LUDUS & PRAGMA

52. Mantan Kekasih



52. Mantan Kekasih

0Lensa pekat milik gadis bersurai pendek dengan ujung bergelombang rapi itu kini menyusuri setiap bagian ruangan yang nampak begitu bersih dan nyaman. Tak ada debu yang menyelimuti setiap komponen yang ada di dalam ruangan ini. Tuan pemiliknya benar-benar merawat dan membersihkannya dengan sempurna. Davira menunggu pria berjas putih bersih dengan tubuh kurus tak berdaging itu datang kembali ke tempatnya. Duduk berhadapan dengan dirinya layaknya seorang dokter dengan pasiennya. Bukan Davira yang datang untuk diperiksa dan memerlukan penanganan medis, namun Adam Liandra Kin.     
0

Davira mengenal baik pria yang kini mulai kembali melangkah maju untuk menghampiri posisinya. Duduk di depan Davira dengan tegas menatap gadis itu penuh makna. Ia tersenyum, itu artinya Dokter Bima akan mengatakan hal positif untuk keadaan sang mantan kekasih.     

"Bagaimana, Dok? Adam baik-baik saja bukan?" Davira terus mengikuti gerak yang diciptakan oleh pria yang kiranya seusia dengan papanya itu. Dia adalah Dokter Bima, sahabat karib sang ayahanda. Dokter Bima tak pernah mengunjungi kediamannya selama bertahun-tahun. Alasan dari semua itu adalah ia seorang dokter. Kesibukan terus saja menghampirinya di masa tua seperti ini. Melayani banyak masyarakat dan memberi jasa terbaik yang ia bisa adalah cara Dokter Bima untuk mendedikasikan seluruh sisa hidupnya untuk menjemput banyak pahala dan meleburkan dosannya. Pria tua itu baru saja mengunjungi dirinya di London beberapa bulan lalu. Perjalan bisnis yang membuatnya mampir ke rumah mewah milik Davira di sana.     

"Tentu. Kakinya sudah lebih baik. Adam hanya harus terus berusaha untuk berjalan. Tahun ini ia pasti bisa berlari dengan baik," ucap Dokter Bima menuturkan. Davira menganggukkan kepalanya ringan. Sejenak ia melirik sang kekasih yang masih terduduk rapi di atas ranjang pasien sudut ruangan. Adam tak membawa kursi rodanya, namun Davira menyuruh sang mantan kekasih untuk datang dan membiasakan diri berjalan dengan bantuan tongkat besi miliknya. Adam tak bisa terus bergantung pada kursi roda sialan itu jika ingin sembuh. Lima tahun duduk di sana bukankah itu sangat membosankan? Kini waktunya berdiri dan mengakhiri semua keterpurukan laki-laki itu.     

"Aku akan menjadwalkan terapi untuknya." Dokter Bima melanjutkan. Menatap Davira penuh dengan makna dan penghayatan. Dari cerita Denis, si sahabat karibnya Davira adalah gadis yang baik. Ia adalah gadis yang berhati lembut dan suci. Davira mirip dengan putrinya yang sedang menempuh pendidikan di negeri seberang. Lama tak berjumpa, membuat Dokter Bima sedikit terperangah melihat kedatangan Davira di Indonesia.     

"Bagaimana jika besok? Aku ingin yang terbaik untuk temanku," ucap Davira memberi permohonan.     

Dokter Bima menatap Adam sejenak. Laki-laki berparas tampan itu hanya tersenyum ringan. Menjadi pendengar utama percakapan dua manusia yang saling hadap satu sama lain itu. Hanya dia yang asing rupanya, melihat bagaimana interaksi Dokter Bima dengan Davira membuat dirinya paham bahwa pria itu adalah kenalan dari mantan kekasihnya. Adam tak menyangka kalau Davira punya koneksi dengan pria penting seperti ini. Dokter Bima dikenal dengan dokter terbaik lulusan luar negeri yang membuka rumah sakitnya di Indonesia.     

"Bagaimana dengan Adam?" tanya Dokter Bima pada laki-laki yang jauh di depannya. Adam hanya mengangguk ringan. Tentu, Davira yang mengatur semuanya. Gadis itu berjanji akan melakukan terbaik untuk membuatnya sembuh dan menempatkan keadaan seperti semula.     

"Semuanya terserah pada Davira," ucap Adam tersenyum manis.     

Dokter Bima mengangguk ringan. "Baiklah. Kita mulai terapinya besok."     

"Terimakasih, Dokter Bima." Davira menyahut. Menatap pria yang ada di depannya penuh dengan kasih sayang.     

"Ngomong-ngomong, kamu benar-benar tidak akan kembali ke London lagi?" tanyanya menyela. Dokter Bima memang bahagia mendengar kepulangan Davira dari sang sahabat karib, Denis. Akan tetapi ia lebih menyukai kalau dirinya berada di London dan berteman dengan dengan keponakannya.     

"Tak ada alasan untukku kembali ke sana. Perusaahan papa dipindahkan ke Hongkong. Jika ada sesuatu, mungkin aku akan pergi ke Hongkong bukan ke London."     

"Bagaimana dengan Joe?" Dokter Bima menyahut. Tepat tatapan itu menghentikan aktivitas kecil dari gadis yang ada di depannya. Davira sejenak melirik ke belakang. Mencoba memastikan bahwa Adam tak mendengar nama Joe disebut oleh pria satu ini. Akan tetapi, naas Adam pasti mendengar itu.     

"Dia pasti baik-baik saja tanpa aku di sana. Aku berharap Joe bahagia selalu." Gadis itu menuturkan. Kini tatapan matanya hangat ia berikan pada si dokter yang ada di depannya.     

"Dia pasti kehilangan dan kesepian setelah mengetahui kau pindah ke Jakarta, Davira. Mampirlah ke London lagi jika ada waktu," tukas Dokter Bima dengan nada bersahabat. Mengulurkan tangannya untuk meraih jari jemari Davira dan mengusapnya perlahan.     

"Tentu. Aku akan menyempatkan waktu nanti.     

••• LudusPragmaVol3 •••     

Keduanya berjalan ringan menyusuri lorong rumah sakit. Davira menekankan langkahnya sesekali untuk mencoba memastikan bahwa Adam masih dalam keadaan baik-baik saja. Langkahnya pincang, sesekali ia menahan rasa sakit sebab pergelangan kakinya masih saja terlalu kaku untuk berjalan cepat. Ia tak menyangka kalau dirinya akan benar-benar bangun dari kursi rodanya. Jika bukan atas bujuk rayu Davira, Adam tak akan pernah mau melakukannya. Gadis itu sangat berpengaruh dalam kehidupannya.     

"Mau istirahat dulu?" tanya Davira menyela. Ingin tangannya merengkuh pinggang Adam, namun hati tak sampai untuk melakukannya. Rasanya masih canggung meskipun ia sudah bertemu dengan Adam untuk kedua kalinya.     

"Nanti kelamaan. Sebentar lagi juga sampai di parkiran mobil," ucap Adam tersenyum.     

Davira menggelengkan kepalanya. "Kita istirahat dulu." Gadis itu kini menunjuk kursi kayu yang ada di depannya. Di sisi lorong itu ia dan Adam akan duduk untuk mengistirahatkan kedua kaki sang mantan kekasih.     

Adam menganggukkan. Baiklah, menurutinya tak ada salahnya juga. Toh ia bisa lebih berlama-lama lagi untuk bersama dengan Davira Faranisa.     

Adam mengambil satu kursi di ujung lorong. Ia meluruskan kakinya kemudian menghela napasnya kasar. Davira mengikuti. Meskipun kakinya tak sakit sebab dipaksa berjalan, namun lelah dirasa dalam hatinya. Banyak yang dipendam olehnya sekarang ini. Jika ia mengatakan bahwa ia tak iba, maka itu salah besar! Davira merasa iba dengan apa yang terjadi pada Adam. Remaja jangkung itu sudah banyak menerima penderitaan di dalam dirinya.     

"Mau aku belikan minum?" tanya Davira menyela. Gadis itu menoleh. Ditatapnya Adam dengan penuh penghayatan. Laki-laki yang ada di sisinya hanya tersenyum sembari menggelengkan kepalanya untuk menolak. Ia tak ingin merepotkan Davira lagi.     

"Kamu mengenal Dokter Bima dengan baik rupanya." Suara berat yang khas kembali menusuk masuk ke dalam lubang telinganya. Davira menoleh. Kembali tatapan mata itu ia berikan untuk Adam. Tak ada yang aneh dalam sepersekian detik berjalan. Hingga Davira menyadari bahwa tatapan Adam untuknya tak pernah berubah sedikitpun. Semuanya masih sama. Teduh penuh kehangatan dan kasih sayang.     

"Dia teman papa aku. Aku mengenalnya beberapa bulan lalu di London," ucapnya menjelaskan singkat.     

"Kehidupan kamu di London sepertinya sangat nyaman dan bahagia." Pemuda berparas tampan itu kembali sukses mencuri perhatian Davira. Sukses membuat gadis itu hanya bisa tersenyum kecut sembari menghela napasnya kasar untuk kesekian kalinya. Adam tak pernah mengerti juga luka macam apa yang dilalui olehnya selama ini? Bagaimana ia bertahan di atas luka itu dan apa yang membuatnya menangis di setiap waktu? Adam tak pernah benar-benar mengerti semuanya. Ia hanya melihat bagaimana Davira sekarang ini. Iya memang, benar jikalau hidupnya lebih nyaman ketimbang saat ia bersama Adam, namun mengatakan kalimat seperti tadi seakan memberi penghakiman pada Davira untuk tak terlalu egois dalam memikirkan kebahagiannya sendiri.     

"Semua kehidupan sama, Adam. Terkadang kita perlu menangis untuk membersihkan apa yang ada di dalam hati kita. Terkadang ada tawa untuk mengungkapkan rasa macam apa yang sedang mendiami di dalam diri kita. Semua hanya butuh memahami proses dan waktu saja." Davira menjelaskan. Nada bicaranya lembut dengan intonasi yang nyaman masuk ke dalam lubang telinganya.     

"Sampai sekarang aku hanya penasaran akan satu hal," tukas Adam menyahut. Ia menghembuskan napasnya perlahan. Mencoba mengatur kegundahan yang ada di dalam hatinya saat ini. Davira adalah gadis baik, akan tetapi sebaik apapun seorang gadis ia tak akan pernah sudi berbuat mulai pada mantan kekasih yang sudah menghancurkan hidupnya seperti ini. Itulah yang mengganjal di dalam benak Adam.     

Adam tahu, kemarin ia terlalu bersemangat akan kepulangan Davira. Semua terasa aneh dan tiba-tiba untuknya. Namun, apalah daya ia untuk berpikir luas? Bahagia benar-benar menguasai di dalam dirinya kemarin. Warasnya hampir saja hilang, berharap bahwa semua yang terjadi padanya tak pernah musnah dan hilang untuk kedua kalinya.     

"Apa?" tanyanya menyela diam Adam. Cukup lama Davira menunggu Adam untuk kembali berbicara, laki-laki itu hanya memilih diam bungkam sembari sembari menurunkan pandangannya.     

"Kenapa kamu tiba-tiba datang dan berbuat baik seperti ini?"     

Davira terdiam. Ia membisu selepas Adam mempertanyakan hal itu padanya. Davira tak menyangka bahwa Adam akan mempermasalahkan hal tersebut. Bukankah kehadiran Davira di sini sudah sangat cukup untuknya? Lalu mengapa harus bertanya ini itu untuk memperkeruh suasana?     

"Kamu berpikir aku punya niat jahat untuk semua ini?" tanya Davira tertawa kecil. Ia tak bisa berkata lebih dari kalimat itu. Semuanya terasa begitu kosong dan tak biasa untuknya. Jika Davira menatap sepasang netra itu, ia akan kembali luluh dan jatuh. Teduh, tajam, berkharisma! Semua itu hanya ada dan dimiliki oleh seorang Adam Liandra Kin.     

Davira adalah manusia biasa. Ia tak bisa banyak berkata untuk meminta pada semesta. Jujur saja, yabg Davira minta untuk saat ini adalah semesta memantapkan hatinya untuk bisa memilih. Haruskah ia kembali pada Adam? Ataukah pergi saja dan meninggalkan semua ini sesuai rencananya?     

"Bukan begitu. Aku hanya merasa tak pantas untuk mendapatkan semua kebaikan ini."     

"Fokus saja dengan penyembuhan kakimu. Jika kamu sudah bisa berjalan dan berlari aku menjelaskan semua yang tak kamu ketahui. Untuk sekarang ... hanya cukup fokus." Davira menyela. Tersenyum manis menutup kalimatnya. Bukan saat yang tepat ia mengatakan pada Adam bahwa semua yang ia lakukan adalah bagian dari rencananya untuk pergi meninggalkan Adam selama-lamanya.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.