LUDUS & PRAGMA

1. Kisah Yang Baru



1. Kisah Yang Baru

0Ada satu tempat yang ingin aku kunjungi kala datang ke negeri orang. Sebuah tempat yang indah dengan salju putih yang menyelimuti. Hawa dingin yang menusuk seakan menjadi suasana yang khas tiada tiruannya. Di Indonesia aku tak bisa menemukan hal megah nan mewah yang disuguhkan oleh semesta pada penduduk yang memujinya. Aku sedikit malu sebab kala menginjakkan kaki di Negeri indah ini bukannya air mata bahagia, namun duka kesedihan yang menyelimuti. Di dalam benak yang paling dalam, aku merindukan kampung halamanku. Bersama semua orang yang kutinggalkan hari itu.     
0

Aku memulai hidup baru dengan alasan yang tak pasti. Entah sebab benar ingin mengubah nasib menjadi lebih baik dan keren lagi, entah hanya sebab ingin menjauh dan lari dari kenyataan, atau sebab aku menyukainya. Hanya satu yang terbesit di dalam benakku sekarang ini. Rindu yang menggebu-gebu kurasakan di setiap malam penghujung hari. Senja indah nan sepi, kesepian sebab hanya ada ayanhanda tercinta yang membawaku ke tempat ini. Setiap musim kulalui dengan hampa terasa menyelimuti.     

Setiap detik yang berjalan seakan tak mampu benar menghapus kenangan yang ada. Waktu berganti, meskipun aku menyuruhnya untuk diam di tempat saja. Biarkan aku menyelami kesedihan ini! Biarkan aku memahami hal baru yang sedang kutemui sekarang ini! Akan tetapi, waktu tak memahami. Semua berganti terkadang terasa cepat, namun tak bisa kupungkiri bahwa terkadang lambat sebab rasa aneh mulai menghiasi di dalam hati.     

Aku teringat akan satu masa. Di dalam sebuah bangunan klasik bersama satu cangkir kopi beraroma yang khas. Kala itu, aku baru saja masuk ke sebuah perguruan tinggi. Bertemu orang banyak dengan berbagai macam watak dan kepribadian. Ada yang baik, namun juga beberapa bersikap buruk pada orang dari negeri seberang. Kala itu semua terasa berat meskipun beberapa bulan sudah aku menetap di negara ini.     

Aku bertemu dengan seseorang di sebuah kedai tua. Ia menyukai roti beroleskan mentega separuh gosong yang baru saja keluar dari panggangan. Dia bercerita banyak pada gadis dungu sepertiku ini. Dalam katanya, ia mendapat sebuah nasib yang buruk. Kekasihnya pergi meninggalkan dirinya dan menikah bersama kakak angkatnya. Hidup berdua dan kembali dua tahun kemudian. Parahnya, sang kekasih mengendong seorang putri kecil yang memanggilnya ayah. Rasanya sakit, bukan? Ya. Bahkan ia bercerita sembari berlinang air mata.     

Dalam setiap alur yang diceritakan olehnya padaku, aku teringat akan satu nama. Adam Liandra Kin.     

Ya, aku adalah Davira Faranisa di masa depan. Lima tahun berjalan aku tak mendengar kabar dari orang di Indonesia. Aku hanya berkomunikasi dengan beberapa orang. Mama juga Arka Aditya. Pembicaraan kami hanya basa-basi tak bertopik berat. Aku tak ingin membicarakan apapun yang datangnya dari masa lalu, dan untungnya Arka memahami itu.     

Setiap hari kulalui dengan langkah yang berat. Percaya diri mulai memudar selepas tahun ini berganti. Kala itu, sebelum hujan turun di hari pertama aku menginjakkan kaki di tanah asing aku mempercayai sebuah kepercayaan bahwa aku akan bisa melupakan seorang remaja bernama Adam Liandra Kin.     

Dengan percaya diri aku memilih untuk tersenyum kala itu. Menganggukkan kepala untuk memberi semangat pada diriku sendiri. Memulai hidup baru dengan nama yang sama namun kepribadian yang berbeda.     

Perkenalan namaku adalah Davira Faranisa. Gadis, ah tidak! Bahkan usiaku sekarang sudah 23 tahun. Mungkin bisa disebut sebagai wanita muda yang berkarir di bidangnya. Aku masih sama, meskipun beberapa sudah berubah. Rambutku tak lagi panjang tergerai. Namun pendek bergelombang yang jatuh menggantung di atas bahuku. Aku lebih pandai berdandan. Lebih pintar memilih busana sebab London bukan seperti Indonesia. Semua yang dipakai di sini semakin modern saja.     

Pekerjaanku? Katakan saja aku seorang manajer dalam masa percobaan. Belum resmi dilantik dalam jabatan sebab papa tak akan melepaskan kedudukan itu pada gadis muda seperti diriku. Ya, meskipun aku adalah putrinya.     

Kehidupanku tak lebih baik saat berada di Indonesia. Lima tahun berjalan tak banyak mengubah apapun yang ada di dalam pikiranku.     

Kisah sedih itu masih menghantui hingga sekarang ini. Sebuah pertanyaan selalu muncul kala senja kembali menyapa menutup hari yang lelah. Lima tahun aku membuang kenangan. Mencoba untuk mengubur semuanya dengan rapi. Membuka sebuah lembaran baru selepas pesawat mendarat lima tahun lalu.     

Tak ada yang memberiku kabar pasal Adam Liandra Kin. Juga aku memang tak ingin mendengarnya. Pergiku untuk menjauh bukan sebab ingin memantaunya dari kejauhan, namun sebab ingin melupakannya.     

Pertanyaan yang muncul itu adalah perihal bagaimana dengan Adam sekarang? Benarkah ia sudah bahagia dengan Davina? Benarkah mereka menikah sekarang? Tak menutup kemungkinan sebab mereka saling mencintai kala itu. Lima tahun adalah waktu yang lama untuk saling mengenal dan menjalin hubungan yang itu-itu saja. Davira pergi, itu artinya Davina menang dalam segala hal. Mendapatkan raga, hati, dan waktu seorang Adam Liandra Kin.     

Ya, sekali lagi ku tegaskan bahwa ini sudah lima tahun berjalan. Aku bukan lagi remaja labil yang baru berusia 18 tahun. Bukan lagi si cengeng yang akan menangis dengan sesenggukan yang menyesakkan dada. Aku sudah dewasa. Lima tahun berlalu. Memupuk kenangan yang ada memang sulit, namun setidaknya aku sedikit berhasil. Aku tak mengharapkan untuk bisa kembali dan datang untuk hidup bersama sang mantan kekasih. Bahkan aku tak berharap untuk kembali ke Indonesia sekarang ini. Hidupku nyaman? Tidak! Kukatakan tidak! Cintaku untuk Adam terlalu dalam tertanam. Mengambil dan mencabut itu tentu bukan hal yang mudah. Aku memerlukan sedikit waktu lagi untuk itu. Sebelum akhirnya benar bisa melupakan dan hidup dengan Davira yang baru.     

Ada satu hal yang membuatku merasa bersalah hingga dewasa ini, sebab aku mengkhianati janji pada semuanya. Aku berjanji akan kembali dua tahun selepas kepergian meninggalkan rumah tercinta. Namun siapa sangka, lima tahun berlalu begitu saja. Bahkan aku bisa mengatakan bahwa Lima tahun ini tak ada rencana untuk kembali.     

"Davira ...." Seseorang memanggilku. Dengan nada lembut itu aku bisa menebaknya. Dia adalah papa. Si pria tercinta yang kini mulai masuk dan membuatku nyaman. Banyak yang dilakukan papa untuk membuatku nyaman dan bahagia di tempat ini. Melakukan ini itu dan memberiku banyak fasilitas di luar nalar. Bukan sebab itu aku mencintainya, namun sebab aku mendapatkan kembali kasih sayang yang hilang itu.     

Papa memang tak sepenuhnya berada di sisiku lima tahun terakhir. Hampir satu hingga dua tahun lamanya ia kembali ke Indonesia untuk mengurus Alia dan Ana. Ia adalah pria yang baik. Pria yang menebus dosanya dengan sempurna.     

.... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.