LUDUS & PRAGMA

68. Sampaikan Harapanku Padanya



68. Sampaikan Harapanku Padanya

0Davira menatap mobil sedan yang ada di depannya. Sesekali gadis itu menghela napasnya ringan sembari menurunkan sepasang alis cokelat tua yang rapi melengkung di atas duduk mata bulatnya itu. Davira tak bergeming dalam sepersekian detik, gadis itu hanya terdiam sembari mencoba terus menenangkan pikirannya. Adam masih di dalam rumahnya sekarang ini, duduk bersama sang ibunda tercinta dalam sebuah ruang makan untuk menghabiskan menu sajian yang ada. Berat rasanya, jika mama sudah begitu nyaman dan menyukai pria itu. Davira sudah pernah mengatakan bahwa ia tak akan kembali pada Adam lagi apapun alasannya. Mamanya ternyata tak pernah mengindahkan akan akan hal itu. Sekarang, bahagia itu terlukis di atas paras wanita tua yang sudah bertahun-tahun lamanya ia tinggal pergi ke luar negeri.     
0

Davira memejamkan sejenak matanya. Ia akan tetap dalam pendiriannya untuk saat ini. Tetap berada dalam sebuah jarak yang pas tak terlalu jauh apalagi terlalu dekat dengan Adam Liandra Kin. Ia memang sudah memberi ijin pada laki-laki itu untuk mendekatinya kembali. Membuktikan bahwa ia sudah berubah menjadi laki-laki yang lebih baik dari sebelumnya. Tak ada perselingkuhan lagi, tak ada kebohongan atau kedustaan yang akan menyakiti hati Davira Faranisa.     

"Kamu nunggu aku?" Seseorang menyela dirinya. Suara berat itu terdengar khas tak banyak berubah sedikitpun. Sigap tubuh gadis itu berputar. Menatap lawan bicaranya yang berdiri di sisi gerbang depan rumahnya. Tidak, Davira tak menunggu Adam. Ia menyelesaikan makan paginya dengan cepat dan bergegas menuju ke kantor sebab satu alasan yang pasti, Davira ingin menghindari ribuan pertanyaan dari sang mama yang akan menyudutkannya nanti.     

"Enggak," jawabnya mulai melangkah. Berjalan mendekat pada mobil besar yang ada di depannya. Langkah kaki Adam mengikuti. Tegas berjalan mengiringi setiap langkah kaki wanita muda yang ada di sisinya itu.     

Baru saja Davira ingin membuka pintu mobil yang ada di sisinya, netra gadis itu menangkap sesuatu yang tak asing untuknya lagi. Adam berdiri di sana. Ikut membuka pintu berniat untuk masuk ke dalam mobilnya.     

"K--kamu ngapain?" tanya Davira melirih. Adam tersenyum ringan. Melirik apapun yang ada di dalam mobil sekarang ini.     

"Kamu bisa naik taksi. Aku akan pergi ke kantor. Jalan ke galeri seni dan kantor itu—" Kalimat Davira terhenti kala Adam memutuskan untuk masuk ke dalam mobilnya. Membuka pintu dan duduk rapi di kursi penumpang. Ia tak mengindahkan sedikitpun kalimat dari gadis yang ada di sisi mobil itu. Semua bak angin berlalu saja.     

"Aku bilang aku gak bisa antar kamu ke galeri seni," ucapnya sembari masuk ke dalam mobil. Nada bicaranya melirih sebab tak ada lagi tenaga untuk berteriak pada Adam. Toh juga, ini masih begitu pagi. Marah dan berteriak hanya akan membuatnya membuang-buang tenaga untuk hal yang tak berguna.     

"Antar aku ke Sekolah Nusa Dua. Aku akan ke sana. Kata mama Diana itu satu arah dengan kantor kamu," ucapnya memberi perintah.     

Davira menyipitkan matanya. Dahinya berkerut selepas mendengar nama mamanya disebut dengan begitu indah oleh Adam. Diana adalah mama dari Davira, bukan mama kandung Adam Liandra Kin.     

"Kenapa kamu manggil mama aku begitu?" tanyanya menelisik.     

"Karena Mama Diana juga mama aku." Adam menyahut. Mengulurkan tangannya untuk mencubit pipi gadis yang ada di sisinya.     

"Kamu gak mau berangkat sekarang? Nanti terlambat," imbuhnya kala Davira hanya terdiam. Menatapnya penuh ketidakpercayaan.     

"Mau aku menyetir?" Adam kembali berbasa-basi. Tersenyum kuda untuk ekspresi kaku yang ditunjukan Davira padanya. Gadis itu masih sama saja. Hanya berubah caranya ber-make up dan bergaya. Terlihat lebih dewasa dan matang sekarang ini, namun untuk sifat dan sikapnya semua identik dengan Davira lima tahun yang lalu.     

"Ah ...." Davira mulai menghela napasnya kasar. Memutar kunci mobil dan menyalakan mesinnya. Mobil itu kini berjalan ringan membelah jalanan komplek. Berbelok di setiap gang dan pertempatan jalan juga pertigaan jalan raya untuk sampai ke tujuannya.     

Sejenak tak ada suara apapun yang menentang. Davira hanya terus fokus pada jalanan yang ada di depannya, Adam melirik. Ia tak tahan kalau harus mengabaikan Davira begitu saja. Gadis itu sungguh baik, memaafkan dirinya selepas semua yang terjadi di masa lalu. Adam paham benar kalau semua yang terjadi sekarang ini bukanlah keinginan Davira, gadis itu pasti masih menyimpan banyak dendam untuk dirinya. Akan tetapi ia pandai menutup itu. Alasan Davira mengukir waktu sebab ia belum bisa memutuskan, benci ataukah cinta yang lebih mendominasi di dalam dirinya saat ini.     

"Davira ...." Adam memanggil. Menarik sejenak perhatian gadis yang ada di sisinya. Davira tak bergeming sedikitpun. Ia hanya terdiam sembari menoleh lalu kembali menatap jalanan di depannya.     

"Kenapa kamu menyetujui perjanjian itu?" tanyanya melirih.     

Gadis yang ada di depannya tersenyum seringai. Benar juga, mengapa? Bahkan dirinya sendiri pun tak tahu, mengapa ia memilih jalan seperti ini selepas pergi selama lima tahun lamanya. Tak akan ada yang bisa mengira, sampai di mana hidupmu berakhir.     

"Karena Raffa?"     

"Jangan banyak bicara. Aku sedang menyetir." Gadis itu menyahut. Nada bicara sedikit ketus dan dingin untuk Adam. Sikap Davira berubah dalam semalam. Tak sehangat kala ia menghantar dan menjemput Adam di rumah sakit. Tujuannya memang benar-benar hanya membuat Adam kembali berjalan untuk saat ini, perihal membuka hati dan kisah baru Davira belum memutuskannya.     

"Ini sikap kamu setelah membatalkan perjanjian?" kekeh Adam mencoba untuk akrab.     

"Hm. Aku membenci kamu," jawabnya dengan tegas. Matanya tak memandang memang. Hanya sejenak melirik Adam yang tersenyum manis untuk dirinya.     

"Aku juga sangat mencintai kamu." Pria muda itu menyahut. Keluar dari topik pembicaraan! Bahkan Davira tak menyebut kata cinta di dalam kalimatnya.     

"Aku bilang aku membenci kamu!"     

"Aku juga bilang aku mencintai kamu!" Adam ikut berteriak. Mengimbangi volume suara dan cara berbicara gadis yang ada di sisinya itu.     

"Adam ...." Ia menurunkan nada bicaranya. Sejenak menatap pria muda yang ada di sisinya itu.     

"Aku akan melamar menjadi guru seni di SMA Nusa Dua. Jadi kamu akan punya pacar seorang seniman," sahut Adam tak membiarkan Davira berucap sedikitpun.     

"Siapa yang mau jadi pacar kamu?"     

"Davira Faranisa." Adam cepat memotong. Tegas kalimat itu menyebut nama Davira.     

"Aku bahkan belum memutuskan untuk kita berdua..bisa saja aku berubah pikiran suatu saat nanti."     

"Haruskah kita berkencan minggu depan?" Keluar dari pembicara lagi! Laki-laki di sisinya sungguh menjengkelkan untuk sekarang ini. Adam terkesan begitu santai dan menguasai keadaan, Davira tahu hatinya tak benar-benar begitu.     

Bukan hanya dirinya saja yang sedang khawatir, namun juga Adam Liandra Kin. Pria itu hanya sedang berdusta pada dirinya sendiri. Menganggap semuanya adalah lelucon dan candaan dari semesta.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.