LUDUS & PRAGMA

61. Langkah dan Haluan



61. Langkah dan Haluan

0Ayunan kecil menjadi tempat untuk memyangga dua tubuh dua laki-laki berwajah identik yang kini menatap jauh apapun yang ada di depan mereka. Adam akan pergi untuk melakukan terapi beberapa menit lagi, menunggu Davira datang yang katanya akan sedikit terlambat kali ini. Adam menunggu di halaman depan. Duduk di atas ayunan kecil ditemani sang adik kandung yang ada di sisinya sekarang ini. Galeri seni ditutup untuk sementara waktu hingga Adam bisa menemukan seseorang untuk menjadi pegawainya, entah itu laki-laki entah itu perempuan. Yang terpenting untuknya adalah seseorang membantu dirinya untuk mengelola galeri seni yang dibangun oleh jerih payahnya.     
0

"Gimana sama kaki kakak? Semuanya baik-baik aja? Bagaimana dengan perkembangannya?" Laki-laki yang ada di sisinya kini menoleh. Menyela dengan cecar pertanyaan tanpa memberi sedikit celah untuk Adam bisa menjawabnya. Raffa terlihat lebih bersemangat kalau menyinggung pasal terapi yang sedang dijalani oleh kakaknya.     

"Baik, dokter bilang perkembangannya luar biasa. Kalau kakak lebih banyak berusaha lagi tahun iki kakak bisa berlari dengan kencang." Adam menyahut. Tersenyum ringan pada sang adik yang hanya mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Raffa tak lagi berbicara selepas mendengar penjelasan sang kakak. Remaja jangkung itu hanya terus menatap map cokelat yang ada di dalam genggamannya sekarang.     

Saat Raffa datang, Adam tak mempermasalahkan apa yang sedang dibawa oleh adiknya, ia hanya menatapnya sesekali. Akan tetapi lambat laun Adam mulai memperdulikannya. Apa yang menjadi isi map cokelat itu mencuri perhatian Raffa juga Adam. Sesekali Adam melirik sang adik yang terus memainkan ujung map dan membolak-balikkan benda itu, kemudian memindah fokusnya untuk menatap permukaan map dengan terus mencoba menerka apa yang menjadi isi di dalamnya.     

"Gimana sama Kak Davira?" tanyanya kembali menyela. Kali ini sorot lensa itu ia berikan kembali untuk sang kakak. Menatap Adam dengan penuh makna dan pengharapan. Ia ingin melihat siapapun bahagia, tak ada luka yang menyelimuti di dalam hati. Semua tersenyum menjalani kehidupannya masing-masing. Jika sang kakak bahagia begitu juga Davira Faranisa yang merasakan hal yang sama, maka Raffa akan membatalkan persetujuan mereka. Tujuan awalnya memang membuat sang kakak kembali sembuh lagi. Berjalan bahkan berlari menembus semesta. Bukan pasal Davira Faranisa awalnya, namun hanya pasal kebahagian dan kenyamanan sang kakak. Raffa memang membenci Adam, namun ia lebih membenci keterpurukan pria muda itu. Davira yang membuatnya terpuruk, maka Davira pula yang bisa mencabut keterpurukan itu.     

"Gimana apanya?     

"Dia nyaman dengan ini? Harus menghantar kakak ke sana ke sini. Menunggu dan memeriksa semua kondisi kakak, dia terlihat nyaman atau tertekan?" Raffa menjelaskan singkat. Matanya terus saja masuk kek dalam netra pekat milik Adam. Remaja itu ingin mulai menebak dan menerka apa kiranya yang terjadi di antara keduanya selama beberapa hari ini. Ia tak ingi lagi tertipu akan hal itu.     

"Kita membicarakan banyak hal, kita pergi beberapa tempat kadang kala, kita berjalan bersama, dan kita menghabiskan waktu bersama. Aku juga membelikannya permen kapas kemarin, memanggil namanya dengan lembut, dan tersenyum untuknya. Kemarin kita bahkan membuat janji untuk dua bulan ke depan."Adam menjelaskan. Menceritakan semua yang ingin ia ceritakan pada sang adik. Tak banyak yang istimewa memang, semua hanya terdengar biasa saja. Akan tetapi bagi Adam semua itu membahagiakan dirinya.     

"Jadi?"     

"Hanya itu yang bisa aku katakan. Davira tak pernah memberi tahu apakah dia bahagia atau tidak," ucap Adam menutup kalimatnya.     

Raffa mengangguk. Tersenyum ringan sembari mengubah arah pandangannya. Tak lagi menatap sang kakak, kini lensa indah itu menatap dokumen yang ada di dalam genggamannya. Jujur saja, Raffa membawanya sebab ia ingin mengubah semua yang sudah direncakan olehnya dari awal. Ia tak ingin membantu Davira Faranisa untuk menjauhi kakaknya, pun jika ia membantunya hasilnya tetap akan nihil. Raffa mengenal baik kakaknya itu, jika Adam sudah berambisi maka ia harus mendapatkan ambisi itu seutuhnya.     

"Ngomong-ngomong itu dokumen apa? Soal kuliah?" tanya Adam mengubah arah pembicaraan mereka. Raffa menoleh. Sejenak melirik map cokelat yang ada di dalam genggamannya kemudian menatap sang kakak penuh makna. Sejauh ini ia belum mengumpulkan niat untuk memberikan semua fakta pada sang kakak. Ia tak ingin sembrono lagi seperti dulu, Raffa ingin melangkah dengan cara yang benar dan hati-hati.     

Keduanya terdiam. Raffa yang memilih bungkam enggan menjawab pertanyaan sang kakak dan Adam yang memilih untuk tak lagi berbicara banyak. Ia hanya ingin diam dan terus menatap jarum jam yang ada di dalam jam kecil di atas pergelangan tangannya itu. Davira akan datang beberapa menit lagi. Rasanya benar-benar rindu sekarang ini, meskipun baru saja kemarin ia bertemu dengan sang mantan kekasih.     

"Kakak mencintai Kak Davira?" tanyanya menyela keheningan. Mencuri perhatian Adam yang kini menoleh padanya. Pertanyaan itu bukan pertama kalinya ia dengar, namun rasanya tetap saja sama. Ia masih merasa sesak dan sakit ketika mendengarnya.     

"Kamu tau apa yang paling aku sesali sampai sekarang?"     

Raffa menggelengkan kepala.     

"Bukan kepergian Davira atau kebencian Davira padaku. Bukan juga kecelakaan yang membuat aku harus duduk di atas kursi roda. Aku sudah tak menyesali itu semua."     

Adam menghirup napasnya dalam-dalam. Melirik sang adik kemudian mengembuskannya secara perlahan. "Aku menyesal karena tak sempat untuk mencintainya seperti saat ia mencintaiku dengan tulus. Jika diberi kesempatan lagi, aku hanya ingin terus mencintai gadis itu dengan tulus," ucapnya tersenyum miring.     

"Map ini adalah perjanjian aku dan Kak Davira. Kita saling berjanji satu sama lain," sahut Raffa sembari mengulurkan map itu pada Adam. Sang kakak menoleh. Melirik wajah yang identik dengannya itu kemudian menerima apa yang diberikan Raffa untuk dirinya.     

"Aku ingin Kak Davira membantu agar kakak bisa berjalan lagi. Aku tahu motivasi apapun yang kakak dapatkan tak akan pernah bisa mengubah pendirian kakak bukan? Jadi aku meminta bantuan pada ahlinya," tukasnya menjelaskan dengan singkat.     

"Lalu apa yang diminta Davira?" Adam menyahut. Menatap sang adik dengan penuh makna.     

"Dia meminta aku untuk membantunya menjauh dari kakak setelah semua yang dia lakukan. Meskipun tinggal dalam satu kota, tapi dia tak ingin bertemu lagi dengan kakak juga aku."     

Adam terdiam. Sakit tentunya mendengar semua itu. Ia mengira Davira masih mencintainya dan nyaman dekat dengannya. Adam salah besar! Ada udang dibalik batu.     

"Kenapa kamu memberitahukan itu sekarang?     

"Karena aku melihat hal lain yang terjadi." Raffa menyahut. Sukses membuat Adam terdiam sembari menyipitkan matanya.     

"Rasa di antara kalian masih ada. Kalian hanya orang-orang licik yang menutupi itu semua," tukasnya menegaskan.     

"Ambil mapnya dan aku akan menbatalkan perjanjian itu. Aku gak ingin ikut campur dan bertingkah seperti bocah yang sembrono," pungkasnya menutup kalimat.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.