemimpin muda yang harus mengurus banyak hal nantinya.     

"Mau minum kopi sama gue?" Gadis itu menawarkan. Menyodorkan satu cup kopi berukuran sedang dengan asap yang samar mengepul di udara. Gadis itu menunggu sebab Arka tak kunjung memberi jawaban pasti untuk tawarannya. Laki-laki itu hanya diam sembari menatap apun yang ada di depannya sekarang.     

"Ada masalah apa?" tanyanya tiba-tiba. Mengembalikan tatap matanya untuk menatap sang sahabat kali ini. Arka hapal benar bagaimana Davira Faranisa itu. Bahkan meskipun sudah lima tahun lamanya ia tak bersua dengannya.     

Arka benar, ia sedang berada dalam suasana hati yang buruk saat ini.     

*** LudusPragmaVol3 ***     

Davira menatap pagar rumput yang ada di depannya. Meluruskan kakinya sembari terus mengehla napasnya kasar sebab hatinya tak kunjung merasa baik-baik saja sejak kemarin malam. Ia, sedikit gusar. Tatapan nanarnya itu mulai menitik pada paras laki-laki dengan jas biru tua di sisinya. Awalnya tak bisa melihat Arka berpakaian seperti itu, namun lama kelamaan Davira mulai menyukainya.     

"Menurut lo keputusan gue sudah benar?"     

Arka menoleh. Menatap Davira dengan sedikit aneh. Kalimat itu terlalu rancu untuknya.     

"Mendekati Adam dan membantunya untuk mendapat kesepakatan dengan Raffa." Davira mengimbuhkan seakan mengerti bahwa diamnya sang sahabat sebab ia tak mengerti apa sedang dipertanyakan olehnya.     

"Menurut lo sendiri?" Arka berkelit. Mulai meminum satu cup kopi susu yang dibelikan oleh sang sahabat.     

"Gue hanya manusia. Pertanyaan seperti itu selalu mendapatkan jawaban yang sama. Keputusan gue sudah benar."     

"Lalu kenapa lo datang ke sini sekarang?" Arka menyahut. Menatap sepasang netra itu dengan penuh penuh pengertian. Davira tak pernah berubah untuknya. Ia masih gadis kikuk yang tak pandai membuat keputusan dalam dirinya soal cinta.     

"Untuk meyakinkan apapun yang mengganjal di dalam diri gue sekarang ini." Gadis itu tersenyum manis. Mulai menyeruput kopi yang ada di dalam genggamannya sekarang ini.     

"Davira ...."Arka memanggil. Melirik gadis yang baru saja mengecap rasa manis sedikit pahit yang menyentuh permukaan lidahnya, memang semua terasa aneh dan berat sekarang ini. Keadaan yang paling ia takutkan mulai benar dirasa oleh Davira Faranisa. Gadis itu hanya takut akan satu hal, ketidakpastian dan keraguan yang ada di dalam dirinya saat ini.     

"Lo bahagaia dan nyaman dengan pilihan ini? Jangan berbohong, kita sudah lama berteman. Berbohongan gak akan bisa membuat gue tertipu," ucap laki-laki yang ada di sisinya dengan senyum tipis. Ia rela jikalau kembalinya Adam dan Davira membuat sahabatnya itu bahagia dan nyaman dalam menjalani hidup, akan tetapi Arka akan marah besar kalau Davira kembali pada jalan yang salah. Kebodohan dan sikap sembrono itu tak boleh ada di dalam dirinya lagi.     

"Gue selalu memikirkan hal ini ... seandainya gue gak memaafkan Adam waktu itu, semua ini gak akan pernah terjadi. Gue hanya cukup jatuh sekali bukan berkali-kali. Bodoh 'kan gue?" tuturnya sambil terkekeh kecil.     

Arka mengangguk. "Hm. Lo bodoh banget."     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.