LUDUS & PRAGMA

2. Bahagia Bersama Semesta



2. Bahagia Bersama Semesta

0---Jakarta, 2024--     
0

--Akhir pekan yang berbahagia, 08.55---     

Semilir ia rasakan mulai membelai lembut setiap inci bagian tubuh remaja jangkung yang kini meluruskan kakinya sembari tegas menatap bentangan cakrawala yang luas nan indah dengan semburat awan putih di atas sana. Ia menghela napasnya sesekali. Bukan berat hati sedang dirasakannya, namun lega melepas lelah selepas seharian berlari di tengah padatnya taman kota kalau akhir pekan datang menyapa begini. Arka Aditya kembali menarik satu botol air mineral yang ia siapkan kala berangkat ke taman kota dan pergi meninggalkan rumahnya. Mulai memutar tutup botol dan membuka untuk segera melegakan tenggorokan yang terasa begitu kering.     

Remaja itu tak sendiri, ada seseorang yang menemaninya. Tak sama seperti lima tahun berjalan. Davira dulu yang menjadi gadis peneman kala ia menyambangi tempat ini. Segala kisah baik diukir di sepanjang jalan setapak yang biasa di lalui orang-orang yang berlari kecil untuk mewaraskan tubuh dan menyehatkan fisiknya.     

Remaja jangkung itu datang bersama Rena Rahmawati. Si sahabat dekat yang menemaninya selama lima tahun terakhir. Tak ada perasaan untuk Rena? Ada. Nyaman dan terus ingin bersama si gadis baik yang ada di sisinya sekarang ini. Rena bagaimana pengganti untuk Davira. Bukan menepati tempat di ruang hatinya, namun Rena berposisi sebagai orang baik yang selalu ada untuk mendukungnya selama ini. Arka bukan lagi remaja sekolah menengah atas atau mahasiswa dari sebuah perguruan tinggi. Ia sudah lulus satu tahun yang lalu. Dirinya adalah seorang pegawai yang mengabdi pada masyarakat sekarang ini. Bukan pegawai negeri sipil yang mengajar, namun sebagai seorang pengacara yang berkerja di tahun pertama dengan banyak hal yang harus dipelajari olehnya.     

"Lo kalah lagi?" Seseorang menyela aktivitasnya. Membuat Arka yang baru saja ingin mendekatkan mulutnya pada lubang botol air mineral di dalam genggamannya itu menoleh. Seseorang datang dan duduk tepat di sisinya. Bersila rapi di atas rumput hijau tepi jalan setapak dimana orang-orang berlalu lalang untuk menyelesaikan lari paginya.     

Arka tersenyum tipis. Menganggukkan kepalanya sembari berdecak ringan sekarang ini. Benar, ia gagal lagi! Bukan rekor sebenarnya sebab ia pernah menang melawan hakim dan jaksa satu kali! Di akhir tahun tepat libur natal dimulai. Ini kasusnya yang ketiga. Dalam sebuah masa percobaan memang terlalu sulit untuk dilalui. Ia adalah pengacara baru. Belum genap satu tahun memulai kariernya.     

"Kenapa lagi sekarang? Ditipu sama klien lagi?" tanya Rena memastikan. Tentu, hidup berdampingan dengan remaja itu selama lima tahun cukup untuk membuat dirinya mengenal siapa dan bagaimana Arka Aditya itu. Remaja jangkung yang selalu saja over dengan pemikirannya. Ia ambisius memang, namun sedikit gila kalau sudah menyinggung pasal hukum dan orang yang tidak bersalah. Katakan saja jiwa kemanusiaan yang dimiliki olehnya sangat berbeda dengan apa yang dimiliki oleh Rena.     

Jika Rena adalah si tak peduli yang hanya memikirkan karirnya saja, Arka tak begitu. Ia memikirkan banyak orang dan banyak hal.     

"Gue kehilangan satu bukti penting," ucapnya sembari menghela napasnya kasar.     

"Apa?"     

"Udah lah, jangan dibahas. Toh juga sudah satu minggu berlalu." Arka menggerutu. Menyenggol bahu lawan bicaranya dengan kasar. Tawa kini menghias di antara keduanya. Suasana hangat dan bersahabat ini selalu saja ada di antara mereka berdua. Sangat disayangkan sebab Davira tak ada untuk merasakannya.     

"Gimana sama Davira?" Rena menyela di antara tawa yang ia ciptakan bersama Arka. Menatap si pria yang tetap saja tampan dan muda layaknya seorang Arka Aditya lima tahun yang lalu.     

Rena masih menyukai Arka. Ya, benar. Seperti layaknya Arka yang menyukai Davira bertahun-tahun lamanya dan menyimpan itu sendirian tanpa mau mengubah apapun, Rena pun demikian. Gadis itu menyukai Arka. Bukan sebagai sahabatnya, namun sebagai laki-laki yang selalu ada dan menemani dirinya dalam suka juga duka.     

"Dia tidak menghubungi dua bulan ini. Mamanya bilang, Davira juga tidak menghubungi Tante Diana."     

"Sesibuk itu 'kah Davira sekarang?" Rena menyahut. Memincingkan matanya sembari tegas menelisik arti tatapan yang dilemparkan Arka untuk menatap apapun yang ada di depannya sekarang ini. Rena paham, kalau laki-laki itu amat merindukan Davira. Semenjak kepergian gadis yang ia cintai lima tahun lalu, Arka tak sempat menjenguk dan pergi ke London. Ia hanya berhubungan melalui pesan singkat dan panggilan video saja. Itupun tak bisa lama. Davira semakin sibuk setiap harinya. Menjadi wanita muda dengan karier yang cemerlang adalah sandang status yang dimiliki oleh gadis itu.     

"Gak kerasa Davira udah pergi selama lima tahun. Aku bahkan berhubungan dengannya setengah tahun yang lalu. Dia lebih sibuk dari dugaan."     

Arka menundukkan pandangannya. Senyum miris ada menghias di atas paras cantiknya. "Ia bahkan tak tahu, Larisa meninggal."     

"Lo yang melarang untuk memberitahukan kematian Larisa lima bulan setelah Davira pergi. Lo emang sahabat yang jahat." Rena kini menggerutu. Menatap remaja yang kini semakin tegas menganggukkan kepalanya.     

Benar kata Rena, ia adalah sahabat yang buruk untuk Davira. Dirinya hanya memikirkan diri sendiri dan ego yang menguasai dalam dirinya. Davira pergi. Keadaan berubah secara dramatis. Tak ada lagi nama Davira yang menghias di setiap harinya. Bahkan di hari kelulusan mereka dari sekolah menengah atas, Arka merayakannya hanya bersama Rena saja. Davira pergi. Saat itu ia menghilang. Tak bisa dihubungi bahkan tak ada kabar yang menyebutkan namanya hingga satu tahun pertama memperingati kepergian gadis itu dari kampung halaman.     

Arka bahagia selepas mendengar suara Davira lebih baik dari sebelumnya. Kala pergi dari bandara dan berpisah dengannya, ia memeluk erat tubuh Arka Aditya. Lirih nan samar Davira meminta maaf sebab harus melalukan hal bodoh ini. Berlari seperti pengecut gila adalah pilihannya kala itu. Davira juga meminta maaf sebab tak bisa merealisasikan perasannya untuk Arka sampai sekarang. Ia meminta Arka untuk hidup bahagia dengan menemukan gadis yang bisa memberikan bahagia pula untuknya. Bukan Davira, namun siapapun itu Davira akan senang mendengarnya.     

Tentang kematian Larisa lima bulan setelah kepergiaan Davira dari Indonesia. Gadis itu meninggal setelah melahirkan satu putri yang cantik. Tidak aneh, sebab usianya masih sangat muda dan kondisinya begitu lemah. Larisa memilih putrinya hidup dan melihat dunia ketimbang dirinya sendiri. Mengorbankan nyawa sebagai seorang ibu untuk anaknya adalah kebahagiaan tersendiri dalam setiap detik terakhir dalam embusan napasnya hingga ajal benar menjemput.     

Ada satu alasan mengapa Arka menyembunyikan itu sampai sekarang dari Davira. Ia tak ingin gadis itu kembali ke Indonesia hanya untuk menghadiri pemakaman Larisa. Davira belum benar sembuh kala itu. Arka ingin membiarkan gadis yang ia cintai hidup dengan nyaman di sana.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.