LUDUS & PRAGMA

4. Angin Senja



4. Angin Senja

0Remaja jangkung itu menatap lurus ke depan. Tas punggung yang tadinya berada tepat di atas punggungnya itu kini sudah ia letakkan di sisi kosong tempatnya duduk menunggu pesanan. Ia tak sedang menunggu seseorang. Juga tak sedang bersama seseorang sekarang ini. Keadaan sudah banyak berubah. Tak lagi bisa bercengkerama ringan dengan seseorang yang membuatnya nyaman. Lima tahun berlalu, perceraian kedua orang tuanya seakan menjadi pukulan tersendiri untuk dirinya dua tahun yang lalu. Meskipun sudah dua tahun berjalan, tetap saja ia tak bisa menerima harus berada di dalam keadaan seperti ini. Ia tak lagi tinggal bersama sang kakak kandung juga mamanya. Raffardhan Mahariputra Kin, tinggal bersama sang papa yang gila akan bisnisnya.     
0

Ya, mama dan papa Raffa bercerai dua tahun silam. Meninggalkan sebuah luka baru selepas kepergiaan Davira Faranisa dari Indonesia. Ia menunggu Davira kembali kala itu, namun yang datang adalah berita retaknya hubungan kedua orang tuanya. Raffa menghadiri persidangan. Tak ada isak tangis seperti yang dibayangkan olehnya. Ia melihat wajah sang mama tersenyum bahagia selepas palu diketok tegas oleh hakim agung. Melepaskan ikatan yang dijalani selama berpuluh-puluh tahun. Mamanya berkata, bahwa terkadang titik terbaik dan tertinggi mencintai seseorang adalah dengan melepaskannya.     

Ia masih bisa bertemu dengan sang mama. Kalau akhir pekan kadang dirinya menginap. Sekadar untuk menemani kesendirian mama tercinta di tengah kesibukan yang dilakukan oleh wanita itu. Perceraian tak membuat keadaannya terpuruk. Wanita itu adalah wanita yang hebat. Bukan wanita lemah yang akan hilang dari dunia kalau seseorang menghantam dirinya.     

--mirip seperti Davira Faranisa bukan?     

Seseorang menyela lamunannya. Datang menghantarkan makan siang yang sudah di pesan oleh Raffa sebelum datang ke meja ini. Raffa suka sendiri, bukan menyendiri hanya ia suka dengan ketenangan. Tak ada yang aneh, sebab dirinya adalah mahasiswa tahun terkahir jurusan ekonomi. Perusahaan sang papa yang ada di Indonesia akan dikelola olehnya nanti. Bukan sang kakak, namun dirinya!     

Tak ada yang perlu dikhawatirkan oleh Raffa untuk masa depannya. Ia sudah menjadi pemegang saham terbesar di perusahaan sang papa. Hidup nyaman dan berkecukupan adalah masa depan yang sedang menantinya. Bahagia bukan? Ya, seharusnya. Hanya saja ia sedikit merindukan seseorang sekarang ini.     

Davira Faranisa. Gadis yang berjanji akan kembali tiga tahun silam. Akan tetapi, semuanya hanya dusta saja. Selama satu minggu berturut-turut ia menunggu di depan pintu bandara, rumah Davira, bahkan halte bus yang sering dikunjungi oleh gadis itu. Berharap bahwa orang yang dinanti akan menampakkan batang hidungnya. Ia menunggu Davira dengan setia. Dalam harap hanya ada keterlambatan satu bulan paling lama, namun hingga tiga tahun berjalan gadis itu tak pernah kembali lagi.     

Harapannya pupus begitu saja. Kini nama Davira hanya tinggal kenangan untuknya. Dalam doa ia tak lagi meminta semesta untuk mengembalikan Davira padanya, namun doanya berubah menjadi sebuah permohonan agar semesta menjaga Davira di manapun gadis itu berada.     

"Ada yang ingin dipesan lagi, kak?" tanya pelayan dengan ramah. Raffa menggeleng. Tersenyum ringan tanpa mau memberi suara untuk menjawab. Mengerti kode yang diberikan, pelayan itu pergi selepas meletakkan semua yang dipesan oleh Raffa. Meninggalkan remaja itu untuk kembali merenung dalam kesedihannya.     

"Lo ninggalin gue?! Menyebalkan!" Lagi, suara menyela dirinya. Tak aneh untuk Raffa mengingat ini adalah tempat umum. Remaja itu kini menoleh. Tepat mengarah pada gadis cantik berusia sama dengannya. Tingginya sedikit menjulang. Kalau berdiri dengannya maka bisa dikata sejajar meskipun sedikit selisih ada di antara mereka.     

Parasnya cantik. Senyum manis dengan dua gigi kelinci yang menggemaskan. Pipinya sedikit chubby mirip dengan Davira Faranisa. Bukan parasnya yang identik, hanya senyumnya saja.     

Raffa tak menyahut. Hanya terus menatap segala aktivitas gadis berkemeja biru polos itu. "Gak pesenin buat gue juga?" Ia kembali menggerutu. Merengek manja pada remaja yang duduk sembari mulai menyantap makannya.     

Namanya Naila Auristella. Gadis baik yang menjadi teman terdekat untuk Raffa selepas masuk ke dalam sebuah perguruan tinggi ternama di Kota Jakarta. Gadis itu selalu ada di sisi Raffa. Menyemangati bahkan menemani remaja jangkung itu menghadiri perceraian kedua orang tuanya kala itu. Ada yang unik, Raffa hampir tertarik padanya. Sayang amat di sayangkan kalau Naila ini sudah memiliki kekasih hati yang tinggal di luar kota. Hubungan jarak jauh membuat Naila terkadang merasa kesepian. Sungguh, gadis yang baik. Sebab meskipun begitu Naila tetap setia dengan sang kekasih hingga sekarang ini.     

"Karena gue tau lo akan datang." Raffa menyahut selepas mengunyah nasi goreng yang ia pesan sekarang ini.     

"Mau gue pesankan?" susulnya     

Naila menggeleng. "Gue gak akan lama. Habis ini ada bimbingan dosen lagi."     

"Semangat." Tak banyak kata yang bisa diucapkan. Hanya berbasa-basi seperti itu akan membuang waktunya. Raffa adalah remaja yang tak suka membuang waktu, Naila memahami itu. Cara berbicara yang singkat dan to the point adalah ciri khas seorang Raffardhan Mahariputra Kin.     

"Ngomong-ngomong ... gimana keadaan kakak lo?" Naila kembali menyela. Menarik segelas jus dingin milik Raffa dan menyeruputnya. Remaja jangkung di depannya menatap dengan tegas. Kebiasaan aneh nan menyebalkan seorang Naila adalah mengambil apa yang menjadi milik Raffa tanpa seijinnya.     

"Ini hari baik, jadi jangan membicarakan hal yang tak baik."     

Berteman dengan Raffa selama empat tahun lamanya tak membuat gadis itu bisa memahami banyak secara terperinci. Raffa adalah orang yang misterius. Banyak yang disembunyikan oleh remaja itu perihal kehidupannya di masa lampau. Yang ditahu oleh Naila, Raffa hanya sedang menunggu seseorang untuk kembali.     

"Lo akan pergi ke bandara lagi malam ini?" Pertanyaan yang sama selalu terucap kala akhir pekan datang seperti ini. Remaja yang dilemparkan pertanyaan hanya diam mengabaikan. Bosan mendengar sebab hanya itu yang menjadi alasan Naila untuk datang padanya.     

"Gue memutuskan untuk tidak datang ke sana lagi sebab bulan ini."     

"Kenapa?" Naila memincingkan matanya tajam. Sejenak mengerutkan dahinya sembari teduh menatap paras tampan milik Raffardhan Mahariputra Kin.     

"Dia gak akan kembali."     

"Sebenarnya siapa Davira itu? Lo bilang kalau lo gak pernah punya pacar. Lo bilang kalau gue adalah—" Ucapan Naila terhenti. Tidak, membahas pengakuan cinta yang dilemparkan Raffa kala itu hanya akan membuat suasana canggung saja. Ia tahu, Raffa mengatakan itu sebab rasa kehilangan yang besar akan orang yang paling ia cintai. Davira Faranisa. Toh juga, tak ada alasan untuk Naila menerima perasaan itu. Dirinya masih memiliki seorang kekasih sekarang ini. Rumit memang, namun mau bagaimana lagi?     

"Gue udah bilang dia gadis yang baik."     

Naila berdecak. Selalu saja seperti itu. Jawaban yang membosankan.     

.... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.