LUDUS & PRAGMA

66. Selamat Datang Harapan



66. Selamat Datang Harapan

0Di bawah sebuah pohon besar dengan satu lampu jalanan yang menjadi penerang utama, dua insan manusia ini berada. Ditemani kerikan jangkrik yang kian tegas memecah keheningan malam, Davira tak mampu berucap apapun lagi. Ia memilih bungkam untuk saat ini. Semua yang dirasa olehnya hanyalah sebuah perasaan aneh yang tak mampir dideskripsikan. Davira merasa ada yang aneh dengan dirinya, rasanya sesuatu mulai bercampur aduk di dalam sana. Ia tak bisa banyak berkata apapun lagi, semua terkesan begitu tiba-tiba tanpa ada perencanaan dan aba-aba untuk mempersiapkan hatinya. Salahkah ia berada di posisi ini sekarang? Raffa datang padanya dan membatalkan kontrak mereka. Membuat hatinya kacau balau tak mampu didefinisikan keadaannya lagi. Sekarang? Melihat Adam berdiri bahkan berjalan untuk memeluknya adalah sebuah mukjizat yang luar biasa tak pernah ia sangka-sangka sebelumnya. Semua kini terasa bak seperti tipuan untuk dirinya.     
0

"Kenapa hanya diam aja," ucap Adam menyela. Ia tak berani menatap paras Davira. Gadis itu cukup terkejut dengan apa yang dilakukannya sebelum ini.     

"Haruskah aku meminta maaf?" Adam kembali membuka suaranya. Perlahan tubuh itu berbalik untuk menatap gadis yang ada di sisinya sekarang. Davira masih tak bergeming. Ia bahkan tak mampu mengedipkan matanya sekarang ini.     

"A--aku hanya ...." Ia menghela napasnya. Menggeleng-gelengkan kepalanya mencoba tetap sadar dalam keadaan begini. Niat hati Davira datang bukan untuk mendapatkan ini, ia hanya ingin datang untuk menjemput Adam. Memberikan dokumen yang disembunyikannya bersama sang adik kandung pria itu. Adam harus tahu, meskipun itu sangat menyakitkan untuknya. Ia harus merasakan itu untuk mengetahui kebenarannya.     

"Baiklah. Aku minta maaf," ucap Adam menghela napasnya. Kembali ia menatap jauh ke depan. Pemandangan jalanan yang sedikit sepi. Hanya ada beberapa kendaraan yang berlalu lalang dengan satu tujuan yang sama, di ujung jalan sana adalah rumah sakit tempat dirinya menjalani terapi kaki.     

"Ada yang ingin aku katakan," tutur gadis itu dengan lembut sigap tangannya merogoh masuk ke dalam tak selempang yang ada di depannya saat ini. Mengeluarkan sesuatu untuk ia tunjukkan pada Adam. Map itu! Davira sudah membulatkan tekad untuk memberitahu pada Adam. Toh juga pria muda itu sudah bisa berjalan sekarang ini. Mau apa lagi memangnya? Davira sudah tak punya alasan untuk tetap bersamanya sekarang ini.     

"Ambil lagi." Adam menyahut. Melirik apa yang baru saja ingin disodorkan Davira untuk dirinya.     

Gadis itu diam sejenak. Menatap Adam dengan penuh tanda tanya. Ia tak seperti orang yang terkejut atau penasaran dengan apa yang ada di dalam map ini. Adam bahkan terkesan tak peduli dengannya. Bukankah lebih baik Adam bertanya terlebih dahulu apa isinya lalu menerima ini? Ya! Seharusnya begitu.     

"K--kamu sudah tau isinya?" tanya Davira terbata-bata.     

Adam menghela napasnya. Menganggukkan kepalanya ringan sembari bergumam untuk memberi respon. Baginya, mau Davira atau siapapun yang memberikan itu padanya rasanya akan sama saja. Ia kecewa tentunya. Semua perlakuan baik dan fasilitas yang diberikan oleh Davira hanya taktik semata dari gadis itu. Namun, Adam paham betul mengapa ia melakukan ini. Davira melakukan sebagaimana mestinya.     

"Surat perjanjian kamu dengan Raffa," tukasnya melirih.     

Davira berdecak. Memalingkan wajahnya sembari tersenyum seringai. "Bocah sialan itu."     

"Kamu bilang Raffa sialan?" Adam menyahut. Menoleh untuk menatap Davira yang baru saja mengembalikan pandangan untuk dirinya.     

"Kenapa kamu gak marah?" tanya Davira mengalihkan topik pembicaraan. Sejenak perbincangan mereka terhenti. Hanya diam dengan saling tatap satu sama lain. Bagi Davira semua tak ada yang aneh. Keadaan seperti ini pasti akan terjadi lambat laun, namun untuk Adam? Ia pantas untuk merasa aneh.     

"Kamu mau aku bagaimana setelah mendengarnya?"     

"Marahlah! Setidaknya pergi karena kecewa." Davira memerintahkan. Mencoba untuk membuat Adam pergi dari hadapannya sekarang ini.     

"Itu yang kamu mau?" sahutnya dengan lembut.     

Davira diam. Membungkam rapat mulutnya tak lagi berbicara. Gadis itu memalingkan wajahnya untuk tak lagi menatap Adam dengan benar. Ia bahkan sudah tak sanggup lagi menatap netra itu!     

"Davira ...." Adam memanggil. Perlahan jari jemarinya mulai menarik pergelangan tangan gadis yang di sisinya. Membawa tangan Davira untuk naik dan terhenti tepat di atas pangkuannya. Gadis itu menoleh. Seraya merasakan sentuhan dan usapan tangan pria yang ada di sisinya. Ia benar-benar merindukan rasa seperti ini. Kehangatan ini .... Davira menginginkannya lagi!     

"Kamu akan menepati janji 'kan?"     

Keduanya sama-sama terdiam. Benar, janjinya! Ia berjanji pada Adam untuk memberi pria itu hadiah atas kerja kerasnya.     

"Apapun, asalkan permintaan untuk kembali seperti dulu." Davira menyahut. Sigap melepaskan genggaman tangan itu dan memalingkan wajahnya untuk kedua kalinya. Ia tak ingin kembali pada masa yang membuat dirinya seperti gadis bodoh bernasib malang. Semua luka itu seakan mengalahkan harapan bahagianya hingga saat ini.     

"Aku tak akan meminta itu," ucap Adam menegaskan. Menarik kembali pandangan Davira untuk menatapnya lagi. Gadis itu mengerutkan dahinya. Sedikit tak mengerti dengan apa yang ada di dalam otak Adam Liandra Kin saat ini. Bukankah permintaan terbaik adalah kembali saling mencintai satu sama lain?     

"Lantas? Kamu mau minta apa?!"     

"Waktu kamu selama satu bulan ke depan." Adam menyahut. Sukses membuat Davira diam bungkam tak bersuara. Ia kini sedikit mengerti.     

"Dalam waktu itu aku hanya ingin membuktikan bahwa aku pantas untuk dipercaya lagi. Aku pantas untuk kembali menjadi laki-laki kamu lagi dan aku pantas ...." Adam menghentikan sejenak kalimatnya. Menatap gadis yang hanya diam tak berucap sepatah katapun. Tatapan Davira menjadi lain, sedikit sayu dan teduh. Ada makna di baliknya. Sebuah ketakutan dan keraguan untuk memutuskan.     

"Aku pantas hidup bersama kamu lagi," ucapnya menutup kalimat.     

Davira menundukkan pandangannya. Menelan salivanya kasar selepas mendengar itu semua. Ia tak bisa melakukan apapun untuk sekarang ini semua terasa aneh baginya.     

"Hanya satu bulan. Jika aku gagal melakukannya, aku janji gak akan nemuin kamu lagi."     

Ia menghela napasnya. Perlahan jari jemarinya terangkat untuk membuat perjanjian dengan Adam. Kelingking kecil itu memberi sebuah pertanda bahwa permintaan Adam diterima.     

"Tepati janji kamu," ucapnya melirih. Sembari jari kelingking itu menunggu balasan dari Adam. Gadis itu tak tersenyum sedikitpun.     

"Janji!" Adam menyahut. Membalas kelingking gadis yang ada di sisinya dengan antusias.     

"Sekarang, pulanglah." Adam memberi perintah. Menunjuk tepat ke arah mobil Davira yang terparkir di sisi jalanan.     

"Terus kamu?" tanya Davira menyahutnya.     

Adam menaikkan sisi bahunya. "Aku akan naik taksi. Akan canggung untuk kita kalau pulang bersama."     

Davira diam. Menatap Adam dengan penuh kepolosan. Pria itu tersenyum padanya dengan manis. Sangat manis!     

"Jangan khawatir, aku sudah bisa berjalan sekarang," imbuhnya mencubit pipi Davira dengan manja.     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.