LUDUS & PRAGMA

59. Pertemuan yang Singkat



59. Pertemuan yang Singkat

0"Tidak mampir dulu, Davira?" Suara berat itu menyela fokusnya. Gadis yang duduk di kursi kemudi itu menoleh. Tepat menatap pria muda dengan hoodie tebal yang membalu tubuh kekarnya. Adam Liandra Kin. Ini adalah kawasan rumahnya.Tepat di depan gerbang besar, Davira menurunkan Adam yang menjadi penumpang utamanya sore ini. Selepas menghabiskan permen kapas mereka, Davira bergegas menghantarkan Adam pulang. Bukan menuju galeri seni, namun Adam meminta untuk dihantarkan ke kediamannya saja. Davira menurut, toh juga berdebat dan menolak permintaan Adam Liandra Kin tak akan ada gunanya sama sekali.     
0

--dan di sinilah keduanya berada sekarang. Bangunan ini tak berubah sedikitpun. Semuanya tetap sama seperti saat terakhir kali dirinya datang kemari.     

"Aku harus ke kantor setelah ini. Katanya ada yang mencariku, jadi aku harus bergegas." Gadis itu menolak. Bukan hanya alasan semata, namun Davira mengatakan apa yang menjadi faktanya. Dalam perjalanan kemari, ponselnya tak henti-hentinya berdering. Tak hanya panggilan, namun juga spam pesan dari Tuan Raka yang memintanya untuk datang ke perusahaan sekarang. Katanya seorang gadis muda berparas cantik sedang menunggu dirinya di sana. Tuan Raka menyembut kata 'gadis muda' itu artinya bukan si brengsek Davina Fradella Putri.     

"Ah, begitu." Adam menganggukan kepalanya. Mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Davira saat ini. Gadis itu sangat sibuk mulai sekarang, jadi ia harus bisa mengerti itu.     

"Kalau gitu lain kali mampirlah, mama pasti senang melihatmu." Laki-laki itu mengimbuhkan. Tersenyum manis sembari mendorong pintu mobil yang ada di sisinya. Yang diajak berbicara hanya terdiam, merekahkan senyum manis di atas paras cantiknya kemudian mengangguk ringan untuk itu. Davira akan mampir, namun nanti kalau hatinya mengijinkan.     

"Hati-hati di jalan, Dear!" Adam tersenyum lepas setelah mengucap panggilan yang tak asing untuk Davira itu, sedangkan gadis yang ia beri panggilan hanya diam sembari sejenak membulatkan matanya. Davira tak tersenyum sedikitpun sekarang ini. Ekspresi wajahnya benar-benar datar tanpa makna yang mendalam.     

"T—tentu," ucap gadis itu terbata-bata sembari menggigit bibir bawahnya. Tidak, Davira tidak boleh luluh hanya karena panggilan itu. Sialan memang Adam Liandra Kin itu!     

*** LudusPragmaVol3 ***     

Kitten heels itu tegas menapaki satu demi satu ubin yang ada di bawahnya. Memilih lift yang ada di ujung lorong ketimbang menunggu lift yang dibangun di sisi pintu masuk gedug. Tatapannya tak fokus sebab banyak karyawan yang mulai menyapanya dengan santun. Davira memang belum resmi diangkat menjadi bos besar di sini, namun semua sudah mendengar kabar dan mengenal gadis itu dengan baik. Davira mirip dengan Denis ketika memimpin, begitulah kiranya kabar yang didengar oleh seluruh pegawai yang ada di sini. Itu sebabnya mereka menyambut baik dan hangat kedatangan Davira Faranisa.     

"Nona Davira ...." Seseorang memanggil dirinya. Kali ini bukan Tuan Raka, namun seorang wanita yang kiranya seusia dengan mama kandungnya. Davira menoleh. Baru saja ia ingin masuk ke dalam lift, namun kakinya terhenti untuk menunggu wanita yang berjalan mendekat ke arahnya itu.     

"Nona sudah datang rupanya." Wanita itu tersenyum ringan. Mengulurkan satu tangannya untuk memberi celah bagi Davira agar bisa masuk ke dalam lift.     

"Senang bertemu denganmu, Nona." Sangat ramah, itulah kesan yang timbul kala netra Davira menangkap senyum dan tatapan matanya. Suara yang dihasilkan dari gerak bibirnya pun sehalus sutra, membuat siapapun yang mendengarnya akan merasa nyaman dan damai.     

"Nama saya Ella. Semua memanggil Bu Ella. Saya sudah bekerja dua puluh tahun di sini, Tuan Denis banyak membantu keuangan keluarga saya," tuturnya menerangkan.     

Davira hanya mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. "Senang bertemu dengan Anda, Bu Ella. Saya Davira Faranisa."     

"Nona akan pergi lantai atas? Tuan Raka memesan agar menghantarkan Nona untuk menemui tamu yang datang." Ella kembali menyela selepas gadis itu memperkenalkan namanya dengan ramah dan sopan. Seperti rumor yang terdengar, bahwa Davira sangat ramah dan bersahabat.     

"Tentu. Terimkasih sudah mau menghantar," sahut Davira tersenyum ramah. Sepersekian detik kemudian, suara pintu lift terbuka menjadi pemecah keheningan di antara mereka berdua. Disusul dengan suara langkah kaki yang saling beriirngan untuk menghantarkan gadis itu ke ruang temu yang belum pernah dikunjungi oleh Davira Faranisa sebelumnya.     

Ruangan dengan sekat kaca buram nan tebal itu kini mencuri fokus milik Davira Faranisa. Dua pasang pintu yang masih tertutup rapat kini mulai dibuka oleh wanita paruh baya yang mempersilakan dirinya untuk masuk ke dalam. Davira melihatnya dengan jelas. Di depan sana tepat di sisi sofa tengah rungan seorang gadis muda menunggu dirinya dengan penuh harapan. Senyum menyambut. Manis dan polos penuh dengan kesucian, gadis muda itu adalah Naila. Si malang yang baru saja kehilangan separuh napasnya, kematian sang ibunda tercinta.     

"Dia temanku, Anda bisa meninggalkan kami," ucap Davira memberi perintah dengan lembut. Yang diperintahkan hanya tersenyum dan mengangguk ringan. Membungkukkan badannya sebelum akhirnya pergi dan berlalu.     

Davira berjalan masuk, menghampiri Naila yang sudah menunggu dirinya sedari tadi.     

"Pasti datang karena Arka bukan?" Davira menebak. Duduk di sisi Naila yang hanya tersenyum sembari menganggukkan kepalanya.     

"Arka sudah memberi tahu kemarin, tapi aku tak tahu kalau kamu akan datang secepat ini. Aku kira kamu akan memikirkannya terlebih dahulu," ucap gadis berambut pendek itu kembali menyela. Naila laigi-lagi hanya tersenyum. Sejenak diam untuk mencoba untuk menempatkan dirinya dalam situasi aneh seperti ini. Berbicara langsung dengan bos besar pemilik perusahaan ternama di Jakarta, tentu menjadi kebanggaan sekaligus ketakutan tersendiri untuknya.     

"Aku sudah memikirkannya beberapa jam yang lalu," tukas Naila bersuara. Gadis itu kini menyodorkan satu map yang ada di atas pangkuannya untuk Davira.     

"Aku ingin kakak memerika itu dengan teliti. Jangan terima aku sebab aku adalah sahabatnya Raffa," ucap Naila menurunkan nada bicaranya.     

"Tenang saja, aku dikenal gadis dengan ego dan pendirian yang kokoh," tukas Davira tersenyum manis. Mulai membuka map yang ada di depannya dan membaca seluruh dokumen yang ada di dalamnya sekilas pandang. Tidak, Davira tak akan memutuskannya sekarang. Ia akan memutuskannya lain waktu.     

"Aku akan meneliti dulu. Tinggalkan nomor telepon dan sekretarisku akan menghubungi dirimu." Davira memerintahkan. Tak mengurangi senyum manis yang ada di atas paras cantiknya sekarang.     

Naila menganggukkan kepalanya mengerti.     

"Ngomong-ngomong, kenapa kakak pergi ke London segitu lamanya? Di sini banyak orang yang menyayangi kakak, bahkan remaja aneh sepereti Raffa sekalipun." Gadis bersurai pekat itu kembali menyela. Menarik pandangan Davira untuk kembali menatapnya dengan benar.     

"Bukankah waktu itu sudah pernah kukatakan alasannya?"     

Naila mengangguk. "Hanya saja ... itu bisa diselesaikan dengan cara yang lebih baik dari pada pergi dan melarikan diri, bukan?     

Davira terdiam sejenak. Menganggukkan kepalanya setuju. "Sayangnya aku adalah pengecut gila yang suka berlari untuk menghindari kenyatan yang pahit."     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.