LUDUS & PRAGMA

63. Akhir dan Awal



63. Akhir dan Awal

0Davira menatap lukisan besar yang ada di depannya. Ruangan ini memang sedikit asing untuk dirinya sekarang, mengingat ini adalah kali pertama dirinya datang sebagai pemimpin sah perusahaan milik sang ayahanda. Gadis itu terus saja menghela napasnya ringan. Gelisah mulai dirasakan oleh Davira. Tugas yang ada di pundaknya sekarang lebih besar. Ia adalah penentu nasib perusahaan besar ini sekarang.     
0

Suara pintu diketuk membuyarkan fokusnya. Netra indahnya mulai menangkap pergerakan gagang pintu diikuti dengan suara berat nan lirih yang menyela. Davira terus menatapnya. Mencoba menerka siapa kiranya yang datang menyambangi dirinya di sini. Jika bukan Tuan Raka, maka Davira berharap itu adalah Ibu Ela. Wanita baik yang selalu tersenyum padanya.     

"Nona Davira ...." Bingo! Tebakannya benar. Tuan Raka berdiri di ambang pintu. Tersenyum padanya sembari sejenak membungkuk tubuh kurusnya. Ia tak sendiri, seseorang berdiri di belakangnya sekarang ini. Kiranya Davira sedikit mengenal ujung sepatu putih bersih itu. Identik dengan hadiah yang ia berikan pada seseorang.     

"Ada yang ingin bertemu dengan Anda, Nona." Tuan Raka mengimbuhkan. Kembali menarik posisinya agar berdiri tegap menghadap bos barunya. Davira memutar tubuhnya. Menatap siapa kiranya yang sedang bersembunyi di balik punggung lebar milik Tuan Raka.     

"Silakan masuk," ucap Tuan Raka sembari memutar tubuhnya serong. Memberi celah untuk tamu yang datang dengan harap Davira mau menemuinya. Semua orang yang ada di lantai bawah mencegah. Mengatakan bahwa jika ingin bertemu dengan bos mereka, maka harus membuat janji terlebih dahulu. Tak bisa asal masuk, tak bisa asal meminta untuk bertemu.     

"Raffa!" Davira merekahkan senyum manis. Menyambut kehadiran remaja jantung yang datang dengan penampilan khas seorang anak kuliahan. Ada satu tas punggung yang menghias di atas pundaknya. Penampilan rapi dengan satu buku yang ada di dalam genggamannya. Khas seseorang yang baru saja kembali dari tempatnya menimba ilmu.     

"Masuklah," tukas Davira memberi perijinan. Mengabaikan Tuna Raka yang kini tersenyum dan kembali membungkukkan badannya. Pria itu hanya bertugas untuk menghantar Raffa sampai ke ruangan ini, selebihnya tak ada! Ia tak pantas menyela apapun sekarang. Jadi pergi adalah keputusan terakhir pria berkacamata itu.     

Pintu kembali ditutup. Di dalam ruangan dengan keadaan rapi nan terlihat begitu luas ini, Davira dan Raffa berada. Gadis itu menuntun langkah remaja yang menjadi tamu istimewanya sekarang. Selepas pelantikan dirinya, tak ada yang datang sebab sibuk adalah halangan yang menghadang. Namun Raffa datang untuk memberikan selamat padanya. Meskipun tak ada bunga, kartu ucapan, atau buah tangan yang dibawanya untuk hari istimewa ini, namun Davira setidaknya bahagia dengan kunjungannya.     

"Mau aku pesankan teh atau—"     

"Tidak perlu, Kak. Aku tak akan lama." Raffa menyahut. Menatap Davira dengan penuh kehangatan. Remaja itu kini duduk di sis sofa besar sudut ruangan. Mulai menyapu setiap bagian ruang kerja Davira yang terlihat begitu nyaman dan luas. Ia menikmati dekorasinya. Semua tertata rapi di tempatnya. Aroma khas wewangian mulai masuk dan menari-nari di dalam lubang hidung Raffa. Disusul dengan udara dingin hasil dari embusan AC di sudut ruangan. Benar-benar gaya seorang Davira Faranisa.     

"Aku datang karena ingin mengatakan sesuatu." Raffa menyela. Menarik perhatian Davira yang baru saja ingin meletakkan tubuhnya di atas sofa. Duduk berhadapan dengan remaja jangkung yang ada di depannya itu. Raffa tak lagi berucap, bibirnya bungkam bersama dengan embusan napas singkat nan lirih. Menandakan bahwa hatinya sedang tak baik-baik saja sekarang.     

Davira mengernyitkan dahinya. Matanya kembali fokus untuk menatap remaja jangkung yang ada di depannya sekarang ini. "S--sesuatu?" tanya Davira sedikit terbata-bata. Netranya mulai menelisik setiap pergerakan yang diciptakan oleh Raffa. Remaja itu sibuk membuka tas dan mengeluarkan sesuatu di dalamnya. Map cokelat tua kini tertangkap oleh sepasang lensa milik Davira, sejenak ia bertanya-tanya apa kiranya yang ada di dalam map itu? Mengapa Raffa mengeluarkannya sekarang?     

"Ini untuk kakak," ucapnya menyodorkan apa yang ada di dalam genggamannya.     

Davira diam sejenak. Tatapannya aneh menelisik setiap bagian map cokelat yang disodorkan padanya.     

"Apa isinya?" tanya Davira berbasa-basi.     

"Buka dulu, nanti pasti tahu," sahut Raffa tersenyum manis.     

Davira menerima itu. Mulai membukanya dengan perlahan-lahan. Tetap dalam tingkat kewaspadaan tinggi untuk menyiapkan hatinya. Perlahan ia mulai mengenali isi map itu. Sebuah perjanjian yang tak asing untuk dirinya. Perjanjian itu ada selepas ia berdiskusi dengan Raffardhan Mahariputra Kin.     

"K--kenapa kamu mengembalikan ini?" tanya Davira sembari mengerutkan dahinya. Sejauh ini ia masih belum bisa mengerti mengapa Raffa melakukan ini padanya? Remaja itu ingin membatalkan perjanjian mereka? Tidak! Ini menyalahi aturannya.     

"Aku ingin membatalkan perjanjiannya," ucap Raffa enggan menatap gadis yang ada di depannya. Davira terdiam. Menggelengkan kepalanya untuk menolak ide gila yang baru saja didengar olehnya.     

"Kenapa tiba-tiba?!" Davira mulai melukiskan kekesalan di atas paras cantiknya. Ia membenci orang yang tak menepati janjinya seperti Raffa. Semua sudah direncakan oleh keduanya, Raffa dan Davira sudah sepakat satu sama lain. Kiranya hingga Adam sembuh, dua bulan lagi jikalau benar perkiraan Davira dan Dokter Bima.     

"Kakak hanya cukup menyetujuinya saja. Aku akan—"     

"Bagaimana dengan Adam? Dia ada di rumah sakit sekarang ini. Dia sedang bersemangat untuk sembuh dan kamu malah membatalkan semuanya?!" pekiknya tersenyum seringai.     

"Segitu bencinya kamu sama kakak kamu?" Davira mulai terpancing. Baginya manusia yang paling jahat di dunia ini adalah mereka yang tega mematahkan semangat seseorang.     

"Aku hanya akan memutuskan ini ...." Raffa sejenak menjeda kalimatnya. Kembali menatap Davira yang diam sembari memberi sorot lensa penuh ketidakmengertian untuk sekarang. Raffa yang datang padanya, Raffa pula yang menawari dirinya kesepakatan ini. Akan tetapi, remaja jangkung ini pula yang membatalkannya secara sepihak.     

"Aku akan membayar semua yang biaya rumah sakit setelah perjanjian batal dan aku akan mencarikan supir baru untuk menghantar dan menjemput Kak Adam."     

"Lantas?" Davira menyahut. Melirihkan nada bicaranya sembari menatap Raffa penuh ketajaman.     

"Kakak bisa menolak dengan datang dan menjemput kak Adam juga menghantarkannya besok. Kakak juga bisa tetap melakukan ini tanpa ada kontrak kerja sama apapun, aku tak akan melarangnya." Remaja itu kembali berkata. Penuh ketegasan nada bicara terdengar jelas masuk ke dalam lubang telinga gadis cantik yang hanya diam sembari menghela napasnya kasar.     

"Kakak masih bisa berada di tempat kakak sekarang ini. Kontrak tak akan mengubah apapun," ucapnya mengimbuhkan.     

"Bagaimana kalau aku menolak?"     

Raffa menghembuskan napasnya ringan. Tersenyum tipis menanggapi kalimat singkat dari lawan bicaranya. "Aku tak akan memaksa. Semua keputusan ada di tangan kakak sendiri. Setelah ini, aku tak mencampuri urusan kalian lagi," pungkasnya menutup kalimat.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.