LUDUS & PRAGMA

140. Pungkasan Kisah (Ending Vol. 2)



140. Pungkasan Kisah (Ending Vol. 2)

0Adam berlari meninggalkan aula sekolah. Sekencang mungkin ia ingin segera menjangkau area parkir sekolah tempat moge-nya berada. Satu tujuan untuk Adam saat ini, rumah yang menjadi kediaman sang kekasih. Bodohnya Adam selama ini. Dalam senyum, tatap, dan cara berbicara kekasihnya mengapa ia tak bisa menyadari itu? Davira lain! Ya, gadis itu sangat lain. Mengapa Adam tak kunjung menyadarinya kemarin malam? Saat Davira tersenyum dan menggenggamnya dengan erat seakan tak ingin kehilangan Adam, mengapa ia tak kunjung menyadari dan memeluk sang kekasih dengan mengatakan bahwa Adam tak ingin Davira pergi jauh! Ia ingin sang kekasih tetap ada di sisinya.     
0

Bodoh! Adam itu sangat bodoh!     

"Lo mau ke rumah Davira sekarang?" Seseorang menghentikan langkah kakinya. Bukan Davina melainkan gadis bermata kucing yang kini menampakkan batang hidungnya. Bersandar di sisi moge besar yang terparkir di barisan paling pojok.     

Adam memelankan langkah cepatnya. Sejenak terhenti kemudian kembali melanjutkan gerak sepasang kaki jenjang miliknya itu. Mendekati Kayla Jovanka yang terus mengembangkan senyum kepuasan di atas paras cantiknya.     

"Lo dalangnya bukan?" Adam menghentikan langkahnya kala posisi berdirinya dirasa cukup pas untuk mulai berbincang ringan dengan sang gadis.     

"Gue memang membenci Davira, tapi kali ini gue ingin memuji kekasih lo itu. Ah, mantan kekasih." Kayla memprovokasi. Membuat emosi lawan bicaranya kembali naik ke atas ubun-ubun kepalanya. Jika itu bukan Kayla, Adam masih sudah memberi bogem mentah padanya.     

"Davira adalah gadis yang cerdik. Alur hari ini adalah cerita yang ia dalangi sendirian. Lo gak paham juga tentang itu?" Kayla memincingkan matanya tajam. Menatap lawan bicaranya yang kini diam membisu.     

Benar, Adam tak perlu mengubris Kayla lagi sekarang. Tujuannya hanya mengembalikan Davira pada posisi semula. Gadis itu masih menjadi kekasihnya yang sah. Belum ada kalimat putus yang terucap dari bibirnya ataupun Davira. Jadi, raga dan hati gadis itu masih sah menjadi miliknya!     

"Minggir! Gue mau pergi!" Kasar Adam mendorong tubuh gadis yang menghalanginya. Berniat untuk naik ke atas moge dan pergi meninggalkan Kayla di sana. Gadis itu tak berguna untuk Adam sekarang. Ia hanya perlu datang ke rumah Davira sebelum terlambat.     

"Davira menitipkan ini," ucap Kayla menyodorkan satu amplop kecil untuk Adam.     

"Kayaknya dia benar-benar memutuskan lo secara sepihak," imbuhnya tersenyum manis. Ia puas, sebab melihat Adam hancur sehancur-hancurnya. Davira benar-benar tak pernah main-main dengan ucapannya. Tak tanggung-tanggung ia menghancurkan sang kekasih, bukan hanya hatinya namun juga popularitas dan nama baiknya. Memang terdengar sedikit kejam dan berlebihan, namun bagi seorang wanita yang sudah sakit hati terlalu dalam hal ini bukan apa-apa.     

Adam menyahutnya dengan kasar. Tak membaca, ia langsung memasukkan benda itu ke dalam saku celananya. Memakai helm untuk segera pergi dari hadapan gadis itu.     

"Lo mau ke rumah dia sekarang?" Kayla kembali mencegah.     

"Bukan urusan lo?" Adam menyalakan mesin motornya. Melirik sejenak Kayla yang kini tertawa lepas.     

"Dia sudah gak ada di rumahnya satu jam lalu. Pergi ke bandara, jika masih ada harapan lo akan bertemu dengan."     

"Bandara? Kenapa Davira di sana?!" pekik Adam dengan tegas.     

Kayla hanya menaikkan kedua sisi bahunya. Tak memberi jawaban gadis itu hanya tertawa ringan.     

"Cari tahu sendiri. Setidaknya lo harus merasakan apa itu berjuang!" tukasnya menutup kalimat pergi dari hadapan Adam dengan langkah tegas. Kayla tahu, apa yang sedang dirasakan oleh Adam sekarang ini. Meskipun ia membenci Adam, namun tetap saja remaja jangkung itu pernah mengisi hatinya dan memberi warna di dalam kesehariannya.     

Ya, setidaknya ia sudah membantu Adam dengan memberi petunjuk. Meskipun Kayla tahu Davira pasti sudah terbang di udara.     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°°     

Moge itu berjalan dengan laju yang semakin dipercepat setiap detiknya. Menyusuri setiap gang dan belokan untuk segera sampai ke tujuannya sekarang. Adam terus berkelok-kelok untuk menyusuri jalanan padat yang ada di depannya. Tak peduli dengan risiko yang mungkin terjadi padanya sekarang ia hanya ingin mencoba untuk memangkas waktunya agar segera sampai ke tempat tujuannya sekarang ini. Bandara tempat Davira berada. Ia tak ingin terlambat bahkan, satu detik sekalipun! Ini pasal penerbangan bukan pasal bus kota yang bisa dikejarnya dengan cara berlari kencang. Terlambat sedikit saja, Adam kehilangan segalanya.     

Lampu kuning menyala. Menandakan bahwa semua pengendara harus memperlambat laju motornya dan berhenti kalau merah datang menyapa. Tidak, menunggu lampu merah untuk pergi agar hijau datang dengan terangnya adalah hal yang membuatnya terlambat, jadi Adam menerobos itu. Remaja jangkung itu meneprcepat laju motornya. Tepat di perempatan jalan klakson keras berbunyi nyaring mengudara. Teriakan mengiringi kala mobil besar mulai melaju mendekat pada posisinya.     

Adam menoleh, ini terlalu lambat! Ia tak bisa menghindarinya sekarang. Maut sedang menunggunya bukan? Ya, ia pasrah!     

Hantaman keras itu membuatnya terlempar jauh dari motornya. Berguling di tengah jalan. Kini kerumunan datang padanya. Mencoba untuk menolong remaja yang mulai merintih sebab darah mengalir keluar dari sisi bagian tubuhnya yang terluka. Samar-samar pandangannya masih terbuka. Menatap awan jauh di atasnya, benarkah Davira sudah pergi sekarang ini? Benarkah ia terlambat dan kehilangan semuanya?     

Adam menghela napasnya. Tubuhnya sangat sakit sekarang, ada yang aneh ... ia tak bisa merasakan bagian kakinya! Hilang? Tidak! Kakinya masih utuh. Hanya saja ... ia tak bisa menggerakkan itu sekarang.     

Lambat laun, matanya terpejam. Tak kuas menahan sakit yang mulai tegas menggerogoti dirinya. Entah mengapa namun semesta mengalahkan ambisi Adam untuk mempertahankan hubungannya dengan Davira.     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°°     

Air mata menjadi saksi. Tatapan teduh menatap jendela keluar pesawat yang ditumpanginya pagi menjelang siang ini. Ia pergi dari kampung halaman menuju ke negara tetangga. Meninggalkan kenangannya bersama sang kekasih. Tetes demi tetes ia rasakan. Sangat sakit sebab air mata itu menyayat hatinya.     

Ikhlaskan! Itu kalimat yang terakhir ia dengar dari dan mama kala pelukan itu hangat dirasa oleh Davira Faranisa. Mamanya tahu, bahwa sangat berat bagi sang putri untuk memulai hidup di negeri orang dengan alasan pengkhianatan dari sang kekasih. Davira memang ingin menyingkir, namun siapa sangka jika hanya raganya saja yang pergi. Hatinya masih tertinggal sekarang ini.     

Isak tangis mengiringi. Sesak di dada mulai terasa. Setiap detik yang berjalan seakan memberi tahu padanya bahwa jarak Davira dengan Adam sekarang ini semakin jauh. Hari mungkin akan berganti, tahun juga akan bertambah .... namun bisakah hatinya juga ikut demikian? Bisakah ia melupakan Adam?     

Davira berpisah baik dengan Larisa. Ia mengucapkan salam perpisahan pada Rena dan Candra. Dirinya juga memeluk hangat sang mama dan sang sahabat, Arka Aditya. Akan tetapi, ia pergi meninggalkan Adam dengan penuh duka tanpa ada perpisahan yang berarti.     

... Ending Vol. 2 ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.