LUDUS & PRAGMA

64. Kebahagian Untuk Dua Sahabat



64. Kebahagian Untuk Dua Sahabat

0Raffa pergi. Meninggalkan banyak tanda tanya di dalam kepala gadis yang kini menatap jauh ke luar jendela ruangan. Tak ada yang menemani dirinya lagi. Raffa pergi dari tempatnya selepas memberikan dokumen yang ada di atas meja kerjanya sekarang ini. Davira tak menyangka, manusia bisa berubah secepat itu. Terlalu dini Raffa menyimpulkan keadaan yang ada. Mengatakan bahwa dirinya masih mencintai Adam? Wah! Manusia ceroboh satu itu!     
0

"Nona Davira?" Suara menyela dirinya. Bukan Tuan Raka, namun seorang wanita yang asing wajahnya untuk Davira. Ia masuk berjalan ringan memalui ambang pintu yang tak ditutup rapat olehnya selepas Raffa pergi beberapa waktu yang lalu.     

Ia datang membawa sebuah kabar. Dokumen tertulis yang sedikit tebal diserahkan pada Davira. Menunggu gadis itu mulai membubuhkan tanda tangan memberi persetujuan. Davira tak bergeming sesaat. Wanita muda yang ada di depannya menunggu dengan sesekali melirik ke arah wajahnya. Cantik dan memukau. Tatapan itu penuh kharisma yang menggoda. Davira lebih dari desas desus yang ia dengar. Bukan hanya gadis muda yang cantik parasnya, namun juga seorang gadis muda yang cantik dan berbakat.     

"Ada event fashion week bulan depan di Jakarta Center, mereka ingin kita bekerja sama dan memberi sponsor," ucapnya menerangkan secuil dari isi dokumen yang ada di dalam genggaman. Davira terus menatap. Jari jemarinya kini mulai meremas sisi dokumen yang ada di depannya. Berbohong jikalau ia sedang menatap ini dengan fokus. Sepasang netra itu memang ada untuk menelisik setiap bagian kalimat yang ada di atas dokumen, tubuh dan fisiknya ada di depan wanita muda yang kini tersenyum untuk dirinya, namun pikirannya melayang jauh entah kemana. Soal Adam, ya! Davira memikirkan pria muda bernama Adam Liandra Kin.     

"Aku akan membacanya dulu. Kamu bisa tinggalkan ini di ruanganku. Kembalilah jika aku memanggilmu," tutur Davira memberi perintah. Wanita muda yang terlihat begitu rapi dengan setelan kemeja dan rok pendek khas orang kantoran itu hanya bisa mengangguk ringan. Membungkukkan badannya untuk memberi salam perpisahan penuh rasa hormat pada bos barunya.     

"Kalau begitu saya pamit dulu, Nona."     

Davira mengangguk. Mempersilakan pegawainya itu untuk pergi dari hadapannya.     

Kembali ia seorang diri. Kasar meletakkan dokumen yang ada di dalam genggamannya tepat di sisi map cokelat yang diberikan Raffa untuk dirinya beberapa saat yang lalu. Ia menghela napasnya ringan. Tepat memberi tatapan pada secarik kertas yang ada di sisinya. Ia tak bisa melakukan ini!     

Ponsel Davira berdering. Kembali sepasang lensa itu menatap ponsel yang ada di atas meja. Meraihnya dengan cepat selepas tahu siapa yang mengirim panggilan suara untuk Davira. Arka Aditya.     

Ia menekan layar. Membuka panggilan selepas tombol hijau ditekan. Mulai mendekatkan ponselnya tepat di sisi telinga miliknya.     

"Hm, gue lagi sibuk," ucapnya selepas membuka percakapan. Berniat untuk kembali menutup panggilan sebelum Arka menyahut dari seberang ponsel.     

"Ini gue, Rena." Gadis itu menyela. Menghentikan aktivitas Davira yang baru saja ingin mematikan ponsel di dalam genggamannya. Ia tak berkutik selama beberapa detik. Kembali menjauhkan ponselnya untuk memastikan bahwa ia tak salah dalam membaca nama.     

"Rena?" Davira mengulang. Memastikan bahwa suara gadis di seberang ponsel adalah sahabatnya.     

"Ada yang mau kita omongin," ucapnya menyahut dengan lirih. Davira terdiam sejenak. Memikirkan sesuatu yang mustahil untuk terjadi.     

"Oke, kirimkan alamat kafenya," tukas Davira menutup panggilan.     

*** LudusPragmaVol3 ***     

Alunan musik rock menjadi peneman yang memecah keheningan, Davira datang tanpa berucap sepatah katapun. Dua manusia sedang menatap dirinya sekarang ini. Tak ada suara yang menyela hanya saling diam untuk mencoba menyesuaikan suasana.     

"Katakan sesuatu. Jangan bikin gue penasaran." Davira menyela sembari menyeruput segelas jus jambu dingin yang ada di depannya sekarang ini.     

"Lo janji gak akan marah?" tanya Rena menyela. Melirik sejenak Arka yang memalingkan wajahnya sembari menyandarkan tubuh jangkungnya ke belakang. Laki-laki itu terlihat tak acuh, tak seperti Rena yang diam dengan ekspresi wajah sedikit tegang.     

"Katakan aja, Davira gak akan marah." Arka menimpali. Menunjuk tepat ke arah gadis berambut pendek yang ada di depannya. Davira masih diam. Melihat Arka datang dengan pakaiannya yang rapi di jam begini tentu bukanlah masalah yang kecil. Sesuatu sudah terjadi hingga membuat laki-laki jangkung itu rela menyisihkan waktu sibuknya.     

"Kalian pacaran?" tanya Davira tiba-tiba menimpali. Rena membulatkan matanya cepat. Wajahnya memaku dengan lidah yang mulai kelu. Ia tak mampu berbicara sepatah katapun sekarang ini. Hanya diam sembari menatap Davira yang duduk di depannya.     

"L--lo ...." Rena menghela napasnya kasar. "Arka yang yang memberi tahu?" tanyanya menyela.     

"Dia bahkan gak memberi kabar tiga hari terakhir ini. Dia orang yang sibuk," kelit Davira tersenyum kuda.     

"Setidaknya pura-pura gak tahu dulu. Lo orang yang asik," sahut Arka menggerutu.     

Gadis berambut pendek itu mengangguk-angguk ringan. Tersenyum simpul mengakhiri aktivitasnya.     

"Pokoknya, selamat atas hubungan kalian." Gadis itu tertawa kecil. Geli rasanya melihat dua sahabatnya itu duduk berdampingan sebagai sepasang kekasih yang baru saja memulai hubungan mereka. Rasa cinta pastinya sedang menggebu-gebu di dalam diri keduanya sekarang ini.     

"Siapa yang menyatakan cintanya?"     

"Bagaimana lo bisa tahu semua ini?" Rena akhirnya menyahut. Memotong kalimat Davira yang kini menatapnya penuh makna.     

"Karena kalian adalah sahabat gue," pungkasnya mempersingkat.     

"Davira ...." Rena kini mengerutkan keningnya sebab tak bisa memahami semua ini. Sebegitu mudah 'kah Davira melepas sahabatnya pergi bersama gadis lain?     

"Lo tau apa yang gue rasakan sekarang ini?" Davira menyela. Tersenyum aneh mengiringi setiap kalimat yang terucap dari celah bibirnya.     

"Bahagia! Sangat bahagia!" imbuhnya melanjutkan.     

"Pria sialan ini akhirnya mau mau melupakan gue. Dia akhirnya sadar diri," kekehnya tertawa kecil. Menarik perhatian Arka yang kini menatapnya tajam. Ia tak seharusnya membahas ini sekarang.     

"Lo keterlaluan, Nona Davira!" Pria jangkung itu ikut menimpali. Tatapan matanya aneh untuk diberikan pada sahabatnya. Tawa kecil mulai menyusul. Baiklah, sejenak rasanya nikmat dan lega. Ia membuka dirinya untuk gadis yang lebih baik dari Davira. Bukannya ingin merendahkan sang sahabat, namun Davira benar. Gadis itu diciptakan bukan untuk menjadi pasangannya. Berpuluh-puluh tahun Arka menjadi sahabatnya, namun semua nihil tanpa ada perubahan rasa dari Davira. Apa yang dirasakan olehnya hanya sebatas perasaan sayang terhadap sahabatnya. Davira tulus untuk itu, namun tidak bisa memberikan rasa yang tak pernah dimiliki oleh gadis itu selama ini.     

"Intinya gue hanya akan menerima undangan pernikahan bukan kabar buruk putusnya hubungan kalian. Kalau gue denger itu, gue akan—"     

"Membunuh gue?" Arka menyahut. Tebakan yang tepat!     

"Dan melempar mayat lo ke laut," pungkasnya tertawa lepas.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.