LUDUS & PRAGMA

58. Senyum Penuh Luka



58. Senyum Penuh Luka

0"Lakukan yang ingin lo lakukan, gue tak akan melarangnya." Kalimat itu menutup pembicaraan mereka beberapa waktu yang lalu. Arka tak ingin mencampuri urusan sang sahabat lagi. Mereka berdua bukan lagi remaja labil yang bisa berbagi semua duka dan suka bersama lagi. Arka memiliki kehidupan untuk dirinya sendiri, begitu pula Davira Faranisa. Gadis itu bukan lagi gadis labil seperti lima tahun lalu. Ia sudah dewasa, bukan hanya pasal berpakaian yang sudah terlihat lebih dewasa dan elegan, namun juga pasal cara berperilaku dan bertingkah.     
0

Mobil yang ia kendarai kembali melaju di jalanan kota. Membelah padatnya lalu lintas metropolitan yang tidak akan pernah sepi meskipun larut malam datang menyapa. Ia berbelok, tepat di ujung pertigaan Davira memelankan laju mobilnya. Pemandangan yang tak asing untuk gadis itu, memang. Akan tetapi sesuatu mencuri perhatiannya. Davira ingin datang menjemput sang mantan kekasih di rumah sakit ujung jalan ini, kiranya masih 400 menter sebelum ia dinyatakan memasuki kawasan rumah sakit. Adam seharusnya sudah menunggu dirinya di lobi rumah sakit sebab Davira sedikit terlambat kali ini. Bukan sebab ia mendatangi Arka, namun sebab jalanan yang tak memberinya celah untuk kesempatan melajukan mobil dengan sedikit cepat.     

Davira memghentikan laju mobilnya. Mematikan mesin dan menurunkan kaca jendela mobil yang ada di sisinya. Sesekali matanya mengerjap, mencoba untuk memastikan bahwa apa yang dilihat olehnya tak salah. Ada adam di depan kedai permen kapas itu. Duduk sembari menatap pemen kapas yang ada di dalam genggamannya. Davira tersenyum manis, menggelengkan kepalanya sembari tertawa geli untuk kelakuan sang mantan kekasih. "Cih, dasar bocah."     

"Adam!" Gadis itu memanggil. Mendorong pintu mobil dan turun dari mobil. Menghampiri laki-laki yang baru saja menoleh dan melambai ringan untuknya.     

"Kamu sudah datang?" ucap Adam tersenyum manis mengiringi kalimatnya. Gadis itu berjalan ringan sembari mengangguk-anggukkan kepalanya untuk memberi respon pada sang mantan kekasih.     

"Kenapa kamu di sini?" tanyanya menghentikan langkah dan menarik kursi yang ada di depannnya. Duduk berhadapan dengan sang kekasih yang terus saja menyapu setiap inci bagian wajah gadis yang ada di depannya. Adam masih saja terpukau dengan gadis itu. Wajahnya tak menua, namun semakin cantik dan berkharisma. Rambut pendek dengan ujung bergelombang itu terlihat begitu sangat cocok dengannya.     

"Ketika kita datang, aku melihat ada penjual permen kapas di sini, jadi aku memutuskan untuk mampir dan membelinya." Adam mempersingkat. Menatap permen kapas yang ada di dalam genggamannya kemudian kembali tersenyum ringan.     

"Aku membeli dua," imbuhnya menyodorkan permen kapas yang ada di dalam genggamannya pada gadis yang ada di depannya itu. Davira diam. Ia tak mengubris atau memberi respon dalam sejenak. Hanya menatap benda bertekstur lembut dengan warna merah jambu dengan aroma manis yang khas.     

"Kenapa membeli ini?" Davira kini kembali membuka mulutnya. Tersenyum aneh mengiringi kalimatnya. Adam menatapnya. Menarik pergelangan tangan gadis yang ada di depannya untuk memaksanya menerima pemberian dari Adam. Mereka sudah beberapa kali bertemu dan menghabiskan hari bersama. Dari terbit fajar hingga senja yang menutup hari. Akan tetapi, hanya Davira yang memberi dan Adam yang menjadi penerimanya. Kali ini Adam ingin membalikkan situasi yang ada.     

"Thanks," tutur Davira dengan lembut. Mencoba untuk akrab pada laki-laki yang ada di depannya ini. Adam banyak berubah, itulah yang menjadi kesan awal untuk Davira selama bertemu dengan mantan kekasihnya itu. Ia lebih tenang dan dewasa dalam menyikapi keadaan yang terjadi di sekitarnya, tak seperti Adam Liandra Kin yang dikenalnya dulu.     

"Ngomong-ngomong kamu datang ke sini sendirian? Berjalan kaki?" Davira kembali bertanya. Menyela aktivitas laki-laki berwajah tampan yang ada di depannya.     

"Hm. Butuh dua puluh menit untuk berjalan dengan jarak yang dekat," jawabnya terkekeh ringan. Adam Melirik sejenak gadis yang baru saja menghela napasnya. Memalingkan wajah untuk tak lagi menatap lawan bicaranya itu     

"Ah! Ini dari Dokter Bima," imbuhnya sembari memberikan secarik kertas untuk davira.     

Ia kembali menatap Adam yang ada di depannya. Perlahan tangannya terulur dengan jari jemarinya yang mulai menerima pemberian dari Adam. Davira membukanya. Netra pekatnya mulai menelisik setiap kata yang tertulis di dalam kertas. Laporan perkembangan pemeriksaan Adam Liandr Kin. Perkembangan yang bagus! Pemuda tampan satu itu benar-benar berusaha dengan baik.     

"Good job, Adam" Davira mengembalikkan kertas itu. Tersenyum manis pada sang mantan kekasih yang hanya menganggukkan kepalanya ringan.     

"Ngomong-ngomong ... kamu ingin hadiah apa dari aku?" selanya memotong aktivitas Adam yang baru saja ingin memakan permen kapas yang ada di dalam genggamannya.     

"Kamu penasaran?" tanya Adam berkelit. Gadis di depannya menganggukkan kepalanya ringan. Berdeham untuk mulai memberi respon atas apa yang dikatakan oleh Adam.     

"Aku akan memberi tahu kalau waktunya sudah tepat."     

Davira menghela napasnya. Tersenyum simpul lalu memalingkan wajah untuk menyembunyikan wajah lucunya sekarang ini. Ia tak tahu kalau selera humor sang mantan kekasih masih saja sama seperti dulu.     

"Mintalah sesuatu juga nanti. Aku akan memberikannya untuk membalas kebaikan kamu."     

"Apapun?" tanya Davira menyahut.     

"Apapun!"     

*** LudusPragmaVol3 ***     

"Jadi kakak adalah Arka Aditya?" Gadis itu membuka mulutnya setelah sekian lama waktu berselang. Laki-laki yang menjadi lawan bicaranya itu mengangguk ringan. Tersenyum manis sembari menatapnya penuh kehangatan, sedikit sulit untuk bertemu dengan Naila di lingkungan kampus ini. Ia tak mengenal akrab gadis itu, Arka hanya tau nama dan wajahnya saja. Pemakanan sang ibunda tercinta kemarin itu menjadi penegas bahwa ia harus segera menemui Naila.     

"Raffa bilang bahwa kakak mengembalikan map yang aku kirim," ucapnya lagi. Arka pun hanya menganggukan kepalanya untuk kedua kalinya. Mengerang ringan untuk memberi respon setuju dengan apa yang dikatakan oleh Naila. Memang benar ia mengembalikan map itu sebab Raffa tak mau menurut dengannya.     

"Kalau boleh Naila tahu—"     

"Karena Raffa gak mau nurut sama aku," ucapnya menyela.     

Gadis yang ada di depannya kini terdiam. Sejenak membulatkan matanya untuk memberi respon atas kalimat yang baru saja di dengar olehnya.     

"Lupakan!" Arka mengimbuhkan. Menarik segelas air putih dingin yang ada di depannya. Meneguknya kasar kemudian ber-ah ringan kala merasakan basah dan lega di dalam tenggorokannya.     

Naila diam. Menundukkan pandangannya sebab ia tak tahu lagi harus berbicara apa untuk memberi respon pada lawan bicaranya. Naila tak bisa memaksa Arka untuk menerimanya di perusahaan tempatnya berkerja.     

"Datanglah ke sini, perusahaan itu sedang mencari pegawai magang yang baru." Arka menyodorkan satu kartu nama kecil untuk Naila. Sigap arah lensa itu kembali menatap tepat di atas permukaan meja. Naila meraihnya. Mulai membaca isi yang mempekenalkan perusahaan hebat di tengah kota.     

"Pemiliknya adalah—"     

"Hm, Davira Faranisa," Ucap Arka memotong kalimat dari Naila. Tersenyum manis sembari memberi tatapan untuk gadis yang ada di depannya.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.