LUDUS & PRAGMA

67. Calon Menantu



67. Calon Menantu

0Sang surya datang bersama dengan sinar hangatnya. Menyapa seluruh penduduk bumi yang sedang riang gembira hari ini. Cuaca tak sedang buruk. Bumi dalam keadaan baik-baik saja tak mendung juga tak akan turun hujan dan badai hari ini. Davira berharap ramalan cuaca akan akurat tak seperti biasanya. Gadis itu menggeliat hebat. Perlahan bangkit dari ranjang empuknya sembari terus mengucek-ucek matanya dengan kasar. Ia mulai menyesuaikan diri dengan keadaan yang ada. Semua terasa biasa dengan pagi yang tak istimewa. Hari ini ia ada jadwal pergi ke kantor. Mulai berkerja untuk mengembangkan perusahaan menjadi lebih baik lagi dari sekarang ini. Membanggakan sang papa juga sang mama.     
0

Gadis itu bangkit dari ranjangnya. Menarik ponsel yang ada di sisi meja dekat ranjang berukuran besar miliknya sekarang ini. Mencoba untuk melihat ada apa kiranya di dalam sana. Ia tak membalas siapapun yang mengirimi pesan atau panggilan suara padanya kemarin malam. Selepas pulang dari menemui Adam, Davira hanya berbaring di atas tempat tidur dan memejamkan matanya rapat-rapat. Terlelap dalam sebuah mimpi indah bertemu dengan seorang pangeran tampan.     

"Turunlah, mama sudah siapkan sarapan." Pesan singkat itu menjadi penutup beberapa pesan yang menjadi penghias di dalam layar ponselnya. Membuat Davira tersenyum ringan sembari menganggukkan kepalanya mengerti. Ia hanya perlu mandi dan membersihkan diri. Berdandan dengan cantik dan rapi sebelum menyarap dan pergi ke kantor.     

*** LudusPragmaVol3 ***     

Aroma yang khas mengiringi setiap langkah gadis yang baru saja menyelesaikan semuanya di dalam kamar pribadinya. Kini memutuskan untuk turun dan menyambangi si pengirim pesan yang memberikan sebuah informasi berharga bahwa sarapan sudah siap sekarang ini. Davira menatap ke lantai bawah sembari terus menapakkan kaki menuruni satu persatu anak tangga. Sedikit aneh, sebab menu masakan terlalu banyak tak seperti biasanya. Kursi yang disiapkan sang mama pun berjumlah banyak tak seperti kala ia menyapa dengan Ana dan Alia. Satu kursi kosong di sana seakan menjadi penegas bahwa seseorang datang dan ingin ikut menyantap makan pagi dengan keluarganya.     

--papa Denis datang? Entahlah. Mungkin iya.     

Gadis itu semakin cepat menuruni anak tangga. Terhenti di sisi meja makan tempat semua hidangan disajikan. Davira menarik kursi yang ada sisinya. Duduk sembari mulai menyapu setiap menu yang ada di atas meja makan.     

"Mama! Kenapa masak banyak banget?" Davira berteriak. Mencoba untuk menjangkau wanita baik nan luar biasa yang sudah mempersiapkan banyak hal seperti ini.     

"Mama!" Davira kembali membuka suaranya kala tak ada suara yang menyahut dari balik ambang pintu dapur. Semuanya hening. Alia dan Ana pun belum turun ke lantai bawah untuk menyarap. Ini masih pagi, tentunya dua gadis itu masih berada di atas ranjangnya bersama balutan selimut tebal yang membungkus tubuh keduanya.     

Suara langkah kaki kini terdengar datang dari belakangnya. Membuat Davira sigap memutar tubuhnya untuk menyambut kedatangan sang mama tercinta.     

"Maman kena—" Ucapan gadis itu terhenti. Kedua netranya kini menangkap sesosok perawakan tubuh jangkung dengan kemeja rapi yang membalut tubuh kekarnya. Ia datang membawakan segelas teh hangat untuk Davira. Ringan langkahnya bersama senyum manis yang mengembang. Tepat di sisi Davira aroma parfum khas pria mulai menari-nari di dalam lubang hidungnya. Tak berucap apapun ia hanya meletakkan secangkir teh hangat yang masih mengepulkan asapnya di udara.     

"K--kamu ngapain di sini?" tanya Davira mengiringi setiap langkah dan aktivitas yang diambil oleh Adam. Pria itu tak bergeming. Hanya tersenyum lalu menarik kursi yang ada di depan Davira. Duduk manis sembari mulai menarik segelas air putih yang ada di depannya.     

"Dia datang pagi buta tadi. Katanya mau bantu mama masak. Jadi mama ijinkan," sahut Diana dari lantai atas membawa dia putri cantiknya untuk turun ke lantai bawah.     

"Dia juga yang mengirimi kamu pesan menggunakan ponsel mama," imbuhnya kala sudah menyentuh lantai dasar bangunan rumahnya. Davira tak berucap apapun. Tak ada suara yang menjawab kalimat penjelas dari mamanya. Ia masih memilih diam. Mencoba untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya sekarang ini. Menyarap dengan mantan kekasih? Ah, bahkan tak pernah membayangkan ini.     

"Mama senang kamu udah bisa jalan lagi, Adam." Diana menyahut. Mengusap punggung pria muda yang kini menganggukkan kepalanya tegas. Ia tersenyum mendengar wanita itu menyebut dirinya sebagai 'mama' untuk Adam. Setidaknya lampu hijau mulai kembali menyala.     

"Mama?" Davira menyahut. Mengerutkan dahinya sembari sesekali menyipitkan kedua mata bulatnya. Sungguh, perubahan yang tak masuk akal!     

"Apa maksudnya?" imbuh Davira menatap Diana dengan tajam.     

"Dia anak mama sekarang. Hitung-hitung susah cari anak laki-laki yang pandai masak seperti Adam. Dia juga membawakan lukisan bagus untuk mama."     

Diana tersenyum antusias. Menjelaskan keadaannya pada sang putri dengan raut wajah yang bahagia. "Kamu bisa melihatnya di ruang kerja mama. Mama menggantungnya kemarin malam."     

"Kemarin malam?" Davira menyahut. Melirik sejenak Adam yang mulai menyantap makanan di depannya. Ia bahkan tak acuh dengan pembicara Davira dan mamanya. Sikapnya sudah bak anak manja yang tinggal di rumahnya sendiri. Ini rumah Davira! Bukankah seharusnya Adam menunggu seseorang mengijinkannya untuk makan?     

"Adam datang kemarin malam menghantarkan buah, makanan ringan, dan lukisan untuk mama. Dia mampir cukup lama dan kita saling—"     

"Kenapa mama gak panggil Davira?!" pekik gadis itu mendengus kesal. Kini tatapannya berubah untuk Adam yang baru saja menghentikan aktivitas makannya.     

"Aku sudah berusaha membangunkan kamu. Tapi kamu gak mau bangun," tukasnya melirih. Pria jangkung itu tersenyum kuda. Davira benar-benar cantik kalau sedang tidur.     

Davira menghela napasnya kasar. Mulai menarik segelas teh dan menyeruputnya kasar.     

"Karena kemarin terlalu malam untuk berbincang, jadi mama mengijinkan Adam menginap di sini. Dia berada di kamar kamu cukup lama jadi mama mengira—" Ucapan Diana terhenti kala putri cantiknya itu menyemburkan teh tepat di hadapan Adam. Membuat pria jangkung yang baru saja ingin menyendok sup di depannya terdiam. Tentunya Adam terkejut sebab Davira tiba-tiba tersedak seperti itu hanya sebab mendengar ia menginap di sini semalaman.     

"What?!" Davira menyentak. Tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh mamanya. Wanita itu bahkan tak menunjukkan ekspresi wajah bersalah sekarang ini. Seakan-akan dirinya sudah mengharapkan ini bertahun-tahun lamanya.     

"Jadi mama mengira Adam mau tidur di kamar kamu," imbuh Diana membuat sang putri terkekeh-kekeh.     

"Mama bahkan membawakan selimut untuk dia kemarin." Diana mulai melirihkan nada bicaranya. Sang putri sedikit mengerikan dengan tawa itu.     

"Tapi aku gak jadi tidur di kamar kamu. Aku turun dari tidur di kamar tamu," sahut Adam menjelaskan.     

"Kamu lucu kalau lagi tidur." Pria itu mengimbuhkan. Sukses menarik pandangan Davira untuk menatapnya dengan tajam.     

"Mama! Adam!" teriak Davira kesal. Kembali meletakkan secangkir teh yang ada di dalam genggamannya dengan kasar.     

--sialan betul pria satu ini!     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.