LUDUS & PRAGMA

137. Hello, Good Bye!



137. Hello, Good Bye!

0"Lucu!" Davira menyentak. Menunjukkan beberapa jepret foto yang baru saja ia hasilkan pada sang kekasih.     
0

"Apanya yang lucu?" Remaja jangkung itu menggerutu. Mencoba menarik perhatian gadis yang kini fokus menyorotkan kedua lensa teduhnya untuk menatap masuk ke dalam layar ponsel miliknya.     

"Kamu lucu dengan wajah itu," ejeknya tertawa kecil.     

Adam melihat lengkungan bibir itu. Senyum manis dan tawa kecil yang ditunjukkan sang kekasih malam ini benar-benar candu! Semuanya adalah milik Adam. Davira adalah miliknya! Beruntung sekali Adam bisa meluluhkan hati batu milik Davira dua tahun lalu.     

"Habisin gelato-nya. Kita pergi ke taman bermain setelah ini," ucap Davira memerintah. Memasukkan ponsel yang ada di dalam genggamannya ke dalam tas selempang di sisi meja.     

Adam mengangguk paham. Menuruti semua perintah yang diucap Davira malam ini. Bahagianya sederhana. Melihat sang kekasih tertawa puas seperti sebelum ini adalah cara Adam menutup hari dengan lega. Ia memang menyukai Davina Fradella Putri, namun rasa sayangnya lebih tulus untuk Davira Faranisa.     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°°     

Suasananya tak seramai kala mereka berada di dalam bangunan mall pusat kota. Taman mini nan sederhana yang dibangun di sisi bangunan besar itu adalah destinasi terbaik untuk menghabiskan malam bersama sang kekasih. Nyaman, tenang, sepi, dan remang. Cahaya rembulan hanya dibantu oleh kuningnya lampu taman yang berjajar di setiap jalan setapak yang dilalui oleh Davira juga Adam. Erat dekapan tangan gadis itu melingkar di atas lengan bawah sang kekasih. Seakan tak ingin melepaskannya, setiap detik jari jemari Davira terasa lebih kuat dan lebih rapat.     

Tak banyak orang di taman ini. Namun, tak bisa dibilang sepi bak kota mati. Beberapa pasangan datang berkunjung untuk menghabiskan malam bersama di bawah indahnya bulatan dewi malam. Di sinilah, Davira ingin mengakhiri kisahnya.     

Gadis itu menghentikan langkah. Diikuti dengan sang kekasih yang mulai mengimbangi. Duduk di bangku kosong sisi air mancur kecil dengan patung ikan mas di tengahnya. Davira melirik aliran air yang menyembur keluar dari mulut ikan jatuh ke permukaan kolam. Menghantam ikan-ikan kecil yang hidup bahagia di bawahnya. Ia kini tersenyum manis. Gemercik air mancur membuat hatinya sedikit tenang. Bersama Adam malam indah akan segera datang.     

"Adam ... ada yang mau aku omongin," selanya menarik perhatian sang kekasih. Menatap dengan tajam sepasang netra pekat yang kini menyapu setiap sudut matanya.     

Sepasang bulatan yang terlukis di atas paras Davira sangat cantik. Lentik bulu mata yang menghias di atas mata bulatnya dengan duduk alis cokelat muda amat sangat terlihat pas dan manis. Hidung kecil dan bibir mungil berwarna merah muda merata itu seakan menjadi poin penyempurna paras cantik sang kekasih. Jika ini bukan tempat umum, Adam ingin melumat habis bibir itu kala malam yang panas di dalam mobil waktu itu. Sayangnya, Davira memilih mengajak Adam datang ke taman alih-alih menghabiskan malam panas di dalam mobilnya.     

"Apa?" tanya Adam menyahut.     

"Kalau suatu saat seseorang membuat kamu memilih antara aku atau Davina, kamu akan memilih siapa?"     

Diam seribu bahasa kala nama Davina disebut oleh sang kekasih. Rasanya sedikit aneh, dihari baik seperti ini Davira membahas perihal gadis yang sudah membuat Adam mengkhianati kepercayaan yang diberikan olehnya teruntuk sang kekasih. Sebab apa Davira mulai membahasnya? Bukankan ia membenci apapun yang berhubungan dengan Davina dan Adam di masa lampau?     

"Kenapa bertanya itu? Aku jadi merasa bersalah lagi?"     

"Jika merasa bersalah kenapa kamu mengulangi itu?" --tidak! Kalimat itu hanya diucap oleh batinnya. Davira sekarang diam seribu bahasa. Menunggu Adam untuk menjawab tanpa mau memberi alasan.     

"Davina adalah gadis sesaat. Seperti angin berlalu. Kalau aku memilih dia, aku gak akan duduk di sini bukan?" tukasnya penuh ketegasan. Mencubit pipi sang kekasih dengan kasar.     

"Kenapa tanya itu tiba-tiba? Ada yang salah?"     

Gadis itu menarik napasnya dalam-dalam. Menghembuskan perlahan sembari menggeleng ringan. "Hanya penasaran. Toh juga, kamu pernah mencintai dia."     

"Davina hanya—"     

"Aku menyukai Arka, meskipun itu rasa suka yang berbeda. Begitu juga ketika kamu menyukai Davina, Adam. Aku paham itu." Davira menyela. Memotong kalimat sang kekasih.     

"Kamu masih gak percaya kalau aku sudah mengakhirinya?"     

Dasar buaya sialan! Ya, itulah kalimat yang memenuhi otak Davira sekarang. Bahkan dalam tatap mata itu Adam terlihat begitu yakin dan mantap. Tak ada dusta pikirnya, namun Davira tahu semua kebusukan sang kekasih.     

"Aku hanya ingin bertanya," ucapnya melirih.     

"Selebihnya aku sedang berusaha mempercayai kamu lagi. Jadi jangan kecewakan aku, oke?" Senyum mengembang di atas paras cantik Davira. Menutup kalimatnya dengan tatapan teduh sembari mengusap punggung tangan sang kekasih yang ada di atas pahanya kali ini.     

"Haruskah aku mencium kamu di sini?" Adam menggoda. Mendekatkan wajahnya pada sang kekasih.     

"Banyak anak kecil di sini!" gerutunya menolak. Memalingkan wajahnya sembari menepis wajah tampan milik Adam. Remaja jangkung itu kini tertawa ringan. Menganggukkan kepalanya mengerti. Tentu, sebesar apapun napsu Adam untuk Davira, ia adalah laki-laki yang berbudi. Tak akan pernah berani melampiaskan napsunya di depan umum seperti ini.     

"Tapi mau?" Adam kembali menggoda. Sukses membuat pipi Davira memerah saat ini. Malam yang manis. Sangat pas untuk membuat ukiran indah di akhir kisah.     

Bahkan sampai detik ini ia masih belum bisa percaya bahwa kisahnya dan Adam akan berakhir tragis seperti ini.     

"Stop it! Kapten Kin," tutur Davira menepuk sisi pundak lebar milik Adam. Menatap sang kekasih yang kini terdiam sembari terus menatap kedua lensa matanya. Baiklah, suasana mulai berubah. Tak lagi penuh canda tawa, tatapan Adam pada Davira juga sebaliknya seakan menjadi pertanda bahwa malam ini harus diakhiri dengan sesuatu yang tenang nan romantis.     

Adam menepuk sisi pundaknya. Seakan memberi isyarat pada Davira untuk segera meletakkan kepalanya di atas sana. Gadis itu tersenyum manis. Mengikuti interuksi dari sang kekasih dengan perlahan.     

"Jika harus berpisah, apa yang kamu lakukan?" Adam mulai berbicara. Kembali suara beratnya itu membuat Davira terdiam.     

"Maksud aku, kita gak tau kapan kita akan berpisah nantinya. Tapi aku berharap kita akan terus seperti ini." Adam mengimbuhkan.     

"Davira ... aku kemarin bermimpi, kita mempunyai dua putri yang lucu." Remaja itu kembali berbicara. Hanya mendapat erangan ringan dari sang kekasih.     

"Kita menamai mereka siapa?" tanya Davira pada akhirnya.     

"Kita bertengkar soal nama dan kamu pergi karena marah."     

"Setelah melahirkan? Mana masuk akal!" protesnya menggerutu ringan.     

Adam tersenyum. "Akan masuk akal karena itu cuma mimpi."     

"Namun meskipun itu cuma mimpi, aku sangat bahagia bisa memimpikan itu."     

Mendengarnya membuat hati Davira sesak. Batinnya bergejolak kuat. Perasaannya perlahan hampa tak mampu merasakan kebahagiaan lagi. Perlahan air mata itu menetes. Segera ia menyekanya, tak ingin sang kekasih tahu bahwa kalimat itu membuatnya benar-benar tersakiti sekarang. Sebab malam ini adalah malam terakhir Davira mendengar suara Adam Liandra Kin.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.