LUDUS & PRAGMA

60. Perasaan Yang Aneh



60. Perasaan Yang Aneh

Suara dentingan sendok dan garpu yang saling beradu di atas permukaan piring itu kini mulai terhenti seiring dengan menu yang disantap olehnya mulai menipis. Ia tak lagi menatap nasi goreng yang ada di depannya, namun wajah cantik jelita seorang gadis berambut pekat yang diikat separuhnya. Dia adalah Rena Rahmawati, si tuan rumah yang sudah baik menjamu dirinya pagi-pagi begini. Arka datang tiga puluh menit yang lalu. Menyambangi rumah Rena bukan tanpa alasan yang pasti. Rena mengirimi dirinya pesan kemarin malam. Meminta tolong pada Arka untuk menjemputnya sebab ia tak bisa menunggu bus pagi ini. Rena harus menemani bosnya untuk meeting dengan klien baru. Ia tak boleh terlambat dengan penampilan yang acak-acakan. Rena harus melakukan yang terbaik, namun menyewa taksi untuk jarak kantor yang jauh hanya akan membuat kantungnya terkuras banyak. Jadi Arka adalah harapannya!     

"Nak Arka gak mau tambah lagi?" Suara wanita tua menyela dirinya. Pria muda yang baru saja mendorong piring kosong di depannya itu menoleh. Sedikit mendongakkan kepalanya sebab wanita dengan penampilan ala kadarnya itu jauh lebih tinggi posisinya dari dirinya sekarang ini.     

"Tidak, Nek. Aku sudah kenyang." Arka menyahut. Merekahkan senyum di atas paras tampannya. Ia tak ingin merepotkans sebenarnya. Ia hanya datang sebab ingin membantu sang sahabat lama. Rena meminta bantuan padanya, itu sebabnya ia datang pagi-pagi hingga tak sempat untuk menyarap.     

"Kalau gitu makan buahnya." Wanita tua dengan daster kain bermotif abstrak itu duduk di sisinya. Menyodorkan satu piring dengan potongan buah apel yang ada di atasnya.Arka membungkukkan badannya sejenak. Sembari tersenyum ramah, ia menerima pemberian itu. Nenek Rena menyukai pria muda yang penuh dengan kesopanan di dalam dirinya seperti Arka Aditya ini, cucunya harus hidup dan menjalani kehidupannya dengan pria baik semacam ini.     

"Ngomong-ngomong, kamu sudah punya kekasih?" tanya Nenek Rena tiba-tiba. Bukan hanya Arka yang tersedak, namun juga si cucu berwajah cantik yang baru saja ingin mencuci mulutnya dengan segelas air putih dingin.     

Rena melirik lawan bicaranya sekarang ini. Tersenyum aneh untuk membalas ekpresi wajah Arka yang terlihat begitu canggung. Tentu, Arka bukan orang yang suka membahas pasal jodoh dan wanita dengan orang tua yang lahir di jaman kuno seperti neneknya sebab Arka tahu pemikiran orang tua jaman dulu pasti sangat kuni dan monoton juga tua, setua usia mereka. Perjodohan bak siti nurbaya akan mengiringi di bagian akhir pembicaraan mereka nanti. Akan tetapi kalau tak diberi jawaban, maka semua kesan sopan yang ia jaga akan hilang begitu saja.     

"Kenapa nenek bertanya tentang itu? Hanya membuat suasana menjadi aneh saja!" Rena menggerutu. Mewakilkan apa yang ingin dikatakan oleh Arka melalui semburat wajah aneh yang diberikan untuk Rena.     

"Hei, nenek hanya penasaran. Arka adalah pria yang tampan, mapan, dan sopan. Dia adalah pria yang baik. Kali saja kalau dia belum punya kekasih, kamu bisa jadi—"     

"Cukup, Nek!" Gadis itu kembali menyela kalimat sang nenek. Sedikit membentak sebab ia tak bisa mendengar neneknya kembali mempermalukan dirinya di depan Arka. Ini bukan kali pertama neneknya begini. Sudah kesekian kalinya ia mempromosikan Rena agar Arka mau meminangnya sebagai istri yang sah. Usia keduanya juga bisa dibilang cukup matang, pekerjaan yang tetap dengan gaji yang cukup untuk membangun semua hubungan rumah tangga. Wanita tua itu selalu mengajari banyak hal pada cucunya. Mulai dari memasak, membersihkan rumah, dan tata cara menjadi wanita yang baik. Rena banyak berubah bukan hanya sebab dukungan dari Arka dan Davia, namun neneknya juga turut andil untuk hal itu.     

"Arka belum menjawab apapun dari tadi," ucap neneknya teguh dalam pendirian. Wanita tua itu kini menatap Arka dengan penuh makna dan pengharapan. Binar manik indah itu seakan sedang memohon padanya untuk mulai memikirkan pasal Rena, sang cucu.     

"Nenek tidak memaksa, tapi cobolah untuk memikirkan ini. Kalian sudah dekat selama bertahun-tahun." Ia melirih sembari terus mengusap punggung tangan pria muda yang ada di sisinya. Mendengar itu, Arka hanya bisa tersenyum geli. Ingin rasanya ia tertawa lepas untuk ini, namun ia harus tetap menjaga kesopanan di depan nenek Rena.     

Arka melirik gadis yang kini menundukkan wajahnya. Bukan malu, Rena terlihat memendam kekesalan dengan helaan napas kasar dan berat itu. Hanya Rena yang tahu rasa yang ia miliki untuk Arka sekarang ini, pria satu itu tak tahu apapun!     

"Tentu, aku akan memikirkannya, Nek." Laki-laki berwajah tampan itu membalas usapan wanita tua yang ada di sisinya. Semakin tegas mengembangkan senyum untuk membalas apa yang diberikan sang nenek padanya.     

"Kita akan berangkat!" Tubuh gadis itu tiba-tiba bereaksi, bangkit dari tempat duduknya dan mulai menarik jaket serta tas berukuran sedang yang biasa ia bawa kalau pergi bekerja.     

"Makannya dihabiskan dulu, Rena."     

"Rena sudah kenyang," tukasnya berlalu. Melangkah keluar dari kursi yang menyangga tubuhnya dan mulai berjalan menjauh dari meja makan. Rena pergi dengan hati yang tak baik kali ini, neneknya selalu saja begitu. Berpikir bahwa apa yang dilakukan oleh Raka selama ini adalah bentuk dari kasih sayang seorang laki-laki pada wanitanya.     

"Aku juga pamit, Nek. Terimakasih sarapannya." Arka kembali mengembangkan senyum manis. Bangkit dari tempat duduknya dan mulai pergi mengejar Rena. Ia melangkah dengan cepat, takut-takut kalau terlalu lama menunggu di depan sana, hati Rena bertambah kalut.     

Netranya mulai menangkap perawakan tubuh yang sudah tak asing untuknya lagi, Rena Rahmawati. Gadis itu berdiri di sisi mobilnya sembari melipat tangannya rapi. Menunggu dengan menatap permainan ujugn sepatu miliknya yang beradu satu sama lain.     

"Lo marah hanya karena bercandaan nenek lo?" Arka menyela. Tersenyum manis untuk gadis yang baru saja mendongakkan wajahnya.     

Bercanda? Ah, benar! Hanya dirinya yang memikirkan tentang itu selama ini.     

"Gue Cuma gak mau kita jadi canggung dan lo jadi gak nyaman datang ke rumah gue." Rena beralasan.     

Pria muda dengan jas rapi dan dasi yang berwarna senada itu kini menundukkan pandangannya sejenak. Menatap ujung sepatu Rena yang mulai familiar untuknya.     

"Udah lah, kita harus pergi sekarang." Gadis itu melanjtukan. Berniat untuk berlalu dan masuk ke dalam mobil yang ada di sisinya, namun naas! Pergelangan tangannya hangat digenggam oleh jari jemari milik lawan bicaranya itu. Sukses membuat Rena menoleh padanya. Mengembalikkan segala fokus miliknya untuk Arka Aditya.     

"Gimana kalau gue suka dengan lelucon itu?" tanya berbasa-basi.     

Rena mengerutkan dahinya tak mengerti. Otaknya belum sampai untuk bisa mencerna apa maksud kalimat yang diucapkan oleh Arka barusan.     

"Kenapa kita gak coba dulu untuk itu," imbuhnya.     

"M—maksud lo?" Rena menyahut. Nada bicaranya melirih dengan tatapan mata penuh ketidakmengertian.     

"Lo mau jadi pacar gue, Rena?" tanya Arka membungkam gadis yang ada di depannya. Seharunya Rena bahagia, hatinya berbunga-bunga untuk ini. Akan tetapi kenyataannya ia hanya merasa semua ini aneh dan tak nyata.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.